Peribahasa Jawa tentang Motivasi Diri
Peribahasa Jawa merupakan suatu bentuk kearifan lokal budaya Jawa nan filosofis. Di dalam peribahasa, terdapat makna mendalam dari sebuah kalimat atau frasa, tak sekadar bisa dipahami secara harfiah.
Peribahasa Jawa - Pengertian Peribahasa
Sebelum mengulas peribahasa Jawa, mari pahami pengertian peribahasa terlebih dahulu. Menurut "Kamus Besar Bahasa Indonesia", peribahasa ialah 'kelompok kata atau kalimat nan tetap susunannya, biasanya mengiaskan maksud tertentu' dan 'ungkapan atau kalimat ringkas padat, berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hayati atau anggaran tingkah laku'.
Peribahasa ialah suatu kalimat nan di dalamnya terkandung arti dan maksud tertentu. Jadi makna dalam kalimat tersebut tak secara gamblang dijelaskan namun harus pembaca sendiri nan memberi arti atau menginterprestasikannya. Di Indonesia sendiri nan mempunyai banyak bahasa lokal atau daerah juga punya peribahasa nan menjadi bagian dari budaya daerah tersebut. Misalnya di daerah Jawa. Di loka ini juga banyak peribahasa berbahasa Jawa nan sering diucapkan masyarakat buat menilai terhadap suatu hal.
Peribahasa Jawa tentang Interaksi Antar-Manusia
Berikut ini beberapa contoh peribahasa Jawa nan mempunyai arti dan maksud serta makna nan cukup dalam dan kadangkala mengandung kritikan sosial.
1. Kebo nyusu gudel
Secara harfiah berarti kerbau menyusu ke anak kerbau. Peribahasa Jawa ini merupakan insinuasi nan cukup tajam (satire). Maksudnya ialah menggambarkan keadaan orang tua nan tak mau atau dapat bekerja sehingga semua kebutuhan hidupnya harus ditanggung oleh anaknya sendiri. Padahal orang tualah nan harus memberi penghidupan bagi anaknya, terutama apabila anaknya belum mampu buat mandiri.
Dapat juga diartikan sebagai orang tua nan belajar dari anaknya, sebab si anak lebih banyak ilmunya dari orang tuanya. Ini ialah suatu bentuk makna logika terbalik, sebab seharusnya orang tua lebih pandai dan lebih mapan dari anaknya.
2. Kemladheyan ngajak sempal
Secara harfiah artinya benalu mengajak patah. Peribahasa ini ialah sebuah bentuk insinuasi bagi orang nan menumpang dan menjadi benalu bagi orang lain. Karena benalu, keberadaannya bukannya menguntungkan orang nan ditumpangi tetapi justru merugikannya.
Sebagaimana kita pahami, benalu ialah parasit nan mengisap makanan dari pohon inangnya sehingga pertumbuhan pohon inang terhambat. Tidak hanya merugikan, benalu bahkan dapat membuat pohon tersebut wafat atau tumbang.
3. Gupak pulute ora mangan nangkane
Secara harfiah artinya tak memakan buah nangka tetapi terkena getahnya. Peribahasa ini mengiaskan kekurangberuntungan seseorang sebab tak menikmati hasil sebuah usaha melainkan hanya kebagian risikonya.
Contoh mudah di zaman sekarang dari peribahasa ini ialah penggunaan utang luar negeri. Dari utang-utang tersebut ibu kota menjadi terbangun secara pesat, dan orang-orang nan berada di tampuk kekuasaan hayati bergelimang harta. Akan tetapi rakyat kecil hanya dapat melongo dari gubuknya (tidak kebagian nangka). Ketika utang semakin melilit dan perekonomian menjadi sulit, rakyat kecillah nan terlebih dahulu merasakan semakin susahnya hayati (kebagian getahnya saja).
4. Gelem jamure emoh watange
Secara harfiah artinya mau jamurnya tetapi tak mau bangkainya. Mudahnya, peribahasa Jawa ini bisa dimaknai sebagai orang nan mau enaknya saja.
Contohnya ialah jika sekelompok warga menjalankan sebuah kerja bakti membersihkan got nan mampet, ada seorang bapak-bapak nan tak mau ikut membersihkan got sebab jijik, takut kotor, dan tidak mau kelelahan. Ia hanya sibuk sok mengatur bapak-bapak lain nan membersihkan got. Ketika Pak RW datang dan memuji hasil kerja bakti, bapak-bapak itu muncul di baris terdepan dan mengaku-aku bahwa adalah nan mengatur semuanya dan mengharapkan penghargaan.
5. Nabok Nyilih Tangan
Secara harfiah artinya ialah memukul dengan meminjam tangan orang lain. Ini ialah insinuasi bagi orang-orang berotak dursila tetapi tak melakukan kejahatan tersebut sendiri melainkan menyuruh orang lain buat melakukannya. Dengan kata lain, ini ialah sebuah peribahasa nan menyindir pada dalang otak kejahatan.
Contoh kasus tentang peribahasa ini ialah pemimpin tiran nan membunuhi rakyatnya nan 'bandel'. Agar tangannya tak 'kotor', ia menggunakan jasa penembak ulung buat membunuhi mereka. Setelah itu ia bersikap seolah tak ada apa pun nan terjadi, dan ia kembali memimpin penuh karisma.
Peribahasa Jawa tentang Motivasi Diri
Berikut ini beberapa contoh peribahasa Jawa nan mempunyai arti dan maksud serta makna nan cukup dalam dan kadangkala mengandung nasihat tentang motivasi diri.
1. Wani Ngalah Luhur Wekasane
Secara harfiah berarti siapa nan berani mengalah akan menjadi mulia di kemudian hari. Ini ialah sebuah peribahasa nan mengandung nasihat dahsyat. Akan tetapi peribahasa ini sering disalahartikan sebagai kemalasan buat berkompetisi.
Sebenarnya bukan demikian. Perlu ditanamkan dalam diri bahwa mengalah bukan berarti kalah, jadi mau mengalah tak berarti mau kalah. Contohnya, sepasang suami istri nan bertengkar sebab suatu hal tak akan dapat berbaikan jika tidak ada pihak nan mau mengalah.
2. Sapa nandur bakal ngundhuh
Secara harfiah berarti siapa nan menanam ia nan menuai. Dengan kata lain, apa nan Anda petik dalam kehidupan akan sinkron dengan apa nan Anda tanam. Jangan berharap memetik apel jika Anda menanam jagung.
Peribahasa ini mengajarkan manusia buat memahami risiko dari perbuatan. Jika Anda banyak berbuat baik, kebaikan pula nan akan Anda dapatkan di kemudian hari. Namun jika Anda banyak berbuat buruk, keburukanlah nan akan Anda dapatkan di kemudian hari.
Oleh sebab itu, hindarilah bersikap jelek terhadap orang lain, sebab pada akhirnya Anda-lah nan dirugikan. Dalam bahasa Indonesia, peribahasa Jawa ini setara dengan peribahasa 'siapa menabur angin akan menuai badai'.
3. Kaya Kodhok Ketutupan Bathok
Secara harfiah artinya bagai katak dalam tempurung. Peribahasa Jawa ini agaknya cukup populer, dan menjadi salah satu peribahasa Indonesia juga. Bagi seekor katak di dalam tempurung, global hanya seluas tempurung itu. Ia tak tahu menahu mengenai global di luar tempurung nan sesungguhnya jauh lebih luas dan lebih indah.
Ini ialah sebuah perumpamaan bagi manusia nan hidupnya di loka nan itu-itu saja dan kurang informasi. Baginya, hidupnya nan hanya seputar loka itu. Karena itulah ia tak tahu banyak hal. Pengetahuan dan pemikirannya pun sempit. Peribahasa ini biasanya digunakan buat menggambarkan orang nan pengetahuannya sempit dan tak mau belajar.
Menjalankan Peribahasa Jawa �Becik Ketitik Ala Ketara�
Makna dari Peribahasa Jawa "Becik Ketitik Ala Ketara" sebenarnya lebih luas dari sekedar menasehati manusia buat berbuat kebaikan. Peribahasa Jawa ini juga mengajarkan tentang prinsip dan kejujuran. Bahwa tanpa dilihat atau dinilai orang, manusia hendaknya tetap berbuat baik. Sebab, segala evaluasi ialah hak absolut milik Tuhan.
Agama dan kepercayaan apapun juga mendukung Peribahasa Jawa ini. Semua agama dan kepercayaan niscaya selalu mengajarkan kepada manusia buat senantiasa berbuat baik dan menjauhi perbuatan nan membawa kerusakan.
Bahkan dalam semua kitab nan dimiliki semua agama dan kepercayaan niscaya tertulis bahwa Tuhan menjanjikan akan memberi pahala bagi kebaikan. Di sisi lain, Tuhan juga mengganjar dosa bagi segala kejahatan nan dilakukan.
Jadi, dengan menjalankan Peribahasa Jawa "Becik Ketitik Ala Ketara" ini Anda sebenarnya tak hanya menjalankan amanah nenek moyang bangsa ini, namun sekaligus juga telah menjadi makhluk Tuhan nan baik.