Perjuangan Sultan Hasanuddin sebagai Raja Gowa
Indonesia memiliki banyak pahlawan nasional. Salah satu diantaranya ialah Sultan Hasanuddin. Siapakah beliau dan bagaimanakah perjuangannya? Tulisan ini akan membahas tentang biografi salah satu pahlawan nasional tersebut serta riwayat perjuangannya.
Biografi Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin memiliki nama orisinil I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Beliau lahir di Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 12 Januari 1631. Ia mendapat gelar tambahan Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana setelah memeluk agama Islam. Selanjutnya Ia lebih sering dipanggil dengan nama Sultan Hasanuddin.
Ayahnya bernama I Manuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiung nan bergelar Sultan Malikussaid. Sedangkan sang ibu bernama I Sabbe To'mo Lakuntu. Dia ialah Putri bangsawan Laikang.
Saudara perempuan Sultan Hasanuddin bernama I Sani atau I Patimang Daeng Nisaking Karaeng Bonto Je'ne. Dia kemudian diperistri oleh Sultan Bima, Ambela Abul Chair Sirajuddin. Sultan Malikussaid ialah raja Gowa nan ke-15. Kemudian, tahta kerajaan Gowa ke-16 pun jatuh ke tangan anaknya, I Mallombasi nan memerintah kerajaan Gowa pada tahun 1653-1669.
I Mallombasi memang telah menunjukan kelebihannya dari saudara-saudaranya nan lain sejak masih belia. Dia ialah anak nan cerdas dan sangat rajin belajar. Meskipun menjadi putra bangsawan, ia sangat rendah hati.
Selain rendah hati, ia juga dikenal sebagai anak nan selalu jujur dalam setiap perbuatan maupun perkataanya. Karena itulah, keluarga dan teman-temannya sangat menyayanginya. Dia menimba ilmu di Pusat Pendidikan dan Pedagogi Islam di Mesjid Bontoala. Disana ia dididik menjadi pemuda nan taat beragama dan memiliki semangat juang nan tinggi.
Saat dia berumur 8 tahun, Sultan Alauddin nan merupakan kakek Hasanudin wafat. Ia telah memerintah di kerajaan Gowa selama 46 tahun. Setelah kepergian sang kakek, ayahnya diangkat menjadi raja Gowa ke-15 pada tanggal 15 Juni 1639.
Menginjak usia remaja, Hasanudin mengisi hari-harinya dengan belajar dan berteman dengan kawan-kawannya. Sebagian dari kawan-kawannya ialah putra-putra raja Bone nan waktu itu menjadi tawanan di kerajaan Gowa. Pada usia 16 tahun dia sering diajak ayahnya buat menyertainya dalam perundingan-perundingan penting. Dimulai dari situlah ia belajar banyak ilmu tentang pemerintahan termasuk di dalamnya ilmu taktik perang dan cara berdiplomasi.
Kemampuannya semakin terasah setelah mendapat bimbingan dari ayahnya dan dari mangkubumi kerajaan Gowa Karaeng Pattingaloang (tokoh berpengaruh dan cerdas di Gowa). Dari tokoh tersebut ia memperoleh banyak ilmu baru, terutama tentang pemerintahan. Sifat Hasanuddin nan mudah bergaul, membuatnya memiliki banyak teman baik dari lingkungan bangsawan istana maupun rakyat biasa. Tak hanya itu saja, ia juga tidak segan berteman dengan orang asing seperti orang melayu, inggris, dan Portugis nan melakukan aktifitas perdagangan di Makassar.
Sultan Hasanuddin pun tumbuh semakin dewasa. Bahkan Hasanuddin muda nan saat itu baru berusia 20 tahun sudah berani menjadi utusan buat mewakili ayahnya mengunjungi beberapa kerajaan di nusantara. Misinya pun tak main-main. Ia harus membawa titah persatuan nusantara terutama pada daerah-daerah nan tergabung dalam pengawalan kerajaan Gowa.
Ia juga sering ditugaskan buat mengadakan perjanjian kolaborasi perdagangan dan pertahanan dengan beberapa kerajaan seperti Mataram dan Banten. Amanat Raja Gowa ke-15 nan sering diberikan padanya selalu dijalankan dengan baik. Hasanuddin muda dipercaya buat menjabat urusan Pertahanan Kerajaan Gowa pada usia nan baru 21 tahun. Mulai saat itu ia banyak membantu ayahnya mengatur taktik pertahanan buat mencegah agresi Belanda nan mulai gencar melakukan penyerangan terhadap kaum pribumi.
Saat Hasanuddin memasuki usia 22 tahun, ayahnya wafat. Sultan Hasanuddin muda pun diangkat menjadi raja Gowa ke-16 sinkron dengan pesan dari ayahnya sebelum wafat. Penobatannya dilakukan pada bulan Nopember 1653. Menurut almarhum ayahnya, jabatan raja pantas diberikan pada Hasanuddin muda sebab sifat-sifat Hasanuddin nan tegas dan berani. Ia percaya bahwa anaknya akan mampu meneruskan perjuangannya melawan penjajahan Belanda.
Perjuangan Sultan Hasanuddin sebagai Raja Gowa
Dua tahun setelah menjadi raja Gowa, Sultan Hasanuddin memutuskan buat membina sebuah keluarga dengan I Bate Daeng Tommi atau I lo'mo Tombong Karaeng Pabineang. Perempuan tersebut ialah putri Mangngada' Cinna Daeng Sitaba, Karaeng Pattingaloang nan merupakan mangkubumi Kerajaan Gowa. Tak lama kemudian Karaeng Pattingaloang, nan dulu selalu mendampinginya, wafat.
Ia memulai perjuangannya dengan berusaha menggabungkan beberapa kerajaan kecil di Indonesia bagian timur buat menyatukan kekuatan guna menghadapi Belanda. Pada saat itu Belanda telah memonopoli perdagangan rempah-rempah di kepulauan Maluku. Pada tahun 1660 terjadi peperangan antara kerajaan Gowa dan Belanda. Tapi peperangan tak berlangsung lama setelah adanya kesepakatan perdamaian antara kedua pihak nan bertikai.
Peperangan melawan Belanda kembali terjadi pada tahun 1666. Perang terjadi setelah kesepakatan perdamaian dirasa terlalu banyak merugikan pihak Gowa. Dalam perang ini kekuatan Belanda lebih besar sebab dibantu oleh beberapa kerajaan nan telah mereka pengaruhi dengan politik memecah belah.
Angkatan perang besar di bawah pimpinan Cornelis Speelman dan Arung Palaka telah disiapkan. Kelicikan Belanda sukses memecah belah persaudaraan antara Arung Palaka dari kerajaan Bone dengan Kerajaan Gowa. Peperangan terus terjadi dan suasana di wilayah Maluku semakin mencekam.
Kedua pihak terus berperang. Banyak korban berjatuhan. Dampak peperangan ini kerajaan Gowa semakin terpuruk dampak jatuhnya beberapa benteng pertahanan krusial ke tangan kolonial Belanda.
Meskipun sempat mengalami kekalahan, pasukan Belanda tetap menyerang. Terlebih lagi Belanda mengirim donasi tambahan berupa 5 kapal perang besar nan dikomandoi Kapten P. Dopun. Pada tanggal 22 Oktober 1667, pasukan Belanda dengan armadanya nan besar mengepung wilayah Makassar dengan meriam-meriam besar.
Pertempuran nan sangat sengit antara Gowa dan pasukan Bone, Buton, Ternate, dan Maluku pun tidak dapat dihindarkan. Banyak korban berjatuhan dari bangsa sendiri. Semua itu dampak kelicikan Belanda memecah belah kerajaan-kerajaan tersebut.
Sultan Hasanuddin merasa perlu mengambil kebijakan agar peperangan dapat dihentikan dan mencegah lebih banyak korban berjatuhan. Dia merasa kelelahan dengan peperangan nan tiada henti. Pada tanggal 18 Nopember 1667 diadakan Perjanjian Bungaya nan mengakhiri perang tersebut. Namun, perjanjian ini tak berlangsung lama sebab hasil perjanjian dinilai merugikan kerajaan Gowa.
Salah satu keputsan nan merugikan ialah penyerahan benteng Ujung Pandang kepada Speelman dan namanya diganti menjadi "Fort Rotterdam". Speelman rupanya telah mempersiapkan benteng ini sebagai pertahanan pasukan Belanda. Dia sudah memprediksi bahwa perjanjian Bungaya akan segera batal.
Akhirnya perang kembali terjadi pada tanggal 21 April 1668. Sultan Hasanuddin dan pasukannya kembali melancarkan agresi terhadap kedudukan-kedudukan Belanda di beberapa tempat. Kegigihan Pasukan kerajaan Gowa serta Sultan Hsanudin mampu mebuat pasukan Belanda kocar-kacir.
Banyak korban berjatuhan di pihak Belanda. Namun, Speelman kembali meminta donasi dari Batavia berupa peralatan perang. Mereka dengan persenjataan lengkap sukses menguasai benteng Somba Opu pada 15 juni 1669.
Kali ini, Sultan Hasanuddin benar-benar kalah setelah menjalani peperangan sengit. Menurut Belanda, perang ini ialah nan paling dahsyat serta memakan waktu paling lama diantara perang-perang lain di Nusantara. Karena kegigihan Hasanuddin dalam melakukan perlawanan, orang Belanda menjulukinya sebagai "Ayam Jantan Dari Timur".
Bahkan kegigihan itu tidak hilang meskipun ia mengalami kekalahan dan benteng Somba Opu telah jatuh ke tangan Belanda. Hal itu terbukti ketika ia tak mau menyerah kepada penjajah meskipun mereka berjanji buat memberikan pengampunan. Dia telah bersumpah buat tak lagi bekerja sama dengan penjajah Belanda.
Pada tanggal 29 Juni 1669, ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Raja Gowa ke-16 setelah selama 16 tahun menjalani peperangan. Beliau melawan Belanda demi persatuan Nusantara. Sepeninggalnya, I Mappasomba Daeng Nguraga nan merupakan putra Hasanuddin dinobatkan sebagai raja Gowa nan baru dengan gelar Sultan Amir Hamzah.
Pada tanggal 12 Juni 1670 atau bertepatan dengan tanggal 23 Muharram 1081 Hijriah, mantan Raja Gowa ke-16 tersebut mati dalam usia 39 tahun. Jenazahnya dimakamkan di sebuah bukit buat pemakaman raja-raja Gowa nan berada di dalam benteng Kale Gowa, Kampung Tamalate. Karena jasa beliau melawan penjajahan Belanda, pada tanggal 6 November 1973 Sultan Hasanuddin ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.