Musibah Memicu Persatuan
Pentingnya sabar menghadapi cobaan hayati seringkali bergema di telinga kita kala mendengar ceramah keagamaan. Manusia diciptakan di dunia, niscaya akan mengalami keadaan nan sulit. Mungkin dalam pekerjaan, dia mendapatkan kesulitan di PHK atau mengalami inflasi pada roda perekonomian. Bagi seorang siswa, keadaan tersebut bisa berupa kegagalan dalam ujian nasional atau mungkin juga gagal dalam memasuki jenjang perguruan tinggi.
Bagi beberapa orang, cobaan tersebut dapat pula berbentuk musibah , kelaparan, kehilangan harta, hingga kematian. Semua ialah seperti sebuah roda, adakalanya ia berada pada titik puncak, adakalanya pula ia pada titik nadir.
Keadaan nan mengimpit mengharuskan seseorang buat bersabar menghadapi cobaan hidup. Pada sifat sabar tersebut, terdapat kandungan agar manusia bisa berpikir jernih bahwa apa nan selama ini direncanakan dan diusahakan bukanlah suatu hal absolut sebab nan memegang segala keputusan ialah tangan Yang Kuasa. Tidak selamanya apa nan dicita–citakan berbuah sesuatu nan manis.
Sebenarnya, ketika dalam masa cobaan tersebut, manusia diminta buat merenung. Renungan tersebut bisa saja bermakna bahwa apa nan selama ini diinginkan belum tentu hal tersebut baik bagi dirinya di masa nan akan datang. Akan tetapi, apa nan diterimanya pada masa tersebut – yakni cobaan nan datang – itulah keadaan nan terbaik.
Misalkan saja, ketika seorang laki-laki berniat buat melamar gadis pujaan hatinya nan selama ini ia taksir. Ia mempersiapkan segala sesuatu dengan paripurna menurut pandangannya. Mulai dari sikapnya, pekerjaan, dan penghidupannya, dan lain sebagainya. Namun tidak disangka, ternyata sang gadis menolak pinangan laki–laki tersebut.
Pada peristiwa tersebut, pastilah si laki–laki merasa kecewa dengan apa nan ia terima sebab ia telah mempersiapkan segalanya, tetapi fenomena lain dari nan diharapkannya. Maka pada keadaan itu, laki–laki tersebut diminta buat bersabar menghadapi cobaan hayati berupa penolakan pinangannya. Boleh jadi, apa nan ia terima ialah lebih baik baginya buat masa depannya dan ia akan mendapatkan pengganti nan lebih baik dibanding gadis nan ia taksir. Boleh jadi juga, ketika pinangannya diterima oleh sang gadis, rumah tangga nan ia cita–citakan senang akan terjadi sebaliknya, kedukaan nan sering melanda.
Contoh lain ketika seorang mahasiswa gagal dalam ujian semester dan mendapat nilai E. Jika mahasiswa itu menganggapnya sebagai sebuah kesyukuran, maka tentu dia tak akan terlalu dirundung duka. Dapat saja, ia akan lebih dekat dengan dosennya. Dengan pikirannya nan tenang, ia menganggap bahwa ia belum matang dalam mata kuliah tersebut. Sehingga, ketika ia mengulang kembali, ia akan lebih unggul dibanding teman-temannya. Mungkin juga ia akan mendapat ilmu baru jika mengulang atau lebih hebat lagi menjadi asisten dosen sebab dosennya mempercayakan pelajaran itu kepadanya.
Jika seseorang memiliki pemikiran tersebut, bisa dipastikan dia tak pernah menyesal dalam hidup. Dia tak pula berburuk sangka kepada Allah, Dzat nan memberikan keputusan. Andaikata kita berpikir lebih jauh lagi, sebenarnya cobaan hayati itu hanyalah intermezo. Tentu dalam hayati tak dapat mendapatkan segala sesuatunya baik terus, adakalanya tak baik sesekali.
Tentu pula tak mungkin seseorang mengalami musibah terus-menerus, niscaya kebaikan juga pernah menyapanya. Dengan demikian, cobaan pun akan terasa lebih mudah jika dihadapi dengan sifat tersebut. Layaknya seseorang nan berjalan, dia akan menemui jalan nan datar. Kadang berbelok, naik, bahkan turun. Seperti itulah kehidupan.
Pada tataran nan lain, cobaan hayati itu ialah analogi dari sebuah seleksi. Layaknya seorang siswa, ia harus diuji apakah layak buat lulus ataukah harus memperdalam kembali ilmunya. Seperti calon karyawan, apakah dia pantas masuk dan bergabung dengan sebuah perusahaan atau dia harus mencoba pada loka lain.
Cobaan hayati seperti halnya ujian pada kasus–kasus di atas. Seseorang harus diuji, apakah ia sahih menjadi orang nan andal ataukah kalah sebab suatu cobaan. Apakah ia menjadi seseorang nan bisa bangkit dan kembali menyusun apa nan telah ia capai ataukah mengumpat dan berputus harapan terhadap musibah nan melanda.
Dalam Sabar Ada Rasa Syukur
Kesabaran seseorang benar–benar teruji apabila ia telah bisa mendapatkan cobaan hidup. Jika ia memaknainya dengan baik, akan timbul rasa nan lain berupa rasa syukur. Rasa ini juga akan berdampak pada orang nan menyaksikan tentang cobaan tersebut. Hal tersebut berkaitan sangat erat. Misalkan saja, suatu daerah mengalami kebanjiran. Para warga nan mengalami musibah bisa bersabar, sehingga tak mengeluh. Mereka tetap berjuang buat hidupnya.
Ketika hal itu dilakukan, mereka tentu akan mengubah pola hayati mereka dengan baik. Mereka juga akan sangat menghargai tentang arti kebersihan. Di lain pihak, seseorang nan mengetahui hal tersebut akan terketuk hatinya. Berduyun-duyun orang membantu menyalurkan donasi kepada para korban banjir tanpa ada komando. Secara tidak langsung, orang nan menyaksikan bersyukur sebab tak terkena banjir dan mereka bersyukur bisa membantu saudara mereka sesama manusia dengan menyalurkan donasi semampunya.
Contoh lain nan benar–benar mudah dipahami ialah sebagai berikut. Misalkan saja, Anda mengalami sakit. Keadaan tersebut memaksa Anda buat pergi ke dokter. Karena saking lemahnya, Anda tak bisa pergi ke dokter dengan berjalan kaki dan harus memanggil tukang becak. Tukang becak mengantarkan Anda ke rumah sakit. Ternyata, di sana Anda harus mengantri dan lewatlah loper koran menawarkan koran kepada Anda. Agar tidak jenuh, maka Anda membeli koran tersebut.
Kemudian, tiba giliran Anda buat diperiksa dan diberikan resep buat ditebus di apotek. Anda memilih apotek langganan Anda buat membeli obat dari resep nan diberikan hingga Anda kembali ke rumah. Bayangkan, ketika Anda sakit, berapa manusia nan secara tak langsung diberikan rezeki oleh Allah melalui tangan Anda?
Tukang becak mendapatkan rezeki, loper koran, dokter, hingga apoteker nan bekerja di apotek langganan Anda, semua terbagi rata rezekinya. Jika Anda tak sakit, mereka tentu tak mendapatkan rezeki. Maka dari itu, bersyukur dan bersabarlah ketika Anda diberikan cobaan dalam hidup.
Musibah Memicu Persatuan
Saat Gunung Merapi meletus, debu beterbangan hingga radius lebih dari 20 km. Keadaan tersebut benar–benar genting. Tanpa disadari, orang–orang nan tak saling kenal, manunggal padu dan bekerja sama membantu menghadapi musibah tersebut. Mulai dari wartawan media massa, hingga penyiar radio komunitas, semua bergotong royong menyampaikan kabar dari sang gunung. Mulai dari pihak pemerintah hingga lingkungan kampus menyediakan loka peristirahatan, loka pengungsian, dan dapur umum.
Pejabat, orang sederhana, hingga militer bekerja sama membantu menyalurkan donasi dan mengevakuasi korban. Bahkan, tidak sedikit siswa sekolah menegah dan mahasiswa nan datang langsung kepada para korban buat memberikan donasi dan memberikan dorongan jiwa. Tanpa disadari, persatuan bisa mudah sekali terbentuk ketika musibah melanda.
Sesuatu nan sangat berbeda ketika kita melihat tawuran antardesa, demonstrasi nan ricuh, hingga perseteruan di pemerintahan. Inilah nan harusnya kita renungkan. Pada suatu musibah, persatuan dan solidaritas mudah sekali terpupuk. Namun pada keadaan nan stabil, malah sebaliknya. Mungkin akan menjadi sebuah pertanyaan besar, apakah buat menumbuhkan persatuan dan solidaritas harus terlebih dahulu diberikan suatu musibah?