Kisah Cinta dr Soetomo Dengan Everdina
Dokter Soetomo, merupakan dokter nan mendedikasikan ilmu medisnya kepada rakyat kecil pada masa prakemerdekaan. Kala itu, keberadaan dokter pribumi begitu langka dan berobat ke dokter memerlukan biaya nan mahal sekali. Hanya orang Belanda saja nan kuat berobat pada dokter. Selain itu, dr. Soetomo juga merintis berdirinya organisasi Budi Utomo. Untuk lengkapnya berikut ini sekilas biografi dr. Soetomo . Sebuah jejak rekam seorang tokoh konvoi nan samasekali tak mengkomersialkan pengetahuannya. Dr. Soetomo ialah sosok nan sangat mencintai rakyat kecil, sehingga mobilitas langkahnya didedikasikan buat kemajuan rakyat kecil, termasuk juga nan mendorongnya buat ikut berjuang di jaman konvoi pra kemerdekaan.
Biografi dr. Soetomo sungguh akan menginspirasi pada generasi muda sekarang, di tengah-tengah kondisi dan sikap masyarakat nan semakin materialistis, termasuk juga semakin susahnya mencari seorang dokter nan mendedikasikan pengetahuannya buat rakyat jelata. Seperti kata lagu Iwan Fals, bahwa di negeri ini berobat ke dokter bagi masyarakat kecil sama dengan menggadaikan nyawanya sendiri, obat tidak terbeli dan tarif berobat ke dokter hanya dapat digapai oleh kalangan masyarakat eksklusif saja. Maka, ada pepatah nan mengatakan di negeri ini kalau miskin jangan pernah sakit, sebab kalau sakit tak akan dapat berobat. Kalau sakit dan tak berobat, penyakitnya akan terus parah dan akhirnya tubuh tak akan mampu lagi menanggungnya. Maka langkah paling kondusif bagi orang miskin di negeri ini, ya jangan sakit.
Riwayat Singkat dr. Soetomo
Soetomo lahir pada tanggal 30 Juli 1888, di Desa Loceret, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Soetomo dibesarkan di kalangan priyayi desa. Bapaknya, Raden Suwaji, merupakan pemangku Desa Ngapeh. Sedangkan kakeknya, KH Abdurakhman, merupakan tokoh agama nan dihormati di kalangan masyarakat Nganjuk.
Soetomo muda mengawali pendidikannya di Sekolah Rakyat nan terletak di Nganjuk. Setelah merampungkan sekolah rendah milik pemerintah Belanda, Soetomo berencana ingin mendalami global medis, dengan melanjutkan ke STOVIA ( school tot opleiding van Indische artsen), semacam sekolah kedokteran pribumi.
Akan tetapi, planning ini tidak direstui begitu saja oleh kakeknya. Sang kakek mendambakan cucunya sekolah pangreh praja, semacam sekolah buat pemangku negeri. Atas dukungan dari ayah kandungnya Raden Suwaji, akhir Soetomo bisa melanjutkan sekolah kedokteran di STOVIA Jakarta.
Dari latar belakang ayah dan kakeknya nan berbeda itulah melahirkan sosok Soetomo nan teguh pendirian, berorientasi kepada kepentingan rakyat nan diwariskan sang kakek sebagai seorang tokoh agama nan dihormati. Seorang tokoh agama nan dihormati masyarakat tentu saja ketika rekam jejaknya benar-benar dihabiskan buat mengabdikan diri pada kepentingan rakyat. Sementara sang ayah seorang pemangku Desa, tentu saja memiliki dedikasi nan baik di masyarakat. Seorang pemangku desa ialah juga seorang pelayan dalam arti sesungguhnya, pelayanan bagi kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
Soetomo memang sukses meraih pendidikan tinggi dan sukses meraih gelar dokter. Tapi ia kembali kepada jati dirinya, kembali kepada tujuan semula buat sekolah di kedokteran itu bukan buat mengumpul-ngumpulkan harta melainkan buat membantu meringan beban rakyat, nan secara kasat mata sering dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari waktu itu bagaimana pelayanan seorang dokter hanya mampu digapai oleh orang Belanda dan hanya sedikit dari golongan pribumi. Dokter Soetomo menjadi dokter pribumi nan mengabdikan dirinya buat kepentingan pribumi. Sungguh sebuah jalan hayati nan mengagumkan. Itulah nan dapat anda peroleh ketika membaca biografid dr. Soetomo.
Perintis Serikat Budi Utomo
Selama masa pendidikan di STOVIA, Soetomo sering mengikuti diskusi nan diselenggarakan oleh serikat pelajar. Di Jakarta, pada tanggal 20 Mei 1908 bersama Dowes Dekker dan dr. Tjipto Mangunkusumo mendirikan serikat Budi Utomo, sebuah serikat intelektual pertama nan merumuskan kemerdekaan Indonesia.
Sambil kuliah, ketiga pilar Budi Utomo terus mensosialisasikan pentingnya menggalang persatuan nan solid antar pemuda buat bersama-sama mengusir imperialisme Belanda di tanah Hindia Belanda. Sungguh sebuah pikiran nan cemerlang dan dilandasi kecintaan kepada tanah air dan kehidupan rakyat nan sangat memprihatinkan. Tanpa kedua hal tersebut sebenarnya mustahil orang seperti Soetomo memiliki pikiran seperti itu, mengingat ia lahir dan besar di keluarga berada dan sekolah pun di sekolah Belanda termasuk ketika kuliah kedokteran. Bagi jiwa-jiwa kerdil tentu kondisi tersebut akan membuatnya berjiwa materialistis dan sangat menyanjung Belanda. Tapi tak demikian dengan Soetomo dkk.
Budi Utomo mendapat dorongan dari berbagai kalangan masyarakat, seperti Raden Adipati Tirtokoesoemo mantan Bupati Karanganyar dan Pangeran Ario Noto Dirodjo kerabat Keraton Pakualaman, Surakarta. Pengurus organisasi lebih banyak dipegang dari kalangan priyayi, sebab saat itu Soetomo masih sibuk dengan kuliahnya di STOVIA.
Perlahan tapi pasti, konvoi Budi Utomo menunjukan kemajuan nan signifikan di bawah kepemimpinan Pangeran Notodirojo. Serikat Budi Utomo menjadi pemacu semangat orang pribumi buat berkumpul dan berserikat, semanjak itu berdirilah berbagai organisasi sosial dan politik lainnya seperti Indische Partij, Sarekat Islam, Taman Siswa, dan lain sebagainya.
Kecintaan Soetomo kepada rakyat kecil selalu terlihat dari sikap dan pikiran-pikirannya, termasuk nan ia curahkan kepada organisasi Budi Utomo. Sebuah langkah strategis nan pada akhirnya melahirkan sikap nan sama dari para pemuda, baik nan mendukungnya secara langsung, membuat organisasi serupa maupun nan mendukung secara materi dan pikiran-pikirannya tanpa terlibat langsung dalam sebuah organisasi. Jejak langkah Soetomo saat itu telah banyak menginspirasi para pemuda lain tak saja di tanah Jawa tapi juga di daerah lain.
Dokter Muda nan Mengabdi buat Rakyat Jelata
Setelah lulus dari STOVIA pada 1911, dokter muda ini ditugaskan di berbagai wilayah di Jawa seperti di Tuban, Semarang, dan Blora. Dokter Soetomo merupakan dokter nan memiliki dedikasi tinggi melayani masyarakat dalam bidang pengobatan medis. Jika mendadak dipanggil buat memeriksa pasien, beliau akan datang secara sukarela, terkadang beliau tidak mau menarik bayaran kepada pasien nan tidak mampu.
Kisah Cinta dr Soetomo Dengan Everdina
Dokter Soetomo berjumpa pasangan hidupnya sewaktu berdinas di Rumah Sakit Blora. Adalah Everdina, wanita Belanda nan ditinggal wafat oleh suaminya nan menjadi tambatan hati sang doter muda. Namun sayang, pernikahan ini tidak belangsung lama sebab Everdina meninggal sebab sakit pada 1934.
Semenjak ditinggal wafat Everdina, dr. Soetomo tidak berniat mencari pengganti. Beliau terus bertugas di garis depan membantu mengobati pasien. Kemudian, empat tahun berikutnya, dr. Soetomo meninggal global sebab sakit. Inilah akhir hayati dari dokter pribumi nan menghabiskan waktu dan pengetahuannya buat kepentingan rakyat kurang mampu. Sebuah jejak langkah nan semestinya menjadi anutan para pemuda sekarang ini, termasuk di dalamnya para pemuda nan tengah menempuh pendidikan di jurusan kedokteran. Langkah-langkah dr. Soetomo seperti terungkap di dalam biografi dr. Soetomo, perlu diteruskan oleh para pemuda sekarang ini terutama dalam hal melayani rakyat miskin nan semakin terpinggirkan dan tersingkirkan.