Sajak A. Samad Said - Apresiasi

Sajak A. Samad Said - Apresiasi

Kita sudah sampai di lereng amat indah, di bawah
pelangi, dalam ufuk nan masih mencabar;
dan kita ikhlas berjanji buat bermaruah,
tenang dalam segala uji cabar dan debar.
[….] Kita wajar mendaki lagi kerana puncak
yang jauh.

( Hidup Bersama , A Samad Said)

Sajak di atas merupakan penggalan salah satu sajak A. Samad Said nan sangat menyentuh. Yang jadi pertanyaan, siapakah Samad Said itu? Lahir di Kampung Belimbing Dalam, Durian Tunggal, Melaka pada tanggal 9 April 1935, A Samad Said ialah sastrawan Asia Tenggara nan layak diperhitungkan dalam kancah susastra dunia. Karya-karyanya nan begitu estetis menjangkau berbagai genre; sajak A Samad Said, cerpen, novel, bahkan naskah drama.

Penyair nan banyak menyitir estetika alam ini menempuh pendidikan di Sekolah Melayu Kota Raja, Singapura (1940-1946) dan Institusi Victoria, Singapura (1956). Minatnya terhadap seni sastra telah muncul semenjak awal mula ia sekolah.

Dalam literatur sastra Melayu, A Samad Said merupakan penyair unik dengan kekuatan imaji alam nan lembut, namun bertenaga dan penuh semangat. Bahkan, di negerinya, Malaysia, karya susastra A Samad Said merupakan jejak spesifik nan menyambungkan ASAS 50 dengan angkatan sesudahnya.



Sajak A. Samad Said - Proses Kreatif

A Samad Said berkiprah di global sastra Melayu semenjak 1950-an. Saat masih duduk di bangku sekolah dasar, ia telah melahap karya-karya sastrawan masyhur kala itu, seperti Ajip Rosidi, Rendra, Pramoedya, Achdiat, Hamzah, dan Wijaya Mala. Bukan itu saja, dia pun membaca tuntas novel-novel Barat nan terkenal, seperti Oliver Twist, Wuthering Height dan Almayer’s Folly.

Rasa cintanya terhadap sastra tidak dapat dilepaskan dari peran orangtuanya nan getol mendongeng semasa ia kecil. Tak heran jika imajinasinya begitu kaya sehingga mampu menghasilkan karya-karya mumpuni nan menjadi perbincangan khalayak, dan mengantarkannya menyabet “Anugerah-Anugerah Menulis Asia Tenggara” (SEA Write Awards).

Karir kepenyairannya boleh dibilang berliku-liku. Selepas sekolah, ia mengalami sulitnya mendapat pekerjaan, sehingga terpaksa bekerja serabutan di Rumah Sakit Singapura. Di sana, jiwa sastranya memberontak dan menjadi alasan ia keluar dari pekerjaan, buat kemudian melamar bekerja di koran Fikiran Rakyat, Kuala Lumpur.

Di Pikiran Rakyat pun rupanya gelegak jiwanya belum mendapat tempat. Ia melepas pekerjaan itu, merantau ke Singapura dan bergabung dengan majalah mingguan Utusan Zaman, Singapura. Tapi, rupanya itu pun bukan muara terakhirnya.

Ia mencicipi beberapa pekerjaan lagi sebelum akhirnya memutuskan menjadi penyair lepas dan mengabdikan jiwa seluruhnya kepada sastra Melayu.



Sajak A. Samad Said - Salina

Adalah sebuah manuskrip novelnya berjudul Gerhana yang ia tulis pada usia 23 tahun, dianggap mampu mengangkat prestise sastra Melayu di kancah susastra dunia. Novel itu kemudian diterbitkan dengan judul Salina, mengambil setting kehidupan Melayu di Singapura selepas Perang Global II.

Salina begitu monumental sebab dianggap paling sukses melukiskan empiris masa itu berupa kemiskinan, kemerosotan moral moral, dan pergelutan tokoh-tokoh di dalamnya. Kekuatan primer novel ini berada pada penokohan nan realistis, lepas dari mainstream hitam-putih khas sastra Melayu lama.



Sajak A. Samad Said - Apresiasi

Penyair nan pernah menggunakan beberapa nama pena; Hilmy, Isa Dahmuri, Jamil Kelana, Manja, Mesra dan Shamsir ini memiliki karakteristik estetis nan latif dan melodius dalam karya-karyanya. Lihat saja petikan puisinya di atas, alam terasa begitu dekat dan ikut berdenyar-denyar di dada pembacanya.

Apresisasi terhadap karya-karyanya pun terbilang prestisius. Pada 1976, ia diiktiraf sebagai Pejuang Sastra sebab telah memberi sumbangan besar dalam khazanah sastra Melayu. Pada 1979 ia menerima S.E.A. Write Awards. Pada 1985 dinobatkan menjadi Sastrawan Negara, dan pada 1993, A. Samad Said menerima Anugerah ASEAN.



Sajak A. Samad Said - Jejak Karya

Beberapa jejak karyan, mulai dari novel, cerpen, hingga sajak A. Samad Said , antara lain:

  1. Salina , novel, 1961.
  2. Bulan Tak Bermadu di Fatehpur Sikir , novel, 1966.
  3. Sungai Mengalir Lesu , novel, 1967
  4. Di Hadapan Pulau , novel, 1978
  5. Langit Petang , novel, 1980
  6. D aun-daun Berguguran , cerpen, 1962
  7. Ke Mana Terbangnya Si Burung Senja? , cerpen, 1966
  8. Bunga Gunung , cerpen, 1982
  9. Titisan Latif di Bumi Merkah , cerpen, 1985
  10. Hati Muda Bulan Muda , cerpen, 1993
  11. Daun-daun Berguguran , puisi, 1962
  12. Benih Harapan , puisi, 1973
  13. Daun Semalu Pucuk Paku , puisi, 1975
  14. Benih Semalu , puisi, 1984
  15. Bintang Mengerdip , puisi, 1984
  16. Balada Hilang Peta , puisi, 1993
  17. Di Mana Bulan Selalu Retak , naskah drama, 1965
  18. Ke Mana Terbangnya Si Burung Senja, naskah drama, 1966
  19. Wira Bukit , naskah drama, 1986
  20. Lazri Meon Daerah Zeni , naskah drama 1992
  21. Tangan nan Simpatik , esai sastra, 1981
  22. Between Art and Reality , esai sastra, 1994

Berikut ialah beberapa contoh sajak A Samad Said lainnya.



Tetamu Senja

Kita datang ini hanya sebagai tetamu senja
Bila cukup detik kembalilah
Kita kepadanya
Kita datang ini kosong tangan dada
Bila pulang nanti bawa dosa bawa pahala

Pada tetamu nan datang dan
Kenal jalan pulang
Bawalah bakti mesra kepada
Tuhan kepada Insan
Pada tetamu nan datang
Dan lupa jalan pulang
Usahlah derhaka pula
Pada Tuhan kepada Insan

Bila kita lihat manusia lupa tempat
Atau segera sesat puja darjat
Puja pangkat
Segera kita insaf kita ini punya kiblat
Segera kita ingat kita ini punya tekad

Bila kita lihat manusia terbiar larat
Hingga mesti merempat ke bahari biru
Ke kuning darat
Harus kita lekas sedar penuh pada tugas
Harus kita tegas sembah
Seluruh rasa belas

Kita datang ini satu roh satu jasad
Bila pulang nanti bawa bakti padat berkat
Kita datang ini satu roh satu jasad
Bila pulang nanti bawa bakti padat berkat

~ A. Samad Said

***



Menambat rakit

Sesudah demikian lama dicintai,
sukarlah dilupakan.
Inti pengalaman, kepedihan;
akar kerinduan keresahan...
Memang begitu banyak diperlukan kekuatan,
kepangkalan batin, rakit ditambatkan
bara kenangan dikuatkan
Akhirnya, tidak terduga, kekuatan membuak sendiri,
dan disedari, semua takkan sampai, ke dasar inti.
Tiada lagilah bezanya,
sama ada hilangnya kemudian
atau tenggelamnya sekarang.
Tiada juga bezanya,
jika ia langsung tidak datang
atau tiba-tiba terkorban
Kepiluan nan berlanjut akhirnya,
ditenterami keyakinan,
betapa dielak puntakdir
tetap terbuka pintunya
bertanya: manusia, engkau ini sebenar-benarnya siapa....
( A. Samad Said - 1985 )

***

Jika

Jika bukit menjadi gunung
Gunung menyuburi rimba
Jika sakit mendorong menung
Menung meransang dewasa
Lorong hayati banyak cabarnya

Jika rakit menjadi kapal
Kapal meningkat bahtera
Jika bangkit melawan gagal
Gagal membibit hemah
Landas hayati banyak tuahnya

(Jika, sajak A. Samad Said , dari antologi Rindu Ibu)

***

Obor Hemah

Guru ialah awan latif terbang rendah,
melimpahkan hujan pada musim gersang,
menyegarkan benih ilmu, berbuah hikmah;
ia renjis embun pada tanah bakat,
suara ihsan ketika manusia kalah,
sepi nan syahdu dalam global resah.

Guru - atap ganti ketika pondok bocor,
ketika sejarah dalam bilik darjah,
senyum penyembuh bagi wabak sengsara,
ia - sungai rangsang sentiasa tenang,
menghantar perahu ke segara dharma,
memesan angin menghikmahkannya.

Guru ialah penelaah nan tekun,
mewariskan global sebagai kutubkhanah,
menyediakan kutubkhanah sebagai dunia,
ia mengemudi biduk, melepaskannya,
atas lambungan laut, merangsangkan
manusia menyelami rahsia khazanahnya.

Guru - minda segar dan kukuh akar,
menghidupkan batin nan higienis
di daerah global cemar kasih,
dan pada ketika tidak tersangkakan,
walau diambilnya kemball semua buku,
sempat ditinggalkan asas ilmu.

Guru ialah batin kudus hatinurani,
penjunjung budi, manusia nan takwa,
obor hemah kehidupan bangsa.

A. Samad Said (2 APRIL 1988)

Bagaimana menurut Anda sajak A. Samad Said di atas, menarik, bukan? Anda pun dapat menjadi sastrawan hebat seperti beliau jika rajin berlatih.