Pecahnya Kerajaan Kahuripan

Pecahnya Kerajaan Kahuripan

Setiap masa niscaya memiliki tokoh legenda nan akan dikenal sepanjang masa. Apakah ia seorang pahlawan, penulis, penyair, politisi, jenderal perang, atau pun seorang raja seperti halnya Erlangga. Raja terkenal dari Kerajaan Kahuripan (Daha) pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di nusantara.

Erlangga (biasa juga disebut Airlangga atau Prabu Erlangga) merupakan salah satu dari beberapa nama raja Hindu Budha nan hingga kini namanya terukir abadi. Menginspirasi mulai dari penamaan jalan (Jalan Erlangga), museum di Kota Kediri (Museum Erlangga), nama penerbit terkenal (PT Penerbit Erlangga), hingga nama universitas negeri terbesar di Jawa Timur (Universitas Erlangga atau Airlangga).

Kenyataan ini kiranya jadi hal menarik buat ditelusuri. Sejauh apa dan bagaimana sepak terjang Raja terkenal tersebut semasa hidupnya.



Jawa pada Abad ke-7 Masehi

Sebelum membincangkan lebih jauh mengenai sosok raja berwibawa itu, ada baiknya dikupas terlebih dahulu latar belakang sosial-budaya masyarakat Jawa pada abad ke-7 Masehi.Yaitu pada masa masyarakat Jawa telah mengenal hayati berkepimpinan dalam sistem kerajaan, dan munculnya kerajaan-kerajaan besar bercorak agama Hindu dan Budha.

Sebut saja Kerajan Mataram Antik (Hindu-Budha) nan berpusat di Jawa Tengah dan Kerajaan Sriwijaya di Sumatra nan raja-rajanya masih memiliki interaksi kekerabatan dengan Kerajaan Mataram Kuno.

Ketika itu nama nusantara (yang dikenal pada kejayaan Kerajaan Majapahit, beberapa abad kemudian) belum dikenal. Jawa lebih dikenal dengan nama Jawa Dwipa, sedangkan Sumatra disebut sebagai Swarna Dwipa. Keduanya mengacu pada citra kemakmuran dan tingginya peradaban masyarakat di kedua pulau besar tersebut.

Sebelum abad ke-7 Masehi, umumnya masyarakat di Jawa belum mengenal sistem kerajaan nan memiliki kekuasaan mengatur kehidupan rakyatnya. Namun, bukan berarti pada masa tersebut (sebelum abad ke-7) masyarakat di Jawa tak mengenal konsep kepemimpinan.

Mereka sudah memiliki pemimpin namun bersifat lokal dan kekuasaannya terbatas. Pemimpin diangkat buat mengatur sistem irigasi atau persawahan masyarakat.

Menurut DR Franz Magnis Suseno SJ dalam salah satu bukunya, disebutkan bahwa masyarakat Jawa mengalami transformasi sosial-budaya ketika datangnya kaum Brahmana. Sekelompok orang nan menyebarkan agama Hindu dari India dan sekaligus memperkenalkan berbagai pola hidup, termasuk konsep kerajaan dengan raja sebagai tokoh sentral kepemimpinan. Kekuasaan raja bersifat mutlak (mutlak) sebab ia dianggap sebagai titisan dewa-dewa dalam kepercayan Hindu.

Perkembangan selanjutnya, di Jawa berdiri Kerajaan Mataram Antik di Jawa Tengah dengan raja-raja terkenal nan berasal dari dinasti Syailendra dan Sanjaya. Hingga abad ke-10 Masehi, pusat kerajaan dan sekaligus pusat peradaban masyarakat Jawa ada di Jawa Tengah.

Semua kegemilangan itu berubah total ketika terjadi letusan dahsyat dari Gunung Merapi pada akhir abad ke-10 (900 Masehi). Berbagai sumber sejarah menyebutkan bahwa bala alam ini berdampak fatal.

Peradaban nan dibangun beberapa abad lamanya itu hancur lebur. Membuat raja Mataram Antik saat itu (Empu Sendok) buat memindahkan pusat kerajaan ke Jawa Timur dan mengubah namanya menjadi Kerajaan Medang. Nah, raja pertama di Jawa Timur ini merupakan kakek dari Prabu Erlangga . Raja nan nantinya akan meneruskan kegemilangan dari Kerajaan Mataram Antik ketika masih berpusat di Jawa Tengah.



Raja Tanah Jawa

Saat Empu Sendok dari dinasti Isyana berkuasa di Jawa, di Pulau Bali juga terdapat raja Hindu nan berkuasa dari dinasti Warmadewa. Ketika itu di Bali, terdapat majemuk genre dari penganut Hindu nan saling bertikai. Adalah Udayana Warmadewa, raja nan sukses menghentikan konfrontasi tersebut dan menyatukan berbagai genre Hindu di Bali.

Raja Bali ini memiliki permaisuri bernama Gunapriya Darmapatni, nan tak lain ialah anak dari Empu Sendok. Dari pernikahan mereka, lahirlah Erlangga. Sebagai anak pertama, ia memiliki dua saudara laki-laki yaitu Marakata (Raja Bali setelah Udayana) dan Anak Wungsu (Raja Bali setelah Marakata).

Pada usia 16 tahun, Erlangga dinikahkan dengan anak dari pamannya yaitu Raja Medang bernama Dharmawangsa Teguh. Namun, ketika pesta pernikahan sedang berlangsung, terjadi agresi nan dipimpin oleh Raja Wurawari dari Lwaram (Blora), sekutu dari Kerajaan Sriwijaya nan ketika itu sedang bertikai dengan Kerajaan Medang.

Serangan tersebut sukses menggulingkan kekuasaan Kerajaan Medang dengan terbunuhnya Dharmawangsa dan dibumi hanguskan ibu kota kerajaan nan berpusat di Watan. Peristiwa tragis ini terjadi pada tahun 928 Saka (tahun Jawa kuno) atau sekitar 1006 Masehi. Adapun Erlangga beserta beberapa orang kepercayaannya sukses lolos dari agresi mematikan itu.

Dimulailah perjalanan panjang menantu Raja Dharmawangsa tersebut. Ia mulai menyusun kekuatan buat membalas dendam kepada Raja Wurawari dan merebut kembali kekuasaan dinasti Isyana atas tanah Jawa. Upaya itu diawali dengan membangun ibu kota baru (Watan Mas) di dekat Gunung Penanggungan pada tahun 1009 Masehi.

Namun, ibu kota baru ini tak bertahan lama. Selain hanya memiliki daerah kekuasaan nan kecil (meliputi Sidoarjo serta Pasuruan), kekuatan perangnya pun masih sangat lemah. Watan Mas bisa dikuasai musuh dan membuat cucu dari Empu Sendok itu membangun kembali ibu kota baru di Kahuripan (Sidoarjo).

Kerajaan nan kemudian bernama Kahuripan ini melewati masa-masa awal pendiriannya dengan berbagai peperangan. Yaitu menaklukkan raja-raja di tanah Jawa sebagai upaya menyatukan kembali kekuasan seperti pada masa Raja Dharmawangsa.

Perlahan tapi pasti, kekuasaan dari Kerajaan Kahuripan mulai meluas. Apalagi pada tahun 1023 Masehi, Kerajaan Sriwijaya takluk pada Raja Colamandala dari India. Ini membuat Erlangga semakin leluasa dalam membangun kekuasaan.

Puncaknya pada tahun 1035, Erlangga sukses mengalahkan Raja Wurawari dan sekaligus membalaskan dendam mertuanya, Raja Dharmawangsa. Ia pun memaklumatkan diri sebaga raja tanah Jawa, meneruskan kegemilangan dari dinasti Isyana. Yaitu menyatukan tanah Jawa (Jawa Tengah dan Timur) dalam satu kepemimpinan.



Pecahnya Kerajaan Kahuripan

Pada masa pemerintahannya, diceritakan dalam banyak prasasti bahwa peradaban di Jawa mengalami masa keemasan. Setelah melewati masa peperangan panjang dalam upaya meraih kekuasaan sebagai raja tanah Jawa, Erlangga menitikberatkan roda pemerintahannya pada pembangunan wahana buat kesejahteraan rakyat.

Seperti membangun bendungan Waringin Sapta, ekspansi pelabuhan Ujung Galuh, membangun semakin banyak jalan-jalan nan menghubungkan ke pusat kerajaan. Termasuk memindahkan lokasi ibu kota kerajaan dari Kahuripan ke Daha (Kediri) pada tahun 1042.

Segala upayanya tersebut, mampu meningkatkan kemakmuran rakyat di tanah Jawa. Begitu pula dengan urusan keamanan. Nyaris tak lagi terjadi peperangan atau kerusuhan atas nama agama nan sebelumnya sering terjadi. Dengan kewibawaan dan kearifannya, raja Jawa itu mampu mendamaikan pemeluk agama Hindu dnegan Budha atau antara sesama pemeluk Hindu namun berbeda aliran.

Ia pun memiliki ketertarikan kuat pada karya sastra dengan meminta Mpu Kanwa buat mengubah kitab Kakawin Arjunawiwaha. Kitab nan diadapatsi dari epik Mahabharata itu, menceritakan perjuangan Arjuna dalam mengalahkan Niwatakawaca. Ini merupakan kiasan atau analogi keberhasilan Erlangga ketika mengalahkan Raja Wurawari dan berujung pada diraihnya kekuasaan sebagai raja tanah Jawa.

Sayangnya, kemakmuran dan kedamaian tersebut tak berlangsung lama. Setelah raja bijak itu mangkat dari kedudukan sebagai raja pada tahun 1042, terjadi kudeta antara kedua putranya.

Untuk mencegah terjadinya perang saudara, Erlangga kembali naik tahta buat beberapa waktu dan memutuskan membagi dua wilayah kekuasaan. Yaitu menjadi Kerajaan Panjalu (Kadiri) dengan ibu kota di Daha dan Kerajaan Janggala nan beribu kota di Kahuripan.

Tapi, usaha tersebut tidak membuahkan kedamaian. Sepeninggal Erlangga nan diperkirakan menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 1049, pecah perang saudara antara kedua kerajaan tersebut. Perang sesama saudara itu baru berakhir pada masa pemerintahan Raja Panjalu yaitu Jayabhaya. Ia sukses mengalahkan Kerajaan Janggala dan kemudian menyatukannya dalam satu kekuasaan.