Cara Penerapan Norma

Cara Penerapan Norma

kebiasaan perhitungan pajak ialah sebuah panduan penentuan penghasilan higienis wajib pajak golongan eksklusif nan sebab hal-hal nan sudah disepakati, tak dapat menyelenggarakan pembukuan secara normal.

Pembukuan usaha ialah masalah nan sering terjadi pada sebagian wajib pajak orang pribadi nan memiliki satu atau lebih usaha. Pembukuan akuntansi pun bagi sekalangan orang masih sangat asing.

Dan, buat mempekerjakan orang spesifik menangani administrasi tersebut membutuhkan pertimbangan-pertimbangan eksklusif mencakup efektivitas dan efisiensi.

Dengan adanya kasus-kasus serupa berupa tak terselenggaranya pembukuan sebagaimana mestinya, Dirjen Pajak telah membuat jembatan kemudahan berupa penggunaan norma perhitungan pajak nan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, pasal 14 ayat (2).

Undang-Undang ini telah mengalami beberapa kali perubahan buat menyesuaikan dengan perkembangan global usaha dan perubahan nilai tukar uang. Salah satunya perubahan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan pembaruan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 01/PMK.03/2007.



Penerapan Pajak

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang, nan bisa dipaksakan, dengan tiada mendapat jasa timbal balik nan langsung bisa ditunjukkan dan digunakan buat membayar pengeluaran umum.

Penggolongan pajak diatur menurut sifat dan sistem pemungutannya, dan penggolongan-penggolongan tersebut semuanya dilakukan berdasarkan wajib pajak. Anggaran mengenai perpajakan di Indonesia tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.

Pengertian pajak sendiri ialah sistem iuran nan diwajibkan kepada masyarakat suatu negara dan sudah diatur dalam undang-undang. Pemungutan pajak nan dilakukan oleh pihak pemerintah terkait bertujuan buat membangun infrastruktur sebuah negara, seperti Rumah Sakit Generik Daerah, Jalan Raya, dan fasilitas generik lainnya nan berguna buat masyarakat.

Lembaga pemerintahan di Indonesia nan mengurusi segala hal mengenai perpajakan ialah Dirjen Pajak. Pajak-pajak nan dibayarkan oleh masyarakat selain digunakan buat membangun infrastruktur sebuah negara juga digunakan buat biaya operasional suatu departemen nan bersangkutan dengan pajak.

Semisal saja Departemen Keuangan dan Perpajakan. Pemungutan Pajak bersifat memaksa, maksudnya ialah bila seorang wajib pajak tak juga membayarkan kewajibannya, maka wajib pajak tersebut akan dikenai hukuman sinkron peraturan nan berlaku.

Menurut sejarah, pajak penghasilan ini sudah ada sejak zaman Romawi kuno. Pada masa itu, pungutan wajib tersebut bernama tributum dan kegiatan ‘pungut-memungut’ itu berlangsung hingga 167 tahun sebelum masehi. Saat itu, belum ada peraturan tertulis mengenai pungutan tributum.

Pada 1643, bangsa Amerika juga sudah mengenal sistem pungutan nan satu ini. Mereka kemudian mengenal dasar pengenaan pajak dengan sebutan a person’s faculty, personal faculties and abilitities. Beberapa tahun setelahnya, negara Inggris, tepatnya pada 1799, menciptakan sebuah undang-undang nan mengatur pajak penghasilan dan hal-hal nan bersangkutan dengannya.

Amerika Perkumpulan kemudian menciptakan sejarah dengan membuat Undang-Undang Pajak Federal pada 1861. Sebelumnya, undang-undang tersebut mengalami beberapa kali tax reform atau reformasi anggaran perpajakan. Hingga akhirnya, pada 1986 perombakan terhadap berbagai peraturan perpajakan di Amerika selesai dikerjakan.

Pajak PPh mulai eksis di Indonesia pada 1816. Saat itu, bentuknya bukan iuran, tetapi uang sewa terhadap suatu bangunan atau tanah. Pada 1908, pungutan uang sewa terhadap bangunan dan tanah dibedakan antara penduduk pribumi dengan penduduk Asia dan Eropa nan tinggal di Indonesia saat itu.

Objek pajak penghasilan ialah setiap tambahan kemampuan hemat nan diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak nan bisa dipakai buat menambah konsumsi dan buat menambah kekayaan.

Bagi wajib pajak dalam negeri, nan menjadi objek pajak ialah penghasilan, baik nan berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Sementara bagi wajib pajak luar negeri, nan menjadi objek pajak hanya penghasilan nan berasal dari Indonesia.



1. Definisi penghasilan
  1. Penggantian atau imbalan bekernaan dengan pekerjaan atau jasa.
  1. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan.
  1. Laba usaha
  1. Keuntungan sebab penjualan atau sebab pengalihan harta.
  1. Penerimaan kembali pembayaran pajak.
  1. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan lain sebab agunan pengembalian hutang.
  1. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun.
  1. Royalti
  1. Sewa dan penghasilan lain.
  1. Peneriman atau perolehan pembayaran berkala.
  1. Keuntungan sebab pembebasan utang.
  1. Keuntungan sebab selisih kurs mata uang asing.
  1. Selisih lebih sebab evaluasi kembali aktiva.
  1. Premi asuransi
  1. Iuran nan diterima atau diperoleh serikat sepanjang iuran tersebut ditentukan berdasarkan volume usaha.
  1. Tambahan kekayaan netto nan berasal dari penghasilan nan belum dikenakan pajak.


2. Jenis Penghasilan
  1. Penghasilan dari pekerjaan (hubungan kerja).
  1. Penghasilan dari kegiatan usaha.
  1. Penghasilan dari kapital atau penggunaan harta.
  1. Penghasilan dari pekerjaan bebas.
  1. Penghasilan lain-lain, yaitu penghasilan nan tak bisa diklasifikasikan ke dalam salah satu dari keempat kelompok penghasilan tersebut, seperti laba sebab pembebasan utang, laba sebab selisih kurs mata uang asing, selisih lebih sebab evaluasi kembali aktiva, iuran pertanggungan asuransi asuransi, dan hadiah undian.

Ada beberapa penghasilan nan tak kena pajak atau tak termasuk pajak penghasilan. Berikut ini ialah beberapa objek nan tak termasuk dalam objek pajak penghasilan.

  1. Bantuan atau sumbangan.
  1. Harta hibahan nan diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan sosial, pengusaha kecil, termasuk koperasi nan ditetapkan oleh menteri keuangan.
  1. Warisan
  1. Harta termasuk setoran tunai oleh badan sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
  1. Imbalan dalam bentuk natura dan atau kenikmatan.
  1. Pembayaran klaim dari perusahaan asuransi.
  1. Deviden atau bagian keuntungan nan diterima.
  1. Bunga obligasi atau dana nan diperoleh oleh perusahaan reksadana.
  1. Penghasilan nan berupa honorarium dan imbalan lain nan dibebankan pada keuangan negara atau keuangan daerah nan bersifat tak tetap.

Besarnya pungutan nan terjadi pada pajak penghasilan dapat bersifat progresif, proporsional atau regresif. Secara sederhana, pengertian sistem pungutan pajak penghasilan nan bersifat progresif ialah pungutan pajak penghasilan (PPh) akan ikut naik bila penghasilan masyarakatnya juga naik.

Bila sistem pungutan pajak penghasilan bersifat regresif, maka nan terjadi ialah sebaliknya. Beda halnya dengan sistem pungutan nan sifatnya proporsional. Pada sistem ini, tarif nan dikenakan jumlahnya tetap, meskipun penghasilan meningkat.

Bagi masyarakat nan sudah memiliki NPWP atau Nomor Pokok Wajib pajak, sepertinya tak asing dengan istilah pajak penghasilan pasal 21. Pasal tersebut memang mengatur ketentuan-ketentuan dalam pajak penghasilan. Dalam pasal tersebut kurang lebih disebutkan bahwa PPh ialah iuran nan dibebankan pada penghasilan seseorang.

Dalam pasal tersebut juga dijelaskan mengenai pemotongan-pemotongan pajak, penerima penghasilan dipotong pajak, penerima penghasilan tak dipotong pajak, jenis penghasilan nan tak kena pajak, dan ketentuan-ketentuan lain seputar pajak penghasilan.



Penerapan kebiasaan Perhitungan Pajak

Wajib pajak orang pribadi boleh menggunakan kebiasaan Penghitungan Penghasilan Netto dengan beberapa ketentuan sebagai berikut.

  1. Menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto Rp1.800.000.000,00 per satu tahun pajak, tetapi tak menyelenggarakan pembukuan. Jumlah tersebut telah direvisi dengan UU Nomor 36 tahun 2008, menjadi Rp4.800.000.000,00.
  1. Wajib Pajak nan menggunakan kebiasaan Penghitungan Penghasilan Netto wajib memberitahukan hal tersebut kepada Dirjen Pajak paling lambat tiga bulan sejak awal tahun pajak nan bersangkutan.
  1. Wajib Pajak nan tak memberitahukan kepada Dirjen Pajak sinkron ketentuan tersebut dianggap menyelenggarakan pembukuan.

Besarnya kebiasaan penghitungan penghasilan netto bhineka tergantung daerah. Masing-masing memiliki besaran nan berbeda. Secara umum, dikelompokkan menjadi beberapa wilayah, sebagai berikut:

  1. Sepuluh kota besar, yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak.
  1. Ibu Kota Provinsi.
  1. Daerah lainnya.

Ada beberapa laba bagi orang pribadi nan memilih menggunakan kebiasaan penghitungan pajak, yaitu tak perlu mengeluarkan biaya tambahan buat penyelenggaraan pembukuan. Selain itu, penghitungan pajaknya pun menjadi lebih mudah dan terprediksi.

Namun, ada juga kerugian nan harus dicermati. Di antaranya ialah kebiasaan penghitungan pajak tak mengenal istilah rugi. Walaupun pada kenyataannya sebuah usaha mengalami kerugian, pajak tetap dibebankan berdasarkan omzet dan peredaran bruto.



Cara Penerapan Norma

Berikut ini ialah contoh penerapan kebiasaan penghitungan pajak dalam menghitung pajak tahun bersangkutan pada wajib pajak dengan penghasilan dan usaha beda jenis.

Tuan A seorang dokter tinggal di Jakarta dan memiliki usaha sampingan industri baju nan berlokasi di Tasikmalaya. Tuan A menikah dan memiliki 3 anak. Data penghasilan Tuan A sebagai berikut.

Omzet industri baju Rp.120.000.000,00.

Penerimaan sebagai dokter di Jakarta Rp150.000.000.

Maka, penghasilan netto-nya akan dihitung sebagai berikut:

Norma penghitungan netto daerah buat industri baju sebesar 12,5% X Rp120.000.000,00 = Rp15.000.000,00

Norma penghitungan netto Jakarta buat dokter sebesar 45% X Rp150.000.000,00 = Rp67.500.000 ,00

Jadi, jumlah penghasilan netto tahun tersebut sebesar Rp82.500.000,00

Jumlah inilah nan menjadi dasar pengenaan tarif pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang dengan memperhitungkan terlebih dahulu pendapatan tak kena pajak dan pendapatan kena pajaknya. Semoga uraian mengenai norma perhitungan pajak tersebut bermanfaat.