Pemain di Luar Pelukisan di Parma dan Chelsea
Di global ini, banyak pemain sepak bola nan hadir buat melewati pelukisan . Terlalu hebatnya mereka, baik dari segi skill individu maupun kontribusi pada tim, membuat pelukisan paling detail sekalipun susah menggambarkan sosok mereka nan sejati. Pemain-pemain seperti ini bagaikan pesulap nan menghibur kita di malam hari dalam sebuah pertunjukan mendebarkan.
Mereka dapat melakukan hal-hal mustahil di luar deskripsi. Kalau pesulap dapat mengeluarkan kelinci dari topi, maka pemain-pemain ini dapat mencetak gol dari sudut nan tak mungkin, melewati sekian banyak pemain dengan begitu mudah, atau memeragakan skill individu nan mungkin hanya ada dalam komik Jepang. Nah, Gianfranco Zola, pemain kelahiran Sardinia, Italia, ialah salah satu dari pemain nan melewati Deskripsi
Bermain dengan Pemain nan di Luar Deskripsi
Gianfranco Zola, pria kelahiran 5 Juli 1966, memulai kariernya bersama tim lokal Sardinia, Nuorese, pada usia 18 tahun. Sempat berkutat di pulau kecil tanah kelahirannya saja, Zola akhirnya mendapatkan momentum krusial berkiprah di Napoli, klub Serie-A nan sedang mengalami masa kejayaan, pada 1989. Kala itu, Napoli memiliki dewa sepak bola, Diego Armando Maradona nan permainannya juga tidak dapat dicakup deskripsi.
Kehebatan Maradona tak perlu diragukan lagi. Ia sudah memboyong gelar Piala Global 1986 plus membuat Napoli menjadi klub elite dengan gol-gol dan aksinya di lapangan. Maradona sendiri tentunya memberi peranan bagi Zola buat bermain di luar deskripsi. Zola mengakui bahwa kehadirannya di Napoli membuatnya banyak belajar dari Maradona. Ia sering berlatih tendangan bebas bersama sang pahlawan Argentina sekaligus dewa San Paolo, kandang Napoli. Zola mengaku bahwa ia tidak hanya berlatih bersama Maradona.
Zola juga sering mengintip cara latihan Maradona sambil terus mengasah kemampuannya dalam menciptakan tendangan bebas nan melengkung seperti sang idola. Maka, berada dalam supervisi langsung Maradona, Zola nan masih muda, tampil luar biasa. Di Napoli, Zola membantu klub asal Naples memenangi gelar Serie-A di musim pertamanya; dan Piala Super Italia tahun 1990. Namun, momentum emas dalam karier sepak bola sang pemain nan tidak ada dalam pelukisan datang ketika ia memperkuat Parma dan Chelsea.
Pemain di Luar Pelukisan di Parma dan Chelsea
Lepas dari bayang-bayang Diego Maradona, Zola tampil fantastis buat Parma sejak musim 1993/1994. Musim kedua di Parma, Zola mampu menyetor gelar Piala UEFA 1994/1995 sekaligus mendudukkan klub berjuluk Gialloblu di posisi runner-up Serie-A; sesuatu nan tidak dapat dilanjutkan generasi berikutnya dari klub tersebut. Di Parma pula permainan Zola semakin matang. Zola mencetak 51 gol. Sangat luar biasa jika melihat posisinya nan bukan penyerang murni.
Zola lebih dapat disebutkan sebagai playmaker atau paling tak gelandang serang nan dapat diadopsi sebagai penyerang primer dengan naluri gol nan sangat tinggi. Namun, ujian datang ketika Carlo Ancelotti, instruktur Parma saat itu, menganggap Zola tak cocok dengan skema permainannya. Alhasil, sang pemain di luar pelukisan mesti hijrah ke Premier League nan saat itu masih berada di bawah Serie-A, Chelsea.
Di klub inilah Zola berlabuh. Sang pemain di luar pelukisan bergabung dengan sesama pemain Italia seperti Gianluca Vialli dan Roberto Di Matteo. Zola pun mengubah Chelsea menjadi tim nan terkenal dengan gaya sexy football . Di bawah asuhan Ruud Gullit, instruktur bertangan dingin nan mengandalkan permainan indah, Chelsea bagaikan klub dengan segudang pemain sirkus. Di posisi gelandang, ada tokoh sentral seperti Dennis Wise nan galak terhadap para penyerang lawan, Gustavo Poyet dari Uruguay nan memiliki tendangan roket, dan Roberto di Matteo dengan umpan-umpan nan memanjakan. Di Chelsea pula sosok Zola nan jauh melebihi deskripsi semakin menggila.
Zola mencetak gol sensasional saat menghadapi Manchester United pada Februari 1997. Bagaikan mengajari pasukan Setan Merah , julukan Manchester United, buat belajar sepakbola, Zola melewati sekian pemain belakang sebelum menghajar bola ke gawang kiper terbaik global saat itu, Peter Schmeichel. Selain itu, Zola juga dikenal lewat aksi sensasional kala menghadapi Wimbledon di musim pertama. Ia memanfaatkan bola dengan tumitnya; berputar 180 derajat sebelum mengoyak gawang klub nan saat itu cukup andal tersebut.
Gaya bermain Zola nan melebihi pelukisan para komentator sepak bola sekalipun, membuatnya memboyong gelar Pemain Terbaik versi FWA. Hingga saat ini, tak ada pemain nan seperti Zola. Maklum, gelar tersebut didapatkan Zola tanpa perlu bermain penuh di kompetisi Premier League. Pada awal musim nan sama, Zola masih memperkuat Parma. Selain itu, Zola juga menjadi pemain Chelsea pertama nan meraih gelar Pemain Terbaik versi FWA, sesuatu nan akan membawanya jauh lebih melesat melewati semua deskripsi.
Chelsea sukses menggondol tiga gelar pada musim 1997/998, musim kedua Zola di klub London, yaitu, Piala Liga, Piala Winners, dan Piala Super Eropa. Zola berperanan besar dalam semua ajang tersebut. Ia juga membantu rekan senegaranya Gianluca Vialli, nan saat itu menggantikan Ruud Gullit, menjadi salah satu instruktur tersukses Chelsea. Yang unik, Vialli ketika melatih, masih berstatus sebagai pemain Chelsea. Ada kalanya Vialli turun sebagai penyerang dan berduet dengan Tore Andre Flo dan disuplai bola oleh sang pemain di luar deskripsi.
Awal dasa warsa 2000-an, Chelsea mulai berubah. Utang mulai menumpuk, sementara para pemain nan pernah berjaya bersama Ruud Gullit dan Gianluca Vialli mulai pensiun. Saat-saat inilah Zola tetap menjadi pahlawan kebanggaan Stamford Bridge, kandang Chelsea. Akhir kariernya di Chelsea terjadi pada musim 2002/2003. Hebatnya, di musim tersebut, ia mencetak gol terbanyak buat Chelsea dalam semusim, 16 gol. Instruktur Chelsea saat itu, Claudio Ranieri sendiri menyebut bahwa Zola ialah segalanya. Pernah suatu kali, Zola lagi-lagi mencetak gol dengan tumitnya ke gawang Norwich City. Ranieri menyebutnya sebagai penyihir dan semua penyihir akan selalu mencoba hal-hal baru sebab status kepenyihirannya.
Sayangnya, karier fantastis sang pemain di luar pelukisan di Chelsea harus berakhir pada musim 2002/2003 tersebut. Musim berikutnya, datanglah penyelamat Chelsea dari kebangkrutan, Roman Abramovich dari Rusia. Ia menginvestasikan sekian banyak uang buat membeli semua pemain terbaik di dunia. Sayangnya, reformasi sepihak Abramovich ini membuat banyak pemain lama langsung ditendang begitu saja. Termasuk Zola. Akhirnya, Zola kembali ke kampung halamannya di Sardinia.
Di sinilah ia memperkuat tim terbaik pulau tersebut, Cagliari. Di Cagliari, Zola sukses membawa klubnya lolos ke Serie-A. Bahkan di musim pertamanya bersama Cagliari, sang penyihir di luar pelukisan masih dapat mencetak 13 gol. Zola menutup karier sebagai pesepakbola profesional musim berikutnya. Namun, bukan berarti ia meninggalkan global sepak bola. Zola sempat menukangi timnas Italia U-21 sebagai pelatih. Ia juga pernah ditunjuk sebagai manajer West Ham di musim 2008/2009.
Sayangnya, karier kepelatihan Zola tidak secemerlang karier sebagai pemain. Di West Ham, ia terdepak di akhir kompetisi musim 2009/2010 setelah hanya mencetak 28,75% kemenangan dari 80 pertandingan nan dilakoni klub London tersebut. Meskipun demikian, semua orang sepakat dengan kemampuan Zola sebagai pemain. Tendangan bebasnya di luar deskripsi; gaya permainannya bahkan tidak terjangkau deskripsi para pengamat sepak bola.