Pemilu di Indonesia
Pemilu atau pemilihan generik dapat didefinisikan sebagai suatu proses memilih orang-orang eksklusif nan akan mengisi jabatan politik dalam jenjang pemerintahan eksklusif nan dilakukan secara terbuka. Dengan demikian, buat memilih ketua OSIS di sekolah sampai dengan memilih presiden di sebuah negara nan menganut demokratis juga dapat dikatakan sebagai Pemilu. Namun, dalam pengertian dan pengetahuan awam di Indonesia, Pemilu menjadi mengerucut menjadi proses pemilihan anggota dewan dan presiden.
Apa Itu Pemilu?
Dalam tataran ilmu politik, pemilu merupakan upaya mempengaruhi para calon pemilih secara terbuka melalui cara-cara nan persuasif alias tak memaksa. Proses dan upaya mempengaruhi calon pemilih tersebut dapat melalui komunikasi massa, pidato, kampanye, kegiatan-kegiatan public relations dan kegiatan lain nan mendidik.
Jadi, sebenarnya ketika dalam sebuah pemilu dilakukan terjadi pemaksaan kepada calon pemilih buat memilih partai atau orang tertentu, secara konstitusional sudah merupakan pelanggaran. Pemaksaan di sini dapat dalam bentuk pemaksaan verbal, fisik sampai dengan mengimingi-imingi dengan hadiah tertentu.
Para calon pemilih atau dalam tataran ilmu politik disebut juga konstituen, merupakan kelompok atau perorangan nan memiliki hak suara dan memiliki kebebasan pula kepada siapa suara itu akan diberikan. Dalam proses pemberian suara ini, partai politik atau orang eksklusif boleh mempengaruhi konstituen dengan janji-janji eksklusif melalui program pemugaran manakala ia kelak akan terpilih.
Janji-janji pemugaran ini nan dilontarkan atau dikemukakan kepada konstituen melalui kegiatan kampanye telah ditentukan waktu dan persyaratannya. Penentuan waktu dan persyaratan ini dilakukan agar jangan sampai kampanye menjadi ajang bentrok masa pendukung atau saling serobot konstituen nan dapat menimbulkan hal-hal nan tak diinginkan. Sekalipun dalam praktiknya, benturan-benturan itu kerap saja terjadi.
Setelah selesai proses pemilihan, maka secara terbuka pula dilakukan penghitungan. Penghitungan suara pemilih nan absah merupakan bagian dari proses kegiatan pemilu. Kemudian, menentukan pemenang dari hasil pemilu ini telah ditentukan mekanismenya sinkron dengan peraturan nan berlaku di masing-masing negara. Dalam pengertian inilah kita mengenal model-model penghitungan suara. Cara-cara ini disepakati sebelum kegiatan pemilu berlangsung.
Menghitung Kursi Hasil Pemilu
Secara umum, menghitung atau menentukan jumlah kursi di parlemen buat partai politik nan ikut Pemilu hampir sama yaitu menggunakan rumus a=x/y. Artinya, a ialah hasil sapta pemilih, x yaitu jumlah suara absah dan y ialah jumlah kursi nan ditetapkan.
Misalnya saja total suara pemilih ialah 100, suara absah 96, suara tak absah 1 dan golput ialah 3 suara. Ditentukan oleh KPU misalnya peraturan pembulatan ialah satu di belakang koma. Apabila angka di belakang koma ialah kurang dari lima, maka dianggap tak ada penambahan dan bila angka di belakang koma lebih dari lima, maka dibulatkan menjadi bertambah satu.
Bila jumlah kursi nan diperebutkan seperti nan telah ditetapkan oleh KPU misalnya berjumlah 20 kursi dan pemilih ialah 4.8, yaitu jumlah suara masuk nan absah dibagi dengan jumlah kursi. Kemudian bila Partai A mendapat jumlah suara 30, maka porsi kursi nan diperoleh ialah 30/4.8 sampai dengan 6.25 kursi atau menurut kesepakatan pembulatan, Partai A mendapat jatah kursi di parlemen sebanyak 6 kursi.
Posisi jumlah kursi di parlemen menentukan pula nilai mayoritas dan nilai minoritas. Dalam Pemilu, bila sebuah partai mendapatkan jumlah kursi di atas 50%, maka ia dikatakan sebagai mayoritas mutlak. Sementara suara mayoritas absolut buat bisa mengubah UU ialah harus di atas 66,7%.
Bila partai pemenang Pemilu tak mendapat suara mayoritas absolut atau kurang dari 50%, maka agar bisa mengubah suatu Undang-Undang mau tak mau harus dibentuk koalisi. Dengan siapa partai pemenang Pemilu mengadakan koalisi agar menjadi mayoritas absolut buat mengubah Undang-Undang akan dilihat dengan mempertimbangkan banyak hal, salah satunya ialah kecenderungan plafon partai politik agar dalam pelaksanaannya benar-benar menjadi satu suara absolut dan menentukan perubahan undang-undang nanti.
Pemilu di Indonesia
Pemilu di Indonesia telah beberapa kali dilaksanakan dan dilakukan setiap lima tahun sekali. Setelah menyatakan merdeka 17 Agustus 1945, Pemilu dilaksanakan pada tahun 1955. Kemudian setelah itu dilaksanakan secara rutin setiap lima tahun sekali yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009.
Sejak pertama kali dilakukan Pemilu, jumlah partai politik peserta Pemilu tidaklah sama, terkecuali pada aplikasi pemilu dalam rentang tahun 1977 sampai dengan 1997 yaitu mengerucut menjadi 3 partai politik masing-masing Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya, dan Partai Demokrasi Indonesia.
Dalam rentang itu, Golongan Karya menjadi sangat dominan di parlemen sedangkan keberadaan kedua partai lainnya benar-benar hanya sebagai pelengkap penderita semata. Keberadaan PPP dan PDI sama sekali tak berada dalam posisi tawar nan tinggi sebagai sama-sama peserta pemilu dampak keberadaan Golkar nan terlalu dominan nan didukung penguasa.
Dalam rentang ini pula, hasil Pemilu seperti sudah dapat ditebak sejak jauh hari sebelum pelaksanaan. Kemudian calon presiden pun sudah dapat ditebak, tinggal menunggu wakil presiden nan sejauh itu berdasar pada selera presiden terpilih.
Awal aplikasi Pemilu di Indonesia bertujuan buat menentukan anggota legislatif atau DPR baik di taraf pusat, daerah maupun di taraf kabupaten dan kota. Namun, aplikasi Pemilu ini berubah setelah UUD 1945 diamandemen buat keempat kalinya.
Pada tahun 2002, selain memilih anggota parlemen, presiden dan wakil presiden pun dipilih melalui Pemilu. Kemudian melalui undang-undang Nomor 22 tahun 2007, aplikasi Pemilu diperluas dengan mengadakan pemilihan buat kepala daerah dan wakilnya.
Pemilu di Indonesia - Luber
Pelaksanaan Pemilu di Indonesia berdasarkan pada azas "luber" yakni singkatan dari Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia. Yang dimaksud pelaksaan pemilu secara langsung ialah pemilih diharuskan memberi suara secara langsung atau dengan kata lain tak berlaku dengan memberikan suara diwakilkan. Aplikasi pemilu secara generik dalam arti aplikasi pesta demokrasi ini diikuti oleh seluruh pemilik suara dan atau pemilih nan telah memenuhi syarat buat memberikan suara tanpa kecuali.
Bebas nan menjadi azas pemilu dimaksud agar dalam hal memberikan suara, peserta pemilu bebas menentukan pilihannya tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Sementara misteri dimaksudkan pada saat pemberi hak suara memberikan suaranya dilakukan secara misteri tanpa diketahui oleh siapa pun.
Asas pemilu nan luber ini telah dilaksanakan sejak rezim orde. Tapi seiring dengan semakin kuatnya rezim Orde Baru berkuasa, azas Pemilu luber ini hanya dilaksanakan sebagian-sebagian saja, terutama azas bebas dan misteri menjadi barang langka.
Pada setiap aplikasi Pemilu di bawah rezim Orde Baru, kasus-kasus pemaksaan agar memilih partai pendukung pemerintah menjadi pemandangan biasa, demikian pula pemalsuan dan penghilangan suara, tidak dapat dipungkiri. Namun, pengawas Pemilu tidak memiliki kekuatan buat menindak.
Seiring berkembangnya peta politik di tanah air, terutama setelah rezim Orde Baru tumbang, azas Pemilu ditambahkan dengan istilah "Jurdil" yaitu akronim dari jujur dan adil. Artinya aplikasi pemilu dilaksanakan sinkron dengan anggaran nan berlaku dan harus dipastikan bahwa pemilih menggunakan hak pilihnya sinkron dengan kehendaknya.
Asas adil dalam aplikasi Pemilu dimaksudkan agar semua pemilih dalam aplikasi Pemilu ini diperlakukan secara sama tanpa adanya keistimewaan-keistimewaan. Dalam konsepnya, asas "Jurdil" ini tak hanya ditujukan kepada pemilih dan partai peserta pemilu, tapi kepada seluruh pihak-pihak nan terlibat dalam aplikasi pemilu.
Walaupun begitu, masalah kecurangan dalam aplikasi Pemilu ini tetap saja menjadi masalah krusial. Sekalipun sudah dapat terlepas dari rezim Orde Baru, masalah kejujuran tak serta merta menjadi panutan semua nan terlibat dalam aplikasi Pemilu ini.