Putra Nababan - Terjun ke Global Jurnalistik
Putra Nababan ialah salah satu dari beribu jurnalis di negara ini nan beruntung dapat melakukan wawancara secara langsung dengan presiden Amerika Serikat, Barak Obama. Darah jurnalisnya mengalir dari ayahnya, Panda Nababan. Ayahnya ini merupakan salah satu jurnalis di era Presiden Soeharto nan memiliki idealis. Hal ini juga mengalir pada jiwanya.
Putra Nababan - Kehidupannya Sewaktu Kecil
Lahir dari keluarga kecil, Putra Nababan ialah anak kedua dari tiga bersaudara. Dengan didikan ayahnya, Panda Nababan, nan juga seorang jurnalis di Indonesia, ia tak dapat diam dalam peliputan.
Melihat ayahnya nan begitu lincah kesana-kemarin, Putra Nababan kecil tumbuh menjadi anak nan hiperaktif. Putra Nababan kecil juga dapat disebut seorang nan bandel. Ia lahir di Jakarta pada tanggal 28 Juli 1974. Pada saat menduduki Sekolah Dasar (SD), ia merupakan anak nan cerdas. Nilai-nilai nan diperoleh dalam pendidikan dasarnya cukup bagus dan dapat menduduki peringkat lima besar.
Walaupun demikian, entah mengapa Norma bandelnya masih saja berlanjut hingga dia menduduki bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Bahkan di SMP, ia semakin menjadi-jadi. Di usia SMP, ia suka bekelahi, kabur dari sekolah, dan nilai rapornya pun jelek. Intinya, pada waktu SMP, ia jauh dari asa orang tua dan keluarganya. Walaupun nakal, hubungannya dengan kedua saudaranya dapat dikatakan kompak, layaknya saudara lainnya di dunia.
Ia pernah mengalami suka, duka bahkan berkelahi dengan dua saudaranya. Dengan kakaknya nan hanya terpaut dua tahun, berkelahi merupakan makanan sehari-harinya. Akan tetapi, dengan si bungsu adiknya nan terpaut usia cukup jauh, yaitu 13 tahun, ia tak mengalami kebersamaan lebih lama. Hal itu sebab ia harus mengalami masa pendidikan di Amerika Serikat.
Jika bercerita pendidikan di Amerika Serikat, ia memang beruntung pernah mengeyam pendidikan di negeri Paman Sam ini. Akan tetapi, perlu diketaui bahwa latar belakang ia dikirim ke negara adi daya ini merupakan bentuk kekecewaan keluarga akan kebadelannya. Suatu ketika, pernah ia kabur dari ventilasi rumah, padahal ia dikurung dalam kamarnya bukan tak ada alasan. Dimana ia besok akan mengahadapi ujian paling menentukan pada zamannya, Ebtanas.
Ia tak malah berkutat dengan buku-buku pelajarannya, melainkan memilih pretensi tidur dan kabur melalui ventilasi buat bermain bola. Kaburnya ia dari kamarnya membuat geram ayah dan ibunya. Akhirnya, keputusan tak main-main dijatuhkan padanya. Dimana ia harus melanjutkan pendidikannya ke Amerika Serikat, padahal ia sudah berusaha merayu kedua orang tuanya. Pertimbangan nan membuat orang tuanya tetap mengirim ke negara nan jauh tak lain sebab orang tuanya berkeinginan bahwa ia tak lebih terjerumus jauh dalam pergaulan.
Putra Nababan - Cerita di Amerika Serikat
Di Amerika Perkumpulan pun ia kembali diuji. Ia harus tinggal di sebuah kota kecil Sioux City, Lowa, dengan jumlah penduduk sekitar 80 ribu jiwa. Kekhawatiran pertamanya ialah dia tak dapat beradaptasi dengan lingkungan negara bebas ini, apalagi usianya masih sangat belia.
Jauh dari keluarga membuat ia sadar bahwa selama ini ia hanya menyusahkan orang tuanya. Bagaimana tidak, di usia SMP, dia harus berdikari dan tinggal bersama orang tua asuh. Beruntung oleh orang tuanya, ia dipilihkan orang tua asuh nan taat agama.
Putra Nababan nan sadar selama ini telah meyusahkan orang tuanya, akhirnya berjanji pada diri sendiri. Dimana ia berjanji akan menyelesaikan masa Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan waktu nan sesingkat mungkin. Ia pun menepati janjinya. Dia dapat menyelesaikan studi taraf SMA-nya dalam satu tahun saja dengan nilai nan sangat memuaskan. Hal itu menyebakan orang tuanya bangga.
Di Amerika Perkumpulan kebandelannya pun berkurang. Kalau dulunya nasihat orang tuanya hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri, maka pada saat ia mengeyam pendidikan tersebut, semua nasihat orang tuanya ia jalankan dengan baik. Bahkan, ia dapat membuktikan bahwa pada saat kuliah, dia dapat mendapatkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) nan memuaskan.
Di usia 16 tahun, ia melanjutkan kuliah di Midland Lutheran College, Fremont, Nebraska. Dengan mengambil jurusan Jurnalistik, ia ingin meneruskan talenta ayahnya. Bagaimana tidak, ayahnya nan merupakan jurnalis dapat tahu segalanya. Ia memahami bahwa jurnalis ialah pemegang dunia. Tidak disangka, di usia 19 tahun, ia sudah bisa menyelesaiakan kuliah.
Pada saat di Amerika Serikat, buat menambah uang saku, ia bekerja sebagai satpam. Ia memilih profesi satpam sebab gaji satpam ialah nan paling besar bila dibandingkan dengan profesi cleaning service atau asisten dosen. Dari hasil kerja satpam tersebut, ia dapat membeli tiket pesawat buat pulang ke Indonesia.
Putra Nababan - Terjun ke Global Jurnalistik
Setelah lulus kuliah dari Midland Lutheran College, Fremont, Nebraska, ia ingin melanjutkan bekerja di salah satu koran di kota kecil Amerika. Akan tetapi, niatmya buat kerja di Amerika Perkumpulan tersebut harus diurungkan. Hal itu sebab ayahnya memintanya buat kembali ke Indonesia. Menurut ayahnya, bila ingin menjadi jurnalis berhasil saat, inilah dia harus kembali sebab pemerintahan Soeharto telah tumbang.
Pada saat di Indonesia, ia meniti karirnya dimulai dari Majalah Lembaga Keadilan, Koran Merdeka nan berubah jadi Rakyat Merdeka, Metro TV, dan kini RCTI. Tidak terasa sudah belasan tahun ia menjadi jurnalistik.
Satu prinsip dari Putra Nababan di global jurnalistik, yaitu dia tak mudah menyerah. Ia selalu ngotot buat mengejar narasumber. Pantang baginya buat menyerah sebelum berjumpa dengan narasumber. Hal ini selalu ia lakukan walaupun sampai tengah malam.
Di tengah perjuangannya dalam Jurnalistik, dia merupakan jurnalis nan berprestasi. Bagaimana tidak, jika empat penghargaan dalam empat tahun berturut-turut dia sabet. Penghargaan nan diraihnya tersebut ialah Panasonic Gobel Awards for Best News Presenter.
Putra Nababan - Kehidupannya dalam Berkeluarga
Jurnalistik merupakan kehidupan bagi Putra Nababan. Ia seolah cinta wafat dengan kehidupan peliputan dan tulis-menulis ini. Makanya tak heran, bila ia baru memutuskan menikah ketika Sembilan tahun dia telah meniti karir.
Ia menikah dengan Mira Maria Melati Sirait. Sebelum menikah, mereka setia menjalin cinta hingga 9,5 tahun lamanya. Ia dan istrinya pun pernah mengalami cinta jeda jauh. Ketika itu sang istri harus kuliah di Inggris. Bahkan, ia melamar sang istri tercinta, di saat Mira Melati Sirait sedang mengidap penyakit cacar.
Di situlah ia melihat inner beauty dari istrinya. Akhirnya, mereka terikat dengan tali pernikahan pada Tanggal 14 Februari 2004. Pasangan senang ini dikarunia oleh Tuhan dua orang anak, yaitu Aubriel Mutiara Aza Nababan (25 Mei 2005) dan Gabriel Indonesia Prinz Nababan (29 September 2008).
Putra Nababan - Tidak Tertarik Terjun ke Global Politik
Ayah dari Putra Nababan, yaitu Panda Nababan ialah seorang jurnalis nan terjun ke global politik. Akan tetapi ia tak tertarik sedikit pun terjun ke global tersebut. Hal itu bukan sebab tak ada alasan nan berarti. Ia belum merasa mampu dengan segala nan dia miliki.
Secara materi berupa kemampuan finansial dan kemampuan lainnya pun, ia merasa belum mampu. Ia terlalu cinta wafat dengan kehidupan Jurnalis. Pekerjaan jurnalis juga masih sangat mulia, lapangan perjuangannya pun masih sangat luas baginya.
Demikianlah Putra Nababan, seorang jurnalis nan berprestasi, gigih, serta bertanggung jawab dalam pekerjaan jurnalistiknya. Sungguh merupakan suatu sikap nan harus dimiliki oleh setiap jurnalis nan ada di Indonesia.