Hukum Harus Ditegakkan

Hukum Harus Ditegakkan



Hukum Positif Lawan Hukum Rimba

Hukum menjadi tak berarti ketika tak ditegakkan. Pada saat hukum positif tak lagi menjadi andalan dan loka bersandar, maka hukum rimba dapat menjadi penguasa. Siapa nan kuat nan akan menjadi paling kuat. Pada saat program Petrus atau penembak misterius dijalankan, masyarakat banyak nan merasa bahwa program itu ialah sesuatu nan memang harus dijalankan. Nyatanya memang para pelaku kejahatan itu memang sudah sangat meresahkan.

Setelah Petrus berakhir, rakyat Indonesia merasa lebih aman. Kini rasa kondusif itu semakin menipis. Rasanya sudah begitu mudah orang melakukan kejahatan nan luar biasa biadabnya. Pemimpin negeri ini harus bertanggung jawab dengan keadaan ini. Sine qua non suatu gerakan nan memberantas para partikelir tersebut. Sudah saatnya darah dibalas dengan darah sehingga keamanan akan terus terjaga. Bila tidak, maka akan banyak rakyat nan melakukan main hakim sendiri.

Apapun keadaannya, kalau masyarakat resah, seharusnya pemimpin harus bergerak cepat dan melakukan sesuatu nan akan membuat mereka merasa kondusif lagi. TNI dan Polri dapat bekerja sama dalam menegakan hukum. Kalau pengadilan dirasakan terlalu lama dan malah membuat keresahan itu semakin meninggi, maka sine qua non pengadilan nan dipercepat agar pelaku kejahatan nan memang pantas dihukum wafat dapat cepat mendapatkan hukumannya.

Bila harus menunggu lama, bagaimana dengan forum pemasyarakatan nan tak mampu menampung para penghuni baru. Imbas jerah harus diterapkan agar tak ada lagi nan berani melakukan hal-hal nan malah lebih parah dari melanggar Hak Azazi Manusia. Para penggerak penegakan HAM harusnya tak melihat dari sisi korban nan sudah jelas merupakan para pelaku kejahatan. Mereka harus memandang apa nan telah dilakukan oleh para korban kepada pelaku.

Negara ini memang negara hukum. Tetapi rasanya hukum telah tak mempunyai taji sehingga dapat dibeli. Banyak bukti kalau rumah tahanan malah dijadikan seperti ‘sekolah’ kejahatan. Pelaku kejahatan nan selesai masa hukumannya malah menjadi semakin kuat dan semakin merajalela. Masyarakat malah semakin resah. Mereka tak tahu harus berbuat apa sehingga akhirnya mereka mengharapkan ada ‘Rambo’ nan datang.

Bila pemimpin tak peduli dengan apa nan dirasakan oleh rakyat, maka rakyat tak akan memandang siapa pemimpin itu lagi. Mereka akan melakukan apapun nan dapat dilakukan demi mendapatkan keadilan nan diinginkan. Jangan sampai negara ini menjadi loka saling membantai. Bila hukum tak ditegakkan, bukan tak mungkin bahwa kekerasan demi kekerasan akan semakin menjadi makanan sehari-hari. Tidak ada lagi kebersamaan dan persatuan. Semua merasa bahwa kepentingannya harus diperjuangkan.

Kini rakyat menanti tindakan dari pemimpin apakah mereka memang mampu melakukan sesuatu nan akan membuat rakyat merasa tenang dan damai. Tanpa adanya tindakan nan menjamin rasa kondusif dan damai itu, maka rakyat akan merasa tak dapat menyandarkan kepentingannya kepada pemimpin nan telah dipilihnya. Inilah nan akan membuat rakyat makin resah. Kekuasaan itu bukan hanya sebagai sesuatu buat gagah-gagahan. Kekuasaan itu sebagai sesuatu nan digunakan buat membela nan lemah.



Hukum Diranah Pers

Konsep kemerdekaan pers di sini ialah sebagai terjemahan dari the freedom of the press nan secara sederhana bisa dianalogikan dengan arti free from the dom, atau bebas dari penguasa. Walaupun pada akhirnya pemimpin menjadi jengah terhadap kebebasan pers nan semakin nyinyir menyebak apa nan terjadi dalam tubuh kelembagaan mereka. Akhirnya pihak DPR mencabut salah satu kebijakannya bahwa pers tak boleh lagi meliput kedap mereka secara langsung. Yang boleh diwawancarai pun harus orang-orang eksklusif dan bukannya semua orang.

Hal ini dilakukan demi menghindarkan dari kasus nan salah kaprah atau salah dalam mengintreprestasikan apa nan sedang mereka perdebatkan. Jangan ada berpretensi nan tak pada tempatnya sehingga rakyat pun menjadi resah. Hal ini malah akan menjadi sesuatu nan akan memecah belah rakyat. Emosi pun akan cepat sekali tersulut kalau sudah menjadi debat terbuka. Hanya orang nan masih memikirkan terang kebersamaan nan akan menghindarkan diri dari perdebatan dalam bentuk apapun.

Dalam perspektif sejarah, pengakuan dan konservasi hak buat merdeka dari pengaruh atau tekanan penguasa sudah dimulai sejak deklarasi Magna Charta (1215). Spesifik dalam bidang pers, secara eksplisit ditetapkan dalam pasal 12 Virginia Bill of Right (15 Mei 1776) tentang kemerdekaan persurat-kabaran.

Piagam ini kemudian dimasukkan ke dalam Konstitusi Amerika Perkumpulan (1787). Pada 1789, piagam Virginia ini diadopsi pula oleh Prancis menjadi Declrations de droits de l’homme et du citoyen, atau Naskah Pernyataan Hak Asasi Manusia dan Warga Negara. Berbeda halnya dengan konsep kebebasan nan merupakan terjemahan dari liberty to atau bebas buat melakukan. Yang menarik ialah konsep kemerdekaan dengan alasan sebagai berikut.

1. Dalam sejarah panjang perjuangan pers Indonesia, kata kemerdekaan lebih awal dan banyak dipakai dalam sejarah pers pada umumnya dan khususnya hukum positif Indonesia.

2. Dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 nan pertama, dan nan sudah diubah dalam Pasal 28a UUD 45 nan sudah diamandemen buat kedua kalinya, tetap menggunakan istilah kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Jadi, bukan memakai istilah kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.

3. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers, nan dipakai ialah konsep kemerdekaan pers. Misalnya, dalam konsideran disebutkan antara lain bahwa: “Kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur nan sangat krusial menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara nan demokratis sehingga kemerdekaan mengeluarkan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 45 dijamin.”

Begitu pula dalam Pasal 28 Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers, dicantumkan lagi bahwa kemerdekaan pers ialah satu wujud kedaulatan rakyat nan berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.

Berdasarkan pertimbangan di atas, lebih tepat menggunakan istilah kemerdekaan pers daripada kebebasan pers. Namun, bukan berarti penggunaan istilah lain seperti kebebasan pers salah, mengingat dalam kehidupan sehari-hari istilah tersebut lebih sering dipakai.

Istilah kemerdekaan pers, selain alasan historis dan yuridis juga lebih menekankan perlunya kemerdekaan pers dari pengaruh kekuasaan dalam arti konfigurasi politik lainnya dalam melaksanakan kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum negara. Untuk melepaskan belenggu kemerdekaan pers dari ketentuan perundang-undangan nan bersifat ‘cek kosong’ nan dapat seenaknya diisi sinkron dengan kepentingan penguasa, maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Undang-undang dasar harus dengan tegas menjamin bahwa pemerintah tak boleh mengatur atau mencampuri masalah pers. Agunan konservasi terhadap kemerdekaan pers ini diberikan loka pada pasal tersendiri, setara dengan posisi pers sebagai pilar demokrasi. Seperti halnya legislatif, eksekutif, dan yudikatif nan diatur dalam pasal tersendiri di dalam UUD 1945.

2. Tidak ada ketentuan SIT atau SIUPP bagi setiap orang atau badan hukum buat menerbitkan surat kabar, majalah, dan lain-lain.

3. Tanggung jawab pers dalam melaksanakan fungsinya hanya kepada hukum pers dan etika pers. Oleh sebab itu, materi muatan UU Pers harus direvisi agar mewajibkan hakim memakai hukum pers atau lex specialis di dalam mengadili kasus-kasus pers.

4. Agar kemerdekaan pers tak melanggar hak-hak atau kemerdekaan pihak atau warga masyarakat, kedudukan Dewan Pers harus diperkuat menjadi forum negara nan berwibawa dan independen.

Berbicara kemerdekaan pers dalam perspektif hukum, dalam konteks sebagai pilar negara berdasarkan prinsip demokrasi, keempat kriteria tadi harus menjadi acuan. Artinya, setiap penafsiran terhadap salah satu kriteria tadi maka, berarti tak ada kemerdekaan pers. Sebaliknya, jika pers dikatakan sebagai pilar demokrasi maka bisa ditarik hipotesis tanpa kemerdekaan pers tak ada pula demokrasi.



Hukum Harus Ditegakkan

Apapun bentuk hukum nan telah dihasilkan oleh negara, semua itu harus ditegakkan. Jangan sampai hukum hanya dijadikan sebagai sesuatu nan berjaya di atas kertas. Rakyat tak lagi percaya dengan kedigdayaan hukum sebab hukum hanya buat orang-orang nan lemah.