Diksi dan Elemen-elemen Poem
Poem atau puisi merujuk pada sebuah komposisi kata-kata dalam sebuah kalimat nan teratur sehingga membentuk ritmis. Poem juga dapat dijelaskan sebagai bentuk karya sastra nan ditulis melalui langkah-langkah tertentu, membiarkan penggunaan khayalan dan pemilihan kata-kata buat mencapai tujuan estetis tertentu.
Poem atau puisi berasal dari poiesis dalam bahasa Yunani nan berarti membuat atau membentuk. Dalam pengertian poem sebagai karya sastra, membentuk atau membuat tersebut merujuk kepada cara penulis atau pengarang membentuk suatu rangkaian kata-kata buat tujuan eksklusif dengan menekankan pada kekuatan makna.
Sebagai salah satu bahan telaah, dapat kita bandingkan dalam satu bait saja antara poem karya Sarah nan berjudul "My Angel" dengan karya Taufik Ismail nan berjudul "Setelah Seratus Tahun Membentang" di bawah ini:
My Angel - Sarah
For you my sweet angel I would die
I'd pick all the stars from the sky
And give them all just for you
To let you know how much I love you
Setelah Seratus Tahun Membentang - Taufik Ismail
Berdiri kita di tebing nan menjulang
Samudera waktu bersama kita pandang
Adalah sejarah nan membayang
Seratus tahun telah terbentang
Peristiwa demi peristiwa pergi dan datang menggelombang
Kedua bait poem di atas sama-sama telah membentuk kata-kata buat tujuan tertentu, memiliki penekanan makna, mencapai tujuan estetis melalui pemilihan kata-kata atau diksi. Untuk nan terakhir ini, pada poem karya Taufik Ismail lebih terasa menggetarkan sehingga makna nan ingin dicapai juga terasa jelas sekalipun baru dibaca dari satu bait awal.
Merujuk pada catatan sejarah, bentuk poem telah ada sejak zaman Sansekerta, pada awalnya merupakan perkembangan dari lagu-lagu rakyat. Poem nan merupakan bentuk pengembangan dari lagu-lagu rakyat sudah mulai dikenal di daratan China. Sementara di Eropa sendiri, puisi sudah ditemukan dalam naskah-naskah antik sebagai cara buat menceritakan cerita-cerita epos. Hal ini dapat diperhatikan misalnya dalam Gathas Zoroaster atau daam epos karya Homer.
Dalam masalah pemilihan kata dan upaya membentuk estetis eksklusif ketika merangkai kata-kata buat mencapai tujuannya, puisi mendapat loka nan seluas-luas seiring dengan perkembangan zaman. Beberapa jenis poem ada nan menekankan unsur ritmis dan irama eksklusif buat mencapai imbas musikal.
Dalam poem modern Amerika dan Inggris unsur-unsur ritmis ini tetap mendapat perhatian sehingga menjadi sangat membantu ketika puisi-puisi tersebut dimusikalisasi, sebuah perkawinan serasi antara karya sastra dengan karya musik. Bahkan, ada pula penyair nan mencoba menulis puisi dengan menggali keunikan dan bentuk-bentuk atau struktur kata-kata dalam al-kitab nan juga sangat memperhatikan unsur-unsur ritmis sehingga terdengar merdu ketika dilafalkan.
Sejarah Poem
Poem sebagai karya seni telah dikenal lebih dahulu justru sebelum manusia mengenal tulisan. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya karya seni poem di dalam masyarakat pra sejarah sebagai cara buat mempercepat penyampaian melalui lisan. Sementara itu, karya puisi paling tua telah dikenal di India antara pada 1700-1200 SM di dalam kitab Veda. Dan puisi jenis epik nan dianggap paling tua telah ditemukan di kawasan Mesopotamia dalam epos Gilgames nan ditulis dalam tanah liat.
Kalau dilihat dari unsur estetis nan terdapat di dalam sebuah poem , John Keats, salah seorang pemikir klasik membagi jenis puisi ke dalam tiga yakni puisi lirik, puisi dramatis dan puisi epik. Selama masa Renaissance berlangsung silang pendapat antara puisi dibandingkan dengan prosa dalam hal struktur narasi nan biasanya linear dan logis. Masalah ketidak logisan dan strukturnya nan tak linear ini menjadikan puisi sebagai karya seni hasil dari kemampuan negatif penulis. Namun poem nan mendapat kritikan pedas itu tumbuh fertile pada jaman romantis terutama sebab mulai dipahaminya bentuk-bentuk karya seni abstrak sekalipun masih berbeda dengan konsep berkarya secara nasional.
Pada abad 20 sudah tak ditemukan lagi kontradiksi antara puisi dan prosa sehingga puisi pun berkembang dengan subur, bahkan dalam beberapa hal terutama diksi dan pencitraan, karya seni puisi selangkah lebih maju. Poem tak hanya permainan komposisi dan pemilihan kata-kata tapi telah mampu menghadirkan sebuah struktur nan menarik nan tak ditemukan dalam karya sastra bentuk prosa.
Perkembangan ini tidak terlepas dari pertanyaan fundamental tentang kenapa puisi diciptakan dan alasan-alasan tradisional nan mempertentangkan antara poem dan prosa. Pada abad ke-20 ini pula ada pengarang nan membuat prosa dengan penekanan pada struktur dan pemilihan kata-kata seperti puisi, dan sebaliknya ada nan menulis puisi dengan penekanan pada struktur dan pemilihan kata seperti prosa sehingga akhirnya dikenal apa nan namanya prosa puitis dan puisi prosais.
Diksi dan Elemen-elemen Poem
Dalam jajak sastra ada beberapa elemen krusial dalam sebuah karya sastra jenis poem, yakni ritme, irama, intonasi dan meter. Ritme dalam sebuah puisi dimaksudkan sebagai tinggi rendah suara nan dihasilkan dari sebaris puisi, sementara irama mengacu kepada bagaimana alunan ketika puisi dibaca dan meter merupakan pola definitive dari sebaris puisi.
Robinson Jeffers mengemukakan perlunya sebuah metoda buat menciptakan ritme sebuah puisi nan tak saja mengandalkan kaidah bahasa tapi juga memperhatikan unsur-unsur dalam tradisi penciptaan puisi. Bahasa ditentukan oleh suku kata, aksen dan bagaimana ritme pelafalan. Unsur-unsur ini dapat berubah ketika orang mempergunakan buat penciptaan sebuah puisi. Dapat saja mengabaikan aksen dari sebuah bahasa ketika buat mengejar sebuah ritme tertentu.
Dalam poem klasik seperti Venpa nan berasal dari bahasa Tamil, tata bahasanya memang sangat kaku bahkan sering dianggap sebagai tata bahasa bebas kontek, namun ketika dalam sebuah puisi dengan menggunakan tata bahasa nan bebas konteks ini dapat menghasilkan irama nan indah. Lain lagi dengan poem klasik dalam khasanah sastra China. Sebuah puisi harus memiliki empat dering nan meliputi tingkatan-tingkatan nada dari nan rendah, sedang sampai tinggi.
Sementara itu dalam tradisi poem Barat, meter sebuah puisi merujuk kepada karakter bunyi dan jumlah suku kata per baris. Ukurannya dengan mengacu pada terminologi bahasa Yunani yakni tetrameter buat menyatakan empat suku kata dan heksameter buat menyatakan enam suku kata. Sistem metrik ini memang berasal dari puisi Yunani kuno. Penyair Pindar dan Sappho, ialah termasuk penyair nan sangat memperhatikan sistem metrik ini.
Selain itu elemen dasar lainnya dari sebuah puisi ialah irama. Untuk menghasilkan sebuah irama, penyair mengatur secara tepat tekanan atau jumlah suku kata nan disusunnya ke dalam pola berulang dalam sebuah baris. Dalam khasanah sastra lama di Indonesia, irama ini dikenal dengan dua pola besar atau sanjak, yaitu pola a-b-a-b dan a-a-a-a.
Puisi-puisi lama seperti juga terjadi di global barat, para penyair sangat memperhatikan masalah pengaturan irama ini sehingga ketika dibaca atau bahkan dinyanyikan, sebuah puisi akan terdengar mengalun merdu. Hal inilah nan tak ditemukan dalam karya sastra bentuk prosa sebelum ditemukannya karya prosa nan puitis.
Masalah pengaturan suku kata buat mencapai irama eksklusif ini, ditemukan pula dalam khasanah sastra Inggris antik yakni pengaturan sejumlah suku kata secara majemuk namun tetap memberi tekanan nan tetap dalam setiap barisnya. Dalam alkitab nan dalam bahasa aslinya yakni bahasa Ibrani, masalah irama ini sangat terasa.
Namun dalam puisi pada masa ini di Inggris sendiri, pola pengaturan jumlah suku kata dalam satu baris buat mencapai irama ini, tak lagi menjadi anggaran nan baku. Perkembangan ini kemudian mengenalkan orang pada anggaran sajak bebas dalam sebuah karya poem . Dalam poem bentuk ini, sebuah irama masih tetap ada tapi terasa lebih longgar.
Ketiga penyair nan menolak anggaran standar pengaturan suku kata buat mencapai irama eksklusif dari sebuah puisi ini diantara ialah Marianne Moore, William Carlos William dan Robinson Jeffers. Untuk memberi kekuatan pada puisinya, Robinson Jeffers misalnya pernah bereksperimen dengan munculnya irama secara sembarangan.