Kolam sebagai Ingatan Tentang Hidup

Kolam sebagai Ingatan Tentang Hidup

:

Ketika usianya menginjak 69 tahun, Sapardi Djoko Damono melahirkan lagi sebuah kumpulan puisi berjudul Kolam. Dengan menggunakan bahasa nan sederhana, beliau mengusung tema perjalanan kehidupan. Sapardi mengangkat banyak hal-hal kecil di sekitar kita dan segala sesuatu nan dekat dengan alam sebagai alat pengucapan sajak-sajaknya.

Di usia tua, ia tampak semakin mantap menghadapi residu perjalanan hidupnya.
Ketika membaca puisi ini Anda seolah diajak mengamati dan merasakan segala bentuk penciptaan dari sisi nan sporadis terbayangkan. Berbagai pengalaman serta kematangannya menempuh kehidupan disajikan melalui kata-kata dalam puisi dengan pembentukan gambaran visual nan baik. Sapardi menggunakan personifikasi sebagai analogi kehidupan.

Dalam Kolam, ada beberapa puisi nan menarik buat dibahas serta dijadikan alat buat berkaca bagi kita. Bahwa dalam kehidupan tentu ada perjalanan. Perjalanan hayati dengan berbagai adegan menuju penuaan, titik akhir dari kematangan kita sebagai manusia buat menemukan jati diri. Serta inovasi kesempatan buat melahirkan beribu kenangan dan pelajaran.



Proses Penuaan Makhluk Hidup

Membaca puisinya, terbersit kegelisahan pengarang pada setiap kejadian di sekitarnya. Kegelisahan nan berawal dari keinginan agar segala kisah hidupnya tak menjadi sia-sia ketika menghadapi akhir.

Sejak awal, pada buku satu kumpulan puisi sosial saya hanya sebatas memandang sekeliling dan mengabadikan kejadian dalam ingatannya, tanpa ikut membantu. Seberapa sayang manusia pada dirinya, terlihat dari seberapa peduli ia pada lingkungannya. Salah satu hal nan mungkin ingin disadarkan Sapardi kepada pembaca.

Sajak ‘Kolam di Pekarangan’ bercerita tentang daun, ikan, dan kolam. Salah satu puisi nan dikemas menyerupai prosa ini selain menunjukkan proses penuaan: Daun nan membusuk di dasar kolam itu masih juga tengadah ke ranting pohon jeruk nan dulu melahirkannya. Ia ingin sekali dapat merindukan ranting pohon jeruk itu. Ingin sekali dapat merindukan dirinya sebagai kuncup.

Puisi nan juga bernafaskan ketuhanan: Zat itu bukan angin. Zat itu bukan cahaya matahari. Zat itu menyebabkannya menyerah saja pada air nan tidak dapat berhenti bergerak sebab ikan-ikan nan di kolam itu diperingatkan entah oleh Siapa dulu sangat purba buat tak pernah tidur. Daun sebagai simbol kehidupan, harapan, serta ketakberdayaan, ikan sebagai simbol perjalanan, dan kolam sebagai simbol loka berawal dan berakhirnya kehidupan.

Proses penuaan tersebut juga terlihat pada puisi ‘Taman Kota’. Taman Kota seolah menceritakan tentang ingatan nan mulai lumpuh seiring dengan menuanya seseorang. Awalnya ‘ia’ bisa membayangkan dirinya duduk di sebuah taman kota di negeri jauh. ‘Ia’ muda masih enerjik seharian naik turun angkot mencari rumah di taman nun jauh itu. Kemudian seiring usia ia’ bertambah tua ia hanya ingat suka membayangkan dirinya duduk di taman kota meski lupa entah di mana. Dan akhirnya ia hanya bisa membayangkan dirinya duduk, namun lupa di mana dan buat apa.

Di usia senjanya, Sapardi memperhatikan dirinya sama dengan keadaan sekelilingnya. Hal-hal kecil tentang keseharian menjadi sahabat sekaligus pemikirannnya menuju ketuhanan. Tak sporadis Sapardi seolah mengungkapkan kesiapannya buat menghadapi kepergian. Kalau nanti aku, alhamdulillah, harus pergi semua masih akan tetap tinggal bersamamu (Segalanya).

Dengan meyakini semua nan lahir niscaya akan mati. Ada pertemuan, begitu pula perpisahan. Tinggal kesiapan orang-orang di sekitarnya menghadapi kemungkinan tersebut. Seperti dalam ‘Sonet 3’ : ketika kubayangkan matamu mendesah. Jangan lupa, di sini ada nan gelisah. Seolah ada ketakutan buat membuat orang lain gelisah karenanya. Ketidakinginannya membuat orang lain sengsara sebab dirinya.

Namun, kegelisahan akan perpisahan tersebut bukan tidak dialami oleh Sapardi. Ia juga mengalaminya, hanya saja dari sudut pandang nan berbeda. Maka dari itu, ia juga menyiratkan pesan dalam puisinya. Sebagai sebuah peringatan bahwa tidak semua perpisahan harus diiringi dengan kesedihan dan kegelisahan, seperti dalam puisi ‘Segalanya’ nan bercerita tentang segalanya nan masih ada buat orang-orang nan ditinggalkan. Sekalipun ia telah tiada.



Kebersamaan dalam Puisi Sapardi

Sapardi juga mengangkat tentang kebersamaan Kolam , Kita digiring buat mengambil konklusi bahwa segala nan dituangkan Sapardi dalam puisinya merupakan bentuk ingatan akan berbagai perjalanan hayati nan sempat diresapinya. Hal-hal nan diinginkannya tetap terjadi setelah kepergiannya. Juga berbagai permasalahan kehidupan nan tidak akan berubah sampai kapan pun, namun selalu bisa dipandang dari sudut nan berbeda. Bahwa tak semua memerlukan tulisan.link

Pada akhirnya, setelah banyak belajar tentang kehidupan ia mencoba melipat jeda dengan Tuhannya. Segala kenangan berharga akan disimpannya dengan hati-hati di sebuah laci meja nan terkunci agar tak rusak. Dan ia akan meletakkan hidupnya di antara tanda petik: “Untuk dikenang”.
Kalau pada suatu hari nanti
Kau mengetuk pintu
Tak tahu apa saya masih sempat mendengarnya

Demikianlah kenangan kehidupan dalam kumpulan puisi karya Supardi Djoko Damono. Semoga bermanfaat bagi Anda.