Dasar Hukum Wakaf
Wakaf dalam Islam menurut sejarahnya sudah dilakukan sejak zaman Rasulullah Saw di Madinah. Wakaf ini dikembangkan buat membantu meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Islam ketika itu. Pasca hijrah nabi, yakni sekitar tahun ke-2 hijrah, wakaf disyariatkan dalam Islam buat benar-benar dijalankan oleh umat Islam khususnya mereka nan tergolong mampu.
Sejarah Wakaf
Setidaknya ada dua pendapat terkait ihwal siapa orang nan pertama kali melakukan wakaf. Pendapat pertama, yakni para ulama nan meyakini bahwa orang pertama nan berwakaf dalam Islam ialah Rasulullah Saw sendiri selaku pemimpin umat dan negara. Rasulullah mewakafkan tanah miliknya buat dibangunkan wahana peribadatan, yakni masjid.
Hal tersebut didasatkan pada hadits nan diriwayatkan oleh Umar bin Syabah, dimana ia berkata: “dan telah diriwayatkan dari Umar bin Syabah, bahwa kami bertanya mengenai permulaan wakaf dalam Islam. Kaum Muhajirin mengatakan adalah wakafnya Umar, dan sebaliknya kaum Anshar berkata ialah Rasulullah”. Pada tahun ketiga hijrah, Rasulullah kembali mewakafkan sebanyak tujuh kebun kurma miliknya nan antara lain: Syafiah, Dalal, Airaf, dsb. Juga sebagian pendapat ulama lainnya, bahwa nan pertama kali mewakafkan ialah Umar bin Khatab.
Pengertian Wakaf
Wakaf ialah salah satu perbuatan sunnah nan dianjurkan Allah Swt. melalui Rasul-Nya nan disampaikan melalui salah satu hadisnya nan berbunyi, ”Dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Apabila manusia meninggal, terputuslah kesempatan (memperoleh pahala) amaliahnya, kecuali dari tiga macam, yaitu sedekah jariyah, ilmu nan bermanfaat, dan anak saleh nan senantiasa mendoakannya.” (HR. Muslim)
Secara bahasa, wakaf artinya ialah menahan. Sedangkan menurut istilah fikih, wakaf berarti menahan harta nan bisa dimanfaatkan buat generik tanpa mengurangi nilai harta tersebut buat mendekatkan diri kepada Allah Swt. Harta wakaf tersebut bisa dimanfaatkan dengan ketentuan tak mengalami perubahan.
Dasar Hukum Wakaf
Dasar hukum wakaf ialah firman Allah Swt,
“ Kamu sekali-kali tak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta nan kamu cintai. dan apa saja nan kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran: 92)
Dan sabda Rasulullah Saw., “Dari Ibnu Umar bahwa Umar pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi Saw. Meminta perintah beliau tentang tanah tersebut. Ia berkata, “Ya, Rasulullah! Aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, suatu harta nan belum pernah kudapat sama sekali nan lebih baik bagiku selain tanah itu, lalu apa nan hendak engkau perintahkan kepadaku?” Maka jawab Nabi, “Jika engkau suka, tahanlah pangkalnya dan sedekahkanlah hasilnya! Lalu Umar menyedekahkan dengan syarat tak boleh dijual, tak boleh diberikan, dan tak boleh diwarisi, yaitu buat orang-orang fakir, keluarga dekat, memerdekan hamba sahaya, buat jalan Allah, buat orang nan kehabisan bekal dalam perjalanan (ibnu sabil), dan menjamu tamu. Tidak berdosa orang nan mengurusinya itu memakan sebagiannya dengan cara nan wajar dan buat memberi makan (kepada keluarganya) dengan syarat jangan dijadikan hak milik. Dalam satu hadis nan lain, Ibnu Sirin berkata, “Dengan syarat jangan kuasai pokoknya.” (HR. Bukhari)
Syarat dan Rukun Wakaf
Untuk sahnya amalan wakaf, kita sebaiknya memerhatikan ketentua syarat-syarat berikut:
- Wakaf tak dibatasi oleh waktu atau keadaan. Artinya, wakaf tak boleh dibatasi dengan jangka waktu atau keadaan tertentu.
- Harta wakaf harus bisa dimanfaatkan tanpa mengurangi nilai asetnya.
- Harta wakaf merupakan harta nan bisa diperjualbelikan sehingga bisa dinilai dengan mudah.
- Harta wakaf bukan sesuatu nan secara alam akan berkurang atau menyusut melalui proses pembusukan atau penguapan.
- Wakaf bersifa kontan. Artinya, apabila seseorang telah menyatakan mewakafkan berarti secara kontan harus dipenuhi saat itu juga, tak boleh ditunda, atau menunggu keadaan tertentu.
- Wakaf hendaknya harus jelas kepada siapa benda itu diberikan atau diwakafkan.
- Wakaf merupakan suatu amalan nan monoton dan harus dilaksanakan. Oleh sebab itu, wakaf tak boleh dibatalkan.
Dalam ibadah wakaf, ada beberapa rukun dan syarat nan harus dipenuhi, yaitu
a. Orang nan mewakafkan
Orang nan mewakafkan harta disebut waqif dengan syarat-syarat sebagai berikut.
- Baligh. Artinya, waqif ialah orang nan mampu mempertimbangkan segala sesuatu dengan jernih. Oleh sebab itu, hukumnya tak absah apabila wakaf dilakukan oleh anak-anak, orang gila atau orang nan kurang waras, dan hamba sahaya.
- Tidak punya utang.
- Dengan kemauan sendiri atau bukan sebab terpaksa oleh sesuatu atau seseorang.
- Wakaf tak boleh dibatalkan.
- Harta nan Diwakafkan
Harta nan sudah diwakafkan disebut mauquf, syarat-syarat mauquf ialah sebagai berikut.
- Zat benda nan diwakafkan ialah tetap, tak cepat habis, atau rusak agar bisa digunakan dalam waktu lama.
- Batas-batasnya harus jelas.
- Milik sendiri atau bukan milik orang lain.
- Penerima Wakaf
Penerima wakaf disebut mauquf ‘alaih . Syarat-syarat mauquf ‘alaih adalah
- Dewasa, bertanggungjawab, dan mampu melaksanakan amanat.
- Sangat membutuhkan. Tidak absah berwakaf kepada pihak nan tak membutuhkannya.
Selain kepada perseorangan, wakaf bisa diberikan pada badan sosial, yakni kelompok orang atau badan hukum nan diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf. Orang atau lembaganya disebut nazir.
b. Pernyataan Wakaf
Sighat wakaf ialah pernyataan orang nan mewakafkan dan merupakan tanda penyerahan barang atau benda nan diwakafkan. Sighat bisa dinyatakan dengan lisan atau dengan tulisan. Sighat wakaf harus dinyatakan secara jelas bahwa ia telah melepaskan haknya atas benda tersebut buat diwakafkan. Ketegasan tersebut diperlukan guna mengindari masalah di kemudian hari.
Harta nan Absah dan Tidak Absah Diwakafkan
Tidak semua harta menurut ketentuan Islam absah buat diwakafkan. Terdapat beberapa jenis barang dan benda nan tak absah buat diwakafkan.
Para ulama sepakat bahwa jenis harta nan absah diwakafkan berupa benda nan tak habis sebab dipakai dan tak rusak sebab dimanfaatkan, baik benda bergerak maupun benda nan tak bergerak. Sebagai contohnya, Umar bin Khattab mewakafkan sebidang tanah di Khaibar.
Seseorang tak absah mewakafkan barang-barang nan cepat rusak apabila dimanfaatkan, seperti uang, lilin, makanan, minuman dana segala nan cepat rusak seperti bau-bauan dan tumbuh-tumbuhan aromatik. Di samping itu, seseorang tak boleh mewakafkan apa nan tak boleh diperjualbelikan dalam Islam, seperti babi, anjing, binatang buas, dan barang tanggungan.
Di Indonesia
Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia, Indonesia tentu menyimpan potensi wakaf nan luar biasa. Menurut data nan dikeluarkan Kementrian Agama RI bahwa tanah wakaf telah mencapai 2.686.536.656,68 meter persegi atau sekitar 268.653,67 hektar luasnya. Kesemuanya tersebar di sekitar 366.595 lokasi di Indonesia.
Sejalan dengan itu, disamping begitu luasnya potensi wakaf tidak bergerak berupa tanah tersebut, Indonesia juga diuntungkan dengan begitu banyaknya sumber daya manusia muslim sebab statusnya sebagai bangsa berpenduduk mayoritas muslim. Namun sangat disayangkan segala potensi tersebut belum tergali secara maksimal sebab maih terganjal dengan regulasi nan masih belum mendukung pengembangan wakaf nasional.
Wakaf Uang
Istilah wakaf uang memang belum terkenal dan bahkan belum direalisasikan di masa kepemimpinan Rasulullah di awal-awal perkembangan Islam. Baru sekitar tahun kedua hijriyah cash waqf atau wakaf uang difungsikan. Seorang ulama sangat terkenal dan terkemuka, Imam Az Zuhri memfatwakan mengenai perlunya melakukan wakaf uang buat keperluan pembangunan wahana peribadatan, kegiatan sosial, pendidikan, kegiatan dakwah, dsb.
Di Turki, sebagai negara sekuler telah melakukan wakaf uang pertama kali tahun 15 H dan begitu familiar istilah wakaf uang itu di tengah-tengah masyarakatnya. Wakaf uang ini biasanya disimpan dalam bentuk cash deposits di lembaga-lembaga keuangan syariah, dalam bentuk investasi aktifitas bisnis nan menimbulkan keuntungan. Dan hasil (profit) dari itu akan digunakan dalam berbagai macam kegiatan dan aktifitas sosial keagamaan.
Itulah urgensi wakaf dalam Islam buat membangun dan membiayai aktifitas nan berkaitan dengan kemajuan peradaban Islam