Persatuan Bangsa
“Dari Sabang sampai Merauke, empat perkataan ini bukanlah sekadar satu rangkaian kata ilmu bumi . Dari Sabang sampai Merauke, bukanlah sekedar geographical entity , ia ialah merupakan satu kesatuan kebangsaan, ia ialah satu national entity , ia pula ialah satu kesatuan kenegaraan, satu state entity , nan bulat kuat.
Ia ialah satu kesatuan tekad, kesatuan ideologi, satu ideological entity , nan amat dimanik. Ia ialah satu kesatuan cita-cita sosial nan hayati laksana barah unggun, satu entity of social consciousness like a burning fire, all the social consciousness of man free of our victory.
Karena itu hei seluruh bangsa Indonesia, tetap tegakkanlah kepalamu, jangan mundur, jangan berhenti, tetap gerakkanlah kakimu di muka bumi. Jikalau ada kalanya saudara-saudara merasa bingung, jikalau ada kalanya saudara-saudara hampir berputus asa, jikalau ada kalanya saudara-saudara kurang mengerti jalannya revolusi kita.
Kadang-kadang memang seperti perahu di lautan badai nan mengamuk ini, kembalilah kepada sumber amanat penderitaan rakyat kita nan konsekuen dengan social consciousness of man , kembalilah kepada sumber itu, karena di sanalah saudara akan menemukan kembali relnya revolusi”
Paragraf di atas merupakan kutipan pidato nan disampaikan Presiden Sukarno pada peringantan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1963. Pidato tersebut sangat jelas menggambarkan bagaimana pemahaman Sukarno dalam memaknai geopolitik Indonesia pada masa itu.
Pernyataan “dari Sabang sampai Merauke” merupakan perwakilan secara geografis di mana rakyat Indonesia hayati dan mengisi kehidupan mereka agar dapat berdiri tegak di hadapan bangsa lain. Tentu, tantangan geopolitik Indonesia pada saat itu ialah cita-cita buat lepas dari segala bentuk imperialisme asing, dan mencoba berdiri tegak sebagaimana sebuah bangsa, nan dalam istilah presiden Sukarno disebut “berdikari” alias berdiri di atas kaki sendiri.
Lingkungan Strategis
Indonesia berada dalam posisi nan sangat strategis secara geografi . Terletak di antara dua benua, (meski Australia sekarang tak dikategorikan sebagai benua), dan berada diantara dua samudera nan mana samudera tersebut merupakan jalur perdagangan internasional. Letak geografis Negara Indonesia ini dapat kita sebut sebagai lingkungan strategis.
Lingkungan strategis sendiri dapat kita kelompokan ke dalam beberapa bagian, sebut saja lingkungan strategis politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Secara politik, Indonesai berada di tengah-tengah Negara Asia Tenggara nan secara normatif harus memanfaatkan peluang laba sebagai sebuah Negara.
Peran serta bangsa Indonesia di Asia Tenggara dalam bidang politik akan menjadi sebuah kekuatan nan menguntungkan, sehingga Indonesia memiliki daya tawar nan besar di hadapan Negara lain. Secara politik, Indonesia bisa mengambil bagian dalam menjaga perdamaian di Asia Tenggara, menjadi pionir dalam kerjasama pertahanan Negara, serta menjaga keamanan dan perdamaian global nan lebih besar sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
Dalam bidang ekonomi, kerjasama-kerjasama perdagangan antar Negara dan persaingan ekonomi harus terus ditingkatkan. Kita harus sanggup bersaing secara ekonomi dengan Negara-negara Asia Tenggara nan sudah lebih dulu maju.
Keberadaan pulau-pulau di Indonesia mesti dikelola dengan apik sehingga dapat menjadi pusat perdagangan atau loka singgah bagi perdagangan internasional. Sebut saja Kota Batam, satu wilayah Indonesia di Pulau Sumatera ini mulai menggeliat menjadi pusat perekonomian dan boleh jadi suatu hari nanti akan mampu bersaing dengan kota-kota perdagangan lain, seperti halnya kota-kota di Singapura atau di Hong Kong.
Kekayaaan Indonesia dalam kebudayaan juga menjadi lingkungan strategis bagi bangsa ini. Jika Negara lain hanya memiliki satu jenis kebudayaan, bangsa Indonesia akan lebih bangga dan mampu menunjukan diri bahwa meskipun bhineka budaya, tetapi tetap satu tujuan. Hal ini sangat krusial sebagai cermin buat bangsa-bangsa lain bahwa Indonesia mampu berdiri tegak dengan berbagai kebudayaan nan menopanginya.
Demografi Sosial
Demografi merupakan satu konsep dalam ilmu sosiologi nan sangat berguna dalam mengkaji geopolitik Indonesia. Dengan demografi, kita bisa mengukur populasi dalam cakupannya meliputi kelas sososial, usia, jenis kelamin, dan wilayah persebaran di mana penduduk bertempat tinggal.
Meskipun kita memiliki satu ideologi nan mengikat bangsa ini secara keseluruhan, namun tantangan akan perpecahan dan perselisihan tentu akan terus membayangi. Ditinjau dari segi demografi, masyarkat Indonesia tersebar di berbagai wilayah propinsi dan pulau-pulau nan terpisah.
Bededa dengan Negara lain nan tak memiliki kepulauan, Indonesia dihadapkan pada tantangan nan lebih besar dalam merajut segi persatuan dan kesatuan. Tantangan ini dapat kita kategorikan ke dalam tantangan nan muncul dari dalam.
Bukan hanya dipisahkan secara georafis, bangsa Indonesia juga “dipisahkan” secara kultur, adat dan keagamaan. Jika kita tak pandai-pandai memeliharanya, disparitas nan mesetinya menjadi kapital ini malah dapat menjadi semacam bom waktu nan kapan-kapan dapat meledak.
Tengok saja konfrontasi antar suku nan pernah terjadi dalam catatan perjalanan bangsa ini, perselisihan agama nan berujung pada perpecahan umat, atau konflik politik nan tak sporadis mengorbankan kepentingan bersama, yakni persatuan Indonesia.
Saat ini, geopolitik Indonesia mungkin tak jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Namun, jika kita tak membenahi diri secara lebih baik, kita tak akan mampu buat bersaing dan menghadapi tantangan nan datang dari luar. Sebut saja tantangan nan paling besar kita sekarang ialah tantangan ekonomi.
Dengan dibukanya ekonomi pasar bebas, terlebih ketika paham neo-liberalisme tumbuh dalam perdagangan internasional, kita seolah seperti anak nan baru belajar jalan dan dibiarkan masuk ke dalam belantara hutan ekonomi nan sangat buas. Monopoli perdagangan, keterlibatan pihak asing dalam kebijakan-kebijakan ekonomi dalam negeri mencerminkan bagaimana kelemahan nan masih harus kita benahi.
Kembali lagi, buat bisa mengatasi tantangan nan datang dari luar, secara konsisten kita harus terus meningkatkan ketahanan di dalam negeri dalam berbagai bidang kehidupan.
Negara sebagaimana fungsinya wajib menyediakan ruang-ruang nan bisa menumbuhkan semangat persatuan. Sementara itu, warga Negara sendiri harus memiliki pencerahan besar bahwa bangsa ini tak bisa berjalan tegak tanpa adanya persatuan dari warga Negara itu sendiri.
Persatuan Bangsa
Sebagaimana tercermin dalam Pancasila, sila Ke-3, persatuan Indonesia merupakan tekad nan harus terus dijaga selama kita mencintai bangsa ini. Mengutip pernyataan Sukarno dari pidato di atas; “…kembalilah kepada sumber itu, karena di sanalah saudara akan menemukan kembali relnya revolusi”.
Sumber nan dimaksud tentu sumber nan menjadi landasan bangsa Indonesia hayati bersama, nan mencerminkan keinginan seluruh bangsa Indonesia hayati senasib dan sepenanggungan. Sumber itu ialah Pancasila. Karena itu, berbicara geopolitik Indonesia, kita harus kembali kepada seluruh amanat Pancasila nan tercermin dalam seluruh butir-butir Pancasila tersebut.
Dari Islam, Kristen, Hindu, hingga Budha; dari Jawa, Bugis, Makasar, atau Sunda; dari rambut keriting hingga rambut ikal, dari putih hingga hitam, semua tercermin dalam sebuah pernyataan Berbeda-beda Tunggal Ika, nan mewakili seluruh gagasan, perbedaan, tujuan, nilai, dan segenap peri kehidupan bangsa, dirangkum dalam satu rangkaian kata; dari Sabang sampai Merouke.
Semua diikat dengan tali persaudaraan dan ideologi Pancasila , itulah geopolitik Indonesia. Maka adakah alasan bagi bangsa ini buat bercerai berai? Semoga kita ialah orang-orang nan mau mengaplikasikan pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.