Pizza lawan Makanan Tradisional
Pizza
Pizza memang makanan Barat. Beberapa orang Indonesia tak begitu suka dengan Pizza, mereka lebih menyukai martabak sebagai makanan dan budaya lokal bangsa kita. Apalagi bagi mereka nan menentang global kapitalis, memakan pizza seolah sudah berkomplot dengan global hedonis. Padahal, jika dilihat dari rasanya, tak dapat dipungkiri kalau pizza ialah makanan nan lezat dan gurih.
Jika Pizaa dikatakan golongan makanan mahal, memang cukup mahal jika dibandingkan dengan martabak. Jika satu loyang Pizza dapat mencapai seratus ribu rupiah, martabak cukup dengan sepuluh ribu rupiah.
Harga pizza mahal sebab bahan standar nan dipakai membuatnya pun cukup beragam. Dari mulai daging, sosis, keju, dan salad semua masuk menjadi satu dalam satu loyang dan dipanggang dengan temperatur nan diatur sehingga menghasilkan makan nan berkualitas.
Beda dengan martabak. Harga nan murah dengan bahan standar nan seadanya dan dipanggang dalam loyang nan sederhana dan akan menghasilkan makanan nan sederhana pula. Oleh sebab itu, Pizza lebih unggul baik dari segi kualitas maupun kuantitas meskipun harganya sedikit lebih mahal.
Membuat Pizza
Jika Anda ingin mencoba membuat pizza sendiri di rumah, Anda dapat melakukan tips di berikut. Yang pertama harus Anda lakukan membuat adonan roti pizza.
Bahan-bahannya:
• 250 - 350 ml air hangat
• 1 sdm ragi kering
• 550 g tepung
• 1 sdt garam
• ½ sdt lada hitam halus
• 2 sdt madu nan bening
• 2 sdm minyak zaitun
Cara membuatnya:
- Masukan 150 ml air ke tepung terigu nan dicampur dengan ragi kering, garam, lada hitam, madu, dan minyak zaitunl. Lalu mixer hingga adonan menggumpal seperti bantal.
- Banting-banting adonan, putar-putar di udara, banting lagi, putar lagi sampai adonan benar-benar megar, halus dan tipis seperti kain.
- Letakkan di atas loyang. Kemudian masukan bumbu atau bahan tembahan sinkron selera. Anda dapat memasukan potongan sosis, keju, tomat, daging, atau apa saja sinkron dengan keinginan Anda.
- Panggang dengan suhu 220 derajat celcius selama tiga puluh menit. Pizza Anda pun siap disajikan.
Jika membuat pizza sendiri, Anda tak akan merasa seperti seorang kapitalis atau pun kebarat-baratan sebab pizza nan Anda untuk dapat dikolaburasikan dengan makanan tradisional.
Pizza lawan Makanan Tradisional
Seperti nan sudah disebutkan di atas, pizza memang telah lahir dan berkembang di Indonesia sebagai makanan cepat saji nan laris manis sebab rasanya nan khas dan bahan makanan nan kebanyakan datang dari luar negeri. Lantas, jika makanan cepat saji seperti itu berkembang pesat di Indonesia, bagaimana dengan nasib makanan tradisional nan sekarang ini sudah sporadis diminati oleh masyarakat?
Berkembangnya teknologi dan peradaban tak hanya membuat kebudayaan bangsa Indonesia terkikis dan sedikit demi sedikit mulai menggantikan apa nan biasanya dilakukan, dikonsumsi, dan dipergunakan dengan segala macam produk peradaban. Seperti halnya makanan tradisional nan digantikan dengan makanan cepat saji.
Makanan cepat saji, sinkron dengan namanya, memang dibuat dengan ekstra cepat dan dapat pula dipanaskan saat hendak disantap. Namun, kandungan gizinya tak lebih baik dari makanan tradisional khas Indonesia. Majemuk makanan tradisional nan sulit atau membutuhkan waktu nan cukup lama ini justru memiliki kandungan gizi nan cukup tinggi.
Makanan cepat saji seperti pizza mengandung banyak protein, karbohidrat, dan lemak sebab terbuat dari bahan-bahan berupa, telur, tepung, sosis, daging, dan makanan lain nan lebih banyak memiliki kandungan ketiga zat di atas dibandingkan dengan kandungan gizi nan lainnya.
Sementara itu, jika kita melihat makanan khas atau tradisional nan diciptakan oleh nenek moyang, makanan terasa lebih nikmat dan bergizi. Tanpa adanya bahan pengawet, makanan menjadi lebih sehat dan tubuh akan terhindar dari ancaman radikal bebas nan terkandung dalam zat penyedap rasa dan bahan pengawet.
Selain itu, kebanyakan makanan tradisional juga diolah dengan cara dikukus atau direbus sehingga kandungan nan terdapat di dalam bahan-bahan makanan tak akan cepat hilang. Berbeda dengan makanan cepat saji nan kebanyakan diolah dengan cara dogoreng atau dibakar sehingga zat karbon dioksida nan terdapat di dalam pembakaran akan masuk ke dalam makanan dan membuat konsentrasi zat arang lebih pekat.
Zat seperti itulah nan akan merusak kondisi tubuh sehingga rentan terhadap penyakit seperti kanker, TBC, kelenjar getah bening, dan penyakit lain dampak radikal bebas, bahan pengawet, dan konsentrasi minyak goreng atau mentega.
Jika dilihat secara saksama, maka tentu makanan nan lebih sehat ialah makanan tradisional nan diolah dengan menggunakan tangan manusia, bukan dengan menggunakan mesin, begitu juga dengan bahan-bahan nan didapatkannya lebih terjamin gizi dan kehalalannya.
Contoh nan bisa diambil dalam kasus ini ialah antara pizza dengan makanan berupa bolu kukus, naga sari, dan bubur kacang. Ketiga makanan terakhir nan disebutkan ialah makanan tradisional nan diolah dari bahan-bahan tepung beras alami, buah pisang, dan tentu saja kacang. Ketiganya merupakan bahan nan diambil dari tumbuh-tumbuhan dan biji-bijian.
Tumbuhan dan biji-bijian dikenal tak hanya sebab protein nabatinya, tapi juga mineral, zat besi, asam folat, dan vitamin. Majemuk vitamin nan dibutuhkan dapat didapatkan dari makanan nan berasal dari tumbuhan. Selain itu, makanan tradisional juga dibuat tanpa campur tangan mesin dan bahan pengawet sehingga rasanya akan lebih enak dibandingkan makanan cepat saji.
Harga Murah, Rasa Nikmat
Untuk memperoleh makanan nan enak, Anda tak perlu jauh-jauh datang ke loka makan nan berharga mahal. Cukup kunjungi saja warung tradisional nan menjual makanan khas tradisional Indonesia. Harganya juga lebih murah jika dibandingkan dengan Anda harus datang ke tempat-tempat seperti Pizza Hut dan loka lain sejenisnya.
Jika Anda lebih memilih makanan tradisional, Anda tak hanya mendapatkan makanan nan enak dengan harga murah. Anda juga berperan dalam menjaga kelestarian budaya Indonesia dalam bidang pangan. Dengan begitu, Anda melakukan tiga hal sekaligus saat mengonsumsi makanan tradisional, yakni memberikan nutrisi nan baik dan sinkron dengan tubuh Anda sebagai orang Indonesia, menghemat biaya dan membuat kantong Anda tak langsung menciut, serta melestarikan kebudayaan Indonesia.
Lain halnya jika Anda memilih makanan cepat saji nan sudah memiliki patokan harga nan nisbi mahal, perut dan tubuh Anda juga diisi oleh makanan nan tak baik dan tak sehat bagi tubuh Anda, serta tak ada kontribusi nan cukup meyakinkan buat membuat Anda dapat menghargai sekaligus melestarikan kebudayaan tradisional dalam hal pangan.
Setelah mendapatkan uraian di atas, berapa banyak waktu nan akan Anda gunakan buat sekadar nongkrong di restoran cepat saji dan melupakan nilai tradisional budaya Anda sendiri? Atau justru Anda akan lebih memilih membeli dan mengonsumsi makanan tradisional demi kesehatan tubuh, dompet, dan kelestarian budaya? Selamat memilih dua hidangan tersebut!