Awalnya dari Mesir

Awalnya dari Mesir

Bagi penikmat sastra, cerpen atau cerita pendek bukanlah hal nan asing. Dengan konsep nan simpel atau dapat habis dibaca sekali duduk, cerpen menjadi pilihan tersendiri buat dibaca dibanding karya sastra lainnya semisal novel nan jumlah halamnya tebal.

Cerpen di Indonesia kerap meriah menghiasi media massa berupa Koran, tabloid, dan juga majalah. Spesifik harian, cerpen akan sangat mudah ditemukan pada hari minggu. Cerpen semacam bacaan nan ditunggu-tunggu buat menghibur atau menambah kedalaman rasa lewat gambaran si cerpenis.

Namun di balik semua itu, ternyata perjalanan cerpen Indonesia cukuplah panjang dan dan tidak sporadis dipenuhi dengan kontroversi.



Hakikat Cerpen

Seperti kita ketahui, selain puisi, novel, dan juga kisah drama, cerpen pun termasuk salah satu karya nan lahir dari ibu bernama sastra. Maka disebutlah cerpen sebagai karya sastra. Mengingat bahwa objek kajian sastra ialah manusia, maka cerpen pun tumbuh dan berkembang siring sejalan dengan perkembangan budaya masyarakat itu sendiri.

Maka tak haran jika problematika kondisi sosial, budaya, politik, keamanan, dan ekonomi masyarakat sekitar nan terjadi saat itu, akan mempengaruhi sebuah karya sastra berupa cerpen, nan kemudian disebut dengan unsur ekstrinsik sastra. Sementara soal isi cerpen baik gagasan dan gaya menulis itu ialah wilayah unsur intrinsik.



Sejak Sumpah Pemuda

Sejatinya, dahulu hanya dikenal sastra nusantara atau sastra kedaerahan. Hal ini ditandai dengan banyak bermunculannya tradisi sastra lisan berupa mantera-mantera, ragam pantun, dongeng, dan sejenisnya, nan sejatinya ialah cikal bakal sebuah cerpen terlahir.

Namun setelah dideklrasikannya gerakan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 nan menjadi pijakan diresmikannya bahasa Indonesia, sastra Indonesia pun ikut lahir. Namun hanya sebatas roman atau novel-novel, sementara karya sastra berupa cerpen Indonesia pada 1930an baru bermunculan.

Kalah lama dibanding cerpen daerah, tepatnya sastra sunda, nan pada 1928 sudah melahirkan buku kumpulan carpon (cerpen) karya GS berjudul Dogdog Pangrewong .



Awalnya dari Mesir

Dalam sejara sastra dunia, Mesir antik disebut-sebut sebagai asal muasal tradisi penulisan cerpen, tepatnya pada 3200 SM. Bahkan, syahdan banyak karya cerpen Mesir nan kemudian disadur menjadi naskah drama, salah satunya seperti nan terjadi pada kisah Piramus dan Tisbi oleh sastrawan Shekespeare.

Cerpen lalu berkembang di tanah Eropa pada 1812. Amerika baru mengenal cerpen pada 1912 hingga dikenallah kemudian nama Edgar Allan Poe disebuat sebagai bapak cerpen bersifat detektif, sementara Nathanael Hawthorne terkenal dengan sisipan falsafah dalam setiap karya cerpennya.



Cerpen di Indonesia

Barulah pada 1936 karya sastra cerpen mewarnai bangsa kita, Indonesia. Ini dimotori oleh Balai Pustaka nan membukukan dan menerbitkan cerpen karya M. Kasim nan berjudul Teman Duduk, disusul dengan Suman Hs dengan cerpen Kawan Bergelut nan terbit dua tahun kemudian. Hingga hari ini cerpen di Indonesia sudahlah marak.

Pada perkembangannya, ada seorang sastrawan nan terkenal sebab karya-karyanya sangat memberikan citra mengenai bukti diri budaya Indonesia, terutama kebudayaan Jawa. Berikut akan kita bahas sebuah cerpen Indonesia berjudul Sri Sumarah karya Umar Kayam.



Gambaran Kebudayaan Jawa dalam Cerpen Sri Sumarah

Pendidikan tak hanya didapat dari apa nan oang sebut sebagai ilmu, tapi dapat juga didapat dari sebuah karya sastra, seperti halnya cerpen karya Umar Kayam nan berjudul Sri Sumarah ini. Selain mendapatkan bukti diri kejawaan si pengarang, pembaca juga diberikan pengetahuan tentang citra kebudayaan Jawa nan selama ini mungkin hanya dikehendaki oleh orang-orang Jawa itu sendiri, dari mulai filosofi nama Jawa, pendidikan sebagai sembrada, hingga sastra lisan Jawa nan berkembang sampai saat ini.

Filosofi nama, seperti nan terdapat pada kutipan ' Sebab di Jawa, ialah hal nan mustahil anak laki-laki mendapatkan nama Martokusumo sejak dari lahirnya. Terlalu tua kedengarannya, dan terlalu berat bobotnya .' (Baca cerpen Sri Sumarah hal.8), ' Martokusumo ialah nama nan halus .'(hal.9), dan ' Sri Sumarah -yang artinya Sri nan "menyerah" atau nan "terserah"-menyerah saja waktu neneknya mengatakan kepadanya bahwa saatnya sudah tiba buat menyiapkan diri naik jenjang perkawinan .'(hal.10) memperlihatkan betapa pengarang mengusung eksistensi sebuah nama nan menandakan berartinya sebuah kebudayaan terhadap kehidupan seseorang.

Mungkin hal ini juga nan bisa melumpuhkan pepatah 'apalah arti sebuah nama' nan selama ini kerap menjadi kunci seseorang buat menidakacuhkan sebuah nama karena pada dasarnya, tiap orang tua bukan tanpa alasan memberikan nama bagi anak-anak mereka.



Eksistensi Bahasa Ibu

Lalu, bagaimana Umar Kayam sangat menghargai eksistensi bahasa ibu juga terlihat dari banyaknya kata-kata atau kalimat berbahasa Jawa dalam obrolan maupun narasinya nan merupakan bukti bahwa bahasa erat kaitannya dengan kehidupan manusia. Dari bahasa Jawa nan sering muncul itulah pembaca bisa mengetahui bukti diri stratifikasi sosial si pengarang.

Hal primer nan paling terlihat dari karya Umar Kayam ini ialah banyaknya pendidikan tentang konduite nan harus dimiliki oleh wanita Jawa buat menjadi wanita paripurna nan dibanggakan oleh suami. Hal ini juga berkaitan erat dengan etos orang Jawa nan menjadi satu di antara faktor-faktor nan bisa mengidentifikasi kebudayaan seseorang.

Dalam kalimat ' Selanjutnya nenek Sri mengatakan, bahwa buat mencegah agar suami tak lemah dan tak berkembang kelemahannya,seorang isteri mestilah sanggup memencilkan dan mengecilkannya lewat berbagai jalan .'(hal.12) diperlihatkan betapa kebudayaan Jawa menghendaki seorang perempuan menjadi bukan hanya cantik, seperti pada kalimat ' Sri diwajibkan dalam waktu-waktu eksklusif buat makan kencur dan kunyit mentah, agar keringat dan badannya tak bau .'(hal.13), tapi juga mempunyai kemampuan dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup, nan kemudian dalam narasinya Umar Kayam sebut sebagai ilmu kesempurnaan berumah tangga.

Selanjutnya, mobilitas kinetis kebudayaan Jawa juga dieksplorasi oleh pengarang buat lebih menggambarkan bagaimana orang-orang nan benar-benar 'Jawa' seharusnya bertingkah laku, seperti nan terdapat dalam kutipan ' Orangnya nan halus, lemah lembut dan selalu nampak dapat menahan emosi, (sebagai layaknya seorang priyayi intelektual), di loka tidur(untunglah) mirip dengan nan digambarkan embah .'(hal.15).

Dari situ pula kita dapat mengetahui bahwa kebudayaan Jawa menghendaki orang nan lemah lembut dan selalu dapat menahan emosi sehingga jika seseorang ingin diakui 'kejawaannya', ia haruslah menaati hal-hal tersebut di atas.



Pengaruh Sastra Lisan dalam Cerpen Indonesia

Setelah hal-hal nan disebutkan di atas, kita juga dapat melihat banyak sekali pengaruh sastra lisan Jawa nan kemudian masuk sebagai komponen menarik dalam cerpen ini, antara lain cerita Ramayana (baik nan orisinil dari Hindu maupun nan kemudian diadaptasi menjadi Ramayana Patani), Pandawa lima (adaptasi Bharatayudha), dan tembang-tembang Jawa seperti Waljinah, Asmarandana, serta gending Jawa.

Kisah Ramayana Patani tercermin dalam tokoh Sri Sumarah, Martokusumo, dan Pak Carik. Sri Sumarah nan paripurna mendapatkan masalah nan sama seperti Sita Dewi pada Ramayana, yakni kehilangan Martokusumo. Sementara itu, tokoh Martokusumo nan halus memiliki karakter nan mirip seperti karakter Rama, serta Pak Carik nan ingin memiliki Sri Sumarah sama halnya dengan Rahwana nan ingin memiliki Sita Dewi.

Lalu kisah Dewi Kunti nan sering disebutkan seperangai dengan Sri Sumarah pun memberikan pengetahuan pada pembaca bahwa kebudayaan Jawa juga mendapat pengaruh Hindu sehingga sampai sekarang pengaruh itu masih ada, terbukti dengan adanya pewayangan nan tokohnya berwatak sama dengan tokoh pada epos-epos Hindu.

Dari semua hal nan telah dijelaskan, kita juga bisa mengetahui sejauh mana Umar Kayam memiliki pengetahuan tentang kebudayaan, baik kebudayaan Indonesia sebagai kebudayaan nasional, kebudayaan Jawa sebagai budaya 'ibu', maupun kebudayaan nan lahir dampak pengaruh epos-epos luar sehingga dapatlah kita mengambil sebuah pengetahuan atau pendidikan dari karyanya ini mengenai bagaimana kebudayaan suatu 'bangsa' itu lahir, berkembang, dan menetap sebagai sebuah anggaran nan hayati di masyarakat nan kelak mungkin menjadi patokan atau panduan buat menjalankan kehidupan.

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa karya Sri Sumarah ini sebagai citra kebudayaan Jawa nan tentu saja menjadi bagian dari pencerahan masyarakat Indonesia akan pentingnya budaya dalam memengaruhi kehidupan seseorang.