Representasi Filsafat Kehidupan dalam Drama "Gerbong" Karya Agam Wispi
Bahasa dan filosofi mempunyai interaksi nan erat. Tanpa pengujian makna dan struktur bahasa secara filosofis, kita tak akan mudah mengetahui kebenaran objektif dari kata-kata pernyataan atau membahas konsep-konsep abstrak.
Filsafat bahasa berupaya memahami konsep-konsep nan diutarakan oleh bahasa serta mencari sistem pendukung nan efektif dan akurat. Tugas para filsuf sangat sulit sebab mereka mencoba menemukan teori bahasa demi menghindari kesalahan dalam pemaknaan dan penggunaan konsep bahasa.
Filosofi Bahasa berkaitan dengan sifat-sifat, asal-usul, dan penggunaan bahasa. Sebagai sebuah topik, filosofi bahasa bagi para filsuf analitis berhubungan dengan empat masalah utama, yaitu ciri makna, penggunaan bahasa, kognisi bahasa, dan interaksi di antara bahasa dan realitas.
Pertanyaan Filsafat Bahasa Mengenai Makna
Pertama, para filsuf bahasa mempertanyakan ciri makna dan mencari klarifikasi apa artinya "makna". Hal-hal nan dibahas pada bagian ini termasuk sifat-sifat sinonimitas, kesejatian makna itu sendiri, dan bagaimana sebuahmakna dapat diketahui.
Kedua, para filsuf mencoba memahami apa nan dilakukan pembicara dan pendengar dengan bahasa dalam proses komunikasi, dan bagaimana penggunaan bahasa secara sosial. Pembahasan spesifiknya dapat meliputi pembelajaran dan penciptaan bahasa, serta cara berbicara di depan umum.
Ketiga, para filsuf berusaha mengetahui bagaimana bahasa berhubungan dengan pikiran pembicara maupun pendengar. Pembahasan spesifiknya ialah cara menerjemahkan suatu kata ke dalam kata lain dengan sukses.
Keterikatan Bahasa dan Kebenaran
Selanjutnya, para filsuf menyelidiki bagaimana bahasa dan pemaknaan saling bertautan dengan kebenaran dan dunia. Filsuf-filsuf biasanya tak terlalu mempedulikan kebenaran suatu kalimat, melainkan lebih memperhatikan jenis-jenis makna nan sahih atau salah.
Spekulasi mengenai bahasa mula-mula muncul di India (pada Abad ke-7 Sebelum Masehi) dan Yunani (pada Abad ke-3 Sebelum Masehi) nan kemudian menghasilkan tradisi tata bahasa. Filsuf-filsuf mereka, khususnya Yunani, melakukan pendalaman terhadap logika, kategori, dan penciptaan makna-makna.
Filsuf-filsuf Stoic memberikan kontribusi krusial pada analisis tata bahasa, membedakan lima bagian bahasa, yaitu kata benda, kata kerja, appellative (nama atau julukan), kata penghubung, dan objek.
Hubungan di antara bahasa dan pemahaman tentang bahasa dapat disebut sebagai interaksi kausalitas. Bahasa merupakan objek nan menarik bagi perenungan, pembahasan, dan penelitian global filsafat. Selain memiliki daya tarik tersendiri, bahasa juga punya kelemahan nan berkaitan dengan fungsi dan peran nan luas dan kompleks, sebagaimana bahasa tak dapat memahami dirinya sendiri secara tuntas dan sempurna, sehingga filsafat nan membuka pengetahuan tersebut.
Pada Abad Pertengahan dan Abad Modern, bahasa monoton mengalami perkembangan dan pematangan, baik dalam hal konsep maupun penggunaan. Bahasa menjadi alat budaya dan alat komunikasi. Tanpa bahasa, baik verbal maupun nonverbal, tak akan terjadi penciptaan atau pewarisan kebudayaan. Dan tanpa bahasa, tentu saja tak akan ada proses komunikasi.
Representasi Filsafat Kehidupan dalam Drama "Gerbong" Karya Agam Wispi
Filsafat bahasa, tak melulu berkutat pada bahasan bahasa secara harfiah. Tapi, dapat juga membahas berbagai filosofi kehidupan melalui cara lain, seperti halnya karya sastra.
karya sastra juga merupakan bagian dari bahasa. Sebaliknya, bahasa juga merupakan bagian dari karya sastra. Oleh karena itu, pembahasan kali ini, kita akan melibatkan salah satu karya sastra nan menunjang representasi filosofi kehidupan sang pengarangnya.
Gerbong merupakan judul sekaligus latar loka dari drama satu babak karya Agam Wispi. Namun, di balik cerita nan banyak menyimpan filosofi kehidupan ini, bisa dilihat adanya peran lain dari kata gerbong nan semata-mata bukan tanpa arti dijadikan sebagai judul drama ini.
Saya melihat adanya representasi kehidupan konkret nan mungkin dialami sendiri oleh Agam Wispi sehingga tertuang dalam karya 'Gerbong'. Kata wafat nan menurut aku merupakan inti dari filsafat kehidupan nan hendak disampaikan pengarang hanya dilontarkan oleh tiga tokoh dalam drama ini, nan lagi-lagi menurut aku ialah refleksi dari pemikiran pribadi si pengarang. Ketiga tokoh itu ialah Amir, Kasim, dan Miah.
Keputusasaan nan mungkin pernah dialami pengarang tertuang dalam tabiat Amir, seorang lelaki berusia 43 tahun nan hanya dapat mabuk tiap malam buat melupakan kedukaannya, seperti nan terdapat dalam obrolan " Aku ingin melupakan dukaku, Miah ."(Baca: Naskah Gerbong hal.328)
Sementara itu, keapatisan pengarang muncul pada tabiat Kasim nan selalu acuh takacuh dalam menghadapi keadaan sekelilingnya sehingga nan bisa dilakukannya hanya mengocok kartu-kartu nan biasa digunakannya buat berjudi, sedangkan kegigihan pengarang dalam berjuang menjalani hayati terefleksikan pada tokoh Miah nan selalu mencari cara agar bisa bertahan hidup, bahkan dengan jalan menjadi pelacur.
Hal tersebut bisa dikatakan sebagai konflik berpikir pengarang, karena dari ketiga tokoh tersebut filosofi kehidupan pengarang bisa terlihat : keputusasaan-keapatisan-kegigihan. Ketiga hal tersebut merupakan tonggak primer seseorang dalam mewujudkan kemerdekaan nan dirasakan tiap orang sebagai kebahagiaan, dan sebelum mencapai kebahagiaan, manusia tentu saja diberi rintangan.
Dalam drama ini, gerbong-lah nan disebut sebagai rintangan atau perbatasan antara baik dan buruk, sahih dan salah, serta hayati dan wafat sehingga manusia dapat menentukan jalan mana nan mereka pilih.
Pada obrolan Kasim nan berbunyi, " Heran juga saya mengapa Pak Amir tidak mati, padahal itu nan dicarinya ."(hal.315), keapatisan pengarang muncul dengan paradigma bahwa hayati ialah sebuah pilihan nan tak sulit, tapi tak juga mudah, dan pada obrolan berikutnya :" Dia(Amir) sudah bosan dengan gerbong ini ."(Kasim,hal.315), terlihat bahwa pengarang memasukkan filsafat hidupnya nan akan dengan mudah menyatakan kebosanannya pada hayati (gerbong : hidup).
Kasim hanya melihat sebuah kesempatan buat hayati dan wafat tanpa memikirkan apa nan sebenarnya diharapkan orang lain dari kehidupan ini. Dengan ringannya, kata wafat seolah-olah menjadi bagian dari apa nan harus diutarakannya dalam kehidupan sehari-hari. Kata wafat baginya merupakan sesuatu nan mau takmau akan menimpa setiap umat manusia, serta sebuah keadaan nan sama sekali tak perlu ditakuti sehingga tak ada salahnya jika kata itu muncul dalam pembicaraan sehari-hari.
Lain halnya dengan Kasim, tokoh Amir selalu berputus harapan dalam pembicaraannya. Kita lihat dari dialog-dialognya, " Jalan nan terang menuju daerah gelap, menuju mati ."(hal.327) dan " Tempat itu adalah mati ."(hal.329), kata wafat diucapkan dalam nada nan miris dan putus harapan seolah-olah mati-lah tujuan dari segalanya, mati-lah jalan satu-satunya nan dapat membebaskan manusia dari segala penderitaan hidup, dan mati-lah loka teraman bagi manusia.
Kegigihan nan terdapat pada tabiat Miah pun dapat kita lihat dari dialognya pada halaman 314 nan mengulang kalimat " Aku sudah melampaui mati ." Hal tersebut merupakan tanda bahwa pengarang dalam tokoh Miah telah mengerti kalau manusia tidaklah pantas mengharapkan atau menakuti mati, karena pada akhirnya wafat itu akan datang dengan sendirinya.
Apalagi, pada obrolan berikutnya terdapat kalimat nan berbunyi " Aku merasa diriku sudah mati ."(hal.321) nan berarti bahwa sekalipun tokoh Miah telah merasa mati, dia tetap berjuang agar bisa bertahan hayati karena wafat nan sebenarnya belumlah datang.
Tiga filosofi tersebut bisa diinterpretasikan sebagai representasi kerangka berpikir Agam Wispi pada saat itu (mengarang drama), karena ketiga tokoh itulah nan mengusung hayati dan wafat nan menjadi inti dari gerbong nan aku tafsirkan sebagai kehidupan.
Kita lihat dari kalimat-kalimat di bawah ini, gerbong bukan semata-mata loka singgah nan dijadikan loka tinggal bagi para tokoh dalam drama Gerbong .
"Dia sudah bosan dengan gerbong ini."(Kasim,hal.315)
"Aku bukan gerbong nan singgah di stasiun kecil,…"(Amir,hal.327)
"Dan kita jadi semacam gerbong."(Kasim,hal.339)
"Aku cuma ingin jika kita meninggalkan gerbong nanti, kita sudah memasuki hayati baru."(Ida,hal.342)
Pada kalimat pertama, gerbong aku tafsirkan sebagai kehidupan karena tak mungkin seseorang memutuskan wafat hanya sebab bosan dengan gerbong kereta barah loka dia tinggal.
Lalu pada kalimat kedua dan ketiga, aku menafsirkan gerbong sebagai rintangan, baik suka maupun duka, nan datang kepada masyarakat kecil (stasiun kecil) nan tentu saja akan mengubah keadaan mereka menjadi lebih baik, atau sebaliknya, bergantung cara mereka menyikapi hal tersebut.
Pada kalimat terakhir, gerbong bisa ditafsirkan sebagai sebuah perbatasan loka manusia menuju global lain, baik itu dari hayati menjadi mati, dari salah menjadi benar, atau dari sulit menjadi senang. Yang pasti, ada sebuah pemikiran dan asa tentang kehidupan nan aku lihat dari pengarang sehingga aku sebut karya ini sebagai representasi pemikiran pengarang tentang kehidupan.