Perang Bubat dan Dampaknya Kini
Pernah mendengar nama Perang Bubat ? Tidak? Tidak banyak kisah kolosal tragedi Negara Indonesia dari masa lalu nan melibatkan tema percintaan nan cukup pilu. Perang Bubat ialah satu di antara sedikitnya kisah kolosal tersebut.
Apabila di Barat kita mengenal kisah tentang Helen dari Troya, atau Anda pun pernah mendengar mitos Tristan dan Isolde, Nibelunglied, Samson dan Delillah, Eleanor dari Aquitaine, atau bahkan di Timur Anda menemukan kisah mengenai Rama dan Sinta, hingga Jengis Khan sendiri nan syahdan mendasarkan kisahnya tentang penculikan pengantin. Maka di Indonesia , Perang Bubat dapat diandalkan.
Di Indonesia terdapat romansa nan pilu, tapi tak ada nan stragis kisah Perang Bubat. Kisah sejarah Perang Bubat disebutkan dalam Carita Parahyangan dan Pararaton, tetapi tak ditemukan dalam Nagarakretagama versi Majapahit, uniknya kisah Perang Bubat merupakan tema primer dari naskah Bali Kidung Sunda.
Sejarah Perang Bubat
Perang Bubat awalnya bermula pada masa medieval nusantara. Pada 1357, negara-satunya nan tersisa menolak mengakui intervensi Majapahit ialah Sunda, di Jawa Barat. Namun tidak dinyana pula Raja Hayam Wuruk justru kesengsem dengan Dyah Pitaloka Citraresmi, putri Sunda dan putri Raja Sunda nan tak pernah mereka taklukan.
Demi perdamaian, Raja Sunda merasa bahwa ini merupakan pertanda baik, menikahkan putrinya dengan seorang raja berkekuasaan besar akan menjaga negara dari kemungkinan konflik. Oleh sebab itulah, maka rombongan pengantin Sunda bersedia pergi ke Majapahit. Kepergian Kerajaan Sunda menuju Majapahit inilah nan memicu terjadinya Perang Bubat.
Pada saat nan sama Gajah Mada sang patih diberi tugas buat pergi ke alun alun Bubat di bagian utara Trowulan buat menyambut kedatangan sang putri saat ia tiba dengan ayahnya dengan pengawalan ke istana Majapahit. Di alun-alun Bubat itulah, konflik Perang Bubat terjadi.
Namun, Gajah Mada mengambil kesempatan ini buat menuntut penyerahan Sunda di bawah kekuasaan Majapahit, tanpa dia ketahui terlebih dahulu maksud tujuannya apa. Sementara Raja Sunda berpikir bahwa pernikahan kerajaan ialah tanda dari aliansi baru antara Sunda dan Majapahit, Gajah Mada berpikir sebaliknya. Gajah Mada ialah tokoh di balik terjadinya Perang Bubat ini.
Dia menyatakan bahwa Putri Sunda tak boleh dipuji sebagai permaisuri ratu nan baru Majapahit, tetapi hanya sebagai selir, sebagai tanda penyerahan Sunda ke Majapahit. Pernyataan Gajah Mada tersebut menyulut kebencian hingga terjadilah Perang Bubat ini.
Kesalahpahaman ini menyebabkan kemarahan dan penghinaan nan menimbulkan aib juga rasa malu dari kerajaan nan lebih dahulu eksis sebelum Majapahit ada. Maka negosiasi panas itu dengan cepat meningkat menjadi pertempuran skala penuh. Perang Bubat pun tak bisa dielakkan.
Pertumpahan darah nan tak seimbang, sebab Raja Sunda hanya ditemani beberapa gelintir penjaga dan pihak kerajaan kewalahan oleh pasukan Majapahit nan dapat memanggil backup kapan saja dari tanah mereka, dihabisilah lantas rombongan pengantin Sunda di lapangan Bubat. Pada Perang Bubat tersebut, Kerajaan Sunda kalah telak.
Jumlah pengawal Kerajaan Sunda nan diperkirakan berjumlah kurang dari seratus, beberapa sumber menyebutkan 97 orang. Di sisi lain, garda tentara di pihak Majapahit di bawah perintah Gajah Mada diperkirakan berjumlah beberapa ribu personil pasukan bersenjata lengkap dan terlatih. Jelas bahwa Perang Bubat ini memang dimenangkan oleh Majapahit.
Pengawal kerajaan Sunda dikepung di tengah alun-alun Bubat (tempat terjadinya Perang Bubat). Beberapa sumber menyebutkan bahwa pengawal Sunda telah sukses mempertahankan lapangan itu dan mampu menyerang balik sang pengepung Majapahit beberapa kali. Namun dihari-hari berikutnya perlawanan Sunda kewalahan kalah jumlah.
Meskipun menghadapi kematian nan sudah terlihat di depan mata, orang Sunda menunjukkan keberanian luar biasa dan sikap ksatria hingga satu per satu dari mereka jatuh. Meskipun resistensi berani, keluarga kerajaan kewalahan dan dihancurkan oleh tentara Majapahit. Raja Sunda di Perang Bubat itu tewas dalam duel dengan seorang Jenderal Majapahit.
Berasama bangsawan Sunda lain hampir semua pihak Kerajaan Sunda dibantai dalam tragedi Perang Bubat itu. Hikayat menyebutkan bahwa Putri patah hati dengan kejadian itu -dan kemungkinan semua perempuan Sunda nan tersisa dari rombongan- melakukan ritual bunuh diri buat membela kehormatan dan kebanggaan negara mereka.
Bunuh diri ritual oleh para rombongan wanita Sunda, setelah dikalahkan di medan Perang Bubat sebagai bagian bakti kepada negara dan mempertahankan kebanggaan dan kehormatan serta buat melindungi kesucian mereka, daripada menghadapi kemungkinan penghinaan melalui pemerkosaan, penaklukan atau perbudakan.
Hayam Wuruk sangat terkejut mendengar tragedi Perang Bubat itu. Di Istana Majapahit, menteri dan bangsawan menyalahkan Gajah Mada buat tindakan biadabnya dan semua kebrutalan nan tak sinkron dengan kebesaran Kerajaan Majapahit sendiri. Sebagai hukumannya Patih Gajah Mada segera diturunkan dari posisinya dan menghabiskan residu hari-harinya di komplek rumah pensiun Kerajaan Madakaripura di Probolinggo Jawa Timur.
Gajah Mada meninggal dalam ketidakjelasan kisah pada tahun 1364. Raja Hayam Wuruk syahdan berasalan pemecatan Gajah Mada dikarenakan kekuatan besar tak harus ditangani oleh mahapatih. Oleh sebab itu raja membagi tanggung jawab nan telah Gajah Mada pikul, dengan mengangkat empat baru mahamantri terpisah (sama dengan kementerian), tapi semua orang akan selalu mengaitkannya dengan peristiwa Perang Bubat, Majapahit telah tercoreng.
Alasan politik dan cinta Hayam Wuruk, Raja Majapahit memutuskan (mungkin sebab alasan politik tepi lebih banyak sejarawan nan menunjukkan sebagai alasan cinta personal) buat mengambil putri Gambaran Rashmi (juga dikenal sebagai Pitaloka) sebagai istrinya. Dia ialah putri dari Prabu Maharaja Lingga Buana dari Kerajaan Sunda.
Menurut hikayat, kematian Dyah Pitaloka pada Perang Bubat begitu ditangisi dan disesalkan oleh Hayam Wuruk pula oleh seluruh penduduk Kerajaan Sunda nan telah kehilangan sebagian besar anggota keluarga kerajaan mereka. Kemudian Raja Hayam Wuruk menikah dengan Paduka Sori, sepupu sendiri sebagai gantinya.
Perbuatan Pitaloka dan keberanian ayahnya dihormati sebagai tindakan mulia demi kehormatan, keberanian dan prestise dalam tradisi Sunda. Ayahnya, Prabu Maharaja Lingga Buana dihormati oleh orang Sunda sebagai Prabu Wangi (maknanya: raja dengan keharuman nama) sebab tindakan heroik buat membela kehormatan melawan kelicikan Majapahit dalam Perang Bubat. Oleh sebab itulah keturunan raja-raja Sunda, buat kemudian disebut Siliwangi (Sunda: penerus Wangi).
Di sisi lain, Gajah Mada menghadapi oposisi dampak Perang Bubat, ketidakpercayaan dan dicemooh dihinakan pengadilan Majapahit sebab tindakan ceroboh nan tak sinkron dengan tradisi ksatria para bangsawan Majapahit.
Kisah itu merusak pengaruh raja Hayam Wuruk di mata raja vassal lainnya. Acara juga menandai akhir karier Gajah Mada, sebab tak lama setelah peristiwa Perang Bubat ini raja memaksa Gajah Mada buat pensiun dini dan diasingkan dari global politik nan merupakan favoritnya.
Perang Bubat dan Dampaknya Kini
Tragedi Perang Bubat ini sangat merugikan interaksi antara dua kerajaan dan mengakibatkan permusuhan pada tahun-tahun berikutnya, situasi tak pernah lagi kembali ke normalitas termasuk pada kekusaan Majapahit sendiri.
Tragedi perang Bubat ini juga menimbulkan hukum adat hukum Embargo Estri ti Luaran, nan melarang orang Sunda Jawa menikah. Ini reaksi mencerminkan kekecewaan orang Sunda juga kemarahan terhadap Majapahit, dan kemudian berkontribusi pada permusuhan Sunda-Jawa selama ini.
Sentimenyang bahkan mungkin masih berjalan buat saat ini. Dari peristiwa itu sendiri, ada impact sosialnya dalam kehidupan negara bangsa NKRI. Perang Bubat merupakan luka sejarah dan tragedi nan berimplikasi turun temurun.
Kisah Perang Bubat, ini hendak di filmkan dengan tokoh dua Wakil Gubernur Jawa Barat dan Jawa Timur. Dede Yusuf Wakil Gubernur Jawa Barat memerankan Raja Lingga Buana. Sementara Saifullah Yusuf Wakil Gubernur Jawa Timur memerankan Hayam Wuruk. Film ini di- postpone karena protes masyarakat. Luka lama tak usah dibuka kembali, apalagi oleh para politisi. Begitu lebih baik.