Blitzmegaplex Beri Rona Baru di Bioskop Jakarta

Blitzmegaplex Beri Rona Baru di Bioskop Jakarta

Bioskop Jakarta punya sejarah nan panjang. Bioskop Jakarta pertama berdiri pada akhir tahun 1900, bertempat Jakarta Pusat, tepatnya di Jalan Tanah Abang I, dekat dengan Lapangan Gambir atau nan sekarang dikenal dengan Monumen Nasional.



Sekilas Sejarah Bioskop Jakarta

Bioskop Jakarta zaman dahulu tampak seperti bangsal dengan atap dari seng dan tembok dari gedek. Bioskop tersebut memang bukan bangunan nan permanen. Ketika selesai memutar film, bioskop tersebut akan tampil berkeliling di kota-kota lain. Pengusaha bioskop nan ternama saat itu bernama Talbot.

Pengusaha Bioskop Jakarta nan lain bernama Schwarz, biasa beroperasi di sekitar Kebon Jahe Tanah Abang kemudian pindah ke suatu gedung di Pasar Baru sebab hancur terbakat. Pengusaha Bioskop Jakarta nan lain ialah Jules Francois de Calonne.

Walau berawal dari ruangan menonton nan terbuka di lapangan, seperti layar tancap misbar (gerimis bubar), kelak De Calonne ini akan menjadi bioskop ekslusif nan bertempat di Pintu Air, yaitu Bioskop Capitol atau Capitol Theater. Pada 1960, Bioskop Capitol lebih banyak didatangi kaum intelek dan merupakan citra dari bioskop nan ekslusif.

Setelah periode tahun 1940-an muncul bioskop-bioskop lain, seperti Al Hambra di Sawah Besar, Astoria di Pintu Air, Central di Jatinegara, Cinema di Krekot, Elite di Pintu Air, Oost Java di Jalan Veteran, Orion di Glodok, Rembrant di Pintu Air, Rex di Kramat Bunder, Rialto di Senen dan Tanah Abang, Rivoli di Kramat, Surya di Tanah Abang, Thalia di Hayam Wuruk, dan Widjaja di Jalan Tongkol atau Pasar Ikan.

Di masa tersebut, film-film nan diputar masih film bisu. Mungkin Anda dapat membayangkannya dengan menonton film “The Artist” di mana pemutaran film diiringi dengan musik orkes.

Film nan menjadi favorit kala itu, antara lain nan dibintangi Arsene Lupin, Charlie Chaplin, Edi Polo, Fantomas, Max Linder, Tom Mix, dan Zigomar. Pada tahun 1951, bioskop di Jakarta pun bertambah dengan kehadiran bioskop Metropole di kawasan Megaria.

Bioskop Jakarta nan satu ini memiliki kapasitas 1.700 kursi. Ruangan studio pada bioskop tersebut dilengkapi dengan teknologi jendela penghisap dan peniup. Lokasi bioskop ini memiliki tiga tingkat, dengan kolam renang dan ruang dansa pada taraf paling atas.

Memasuki era Orde Baru, bioskop Jakarta semakin maju, baik dalam hal desain maupun fasilitas loka pertunjukan. Hal tersebut juga didukung dengan majunya jumlah produksi film nasional.

Sejak tahun 1987, konsep bioskop sinepleks pun semakin marak. Sinepleks ialah bioskop dengan beberapa studio. Biasanya lokasi sinepleks tersebut ada di harta benda atau tongkrongan anak-anak muda nan lain.

Namun, kejayaan bioskop-bioskop tersebut mulai pudar dengan kehadiran pengelola bioskop raksasa di bawah naungan PT Nusantara Sejahtera Raya atau Subentra Group. Satu per satu bioskop nan tidak mampu bertahan akan wafat atau bergabung ke dalam jaringan mereka.

Sejak tahun 2006, jaringan 21 ini mendapat saingan dari Blitzmegaplex. Walau awalnya berdiri di Bandung, namun sejak 2007 Blitzmegaplex ikut meramaikan kancah bioskop-bioskop di Jakarta.



Kiprah Subentra Membenahi Bioskop Jakarta

Subentra dengan jaringan 21-nya menggaet bioskop-bioskop nan sudah usang masuk ke dalam grupnya. Berbekal peran sebagai importir dan distributor film luar negri maka, Subentra pun berjaya.

Bioskop Jakarta , pinggirannya sampai ke pelosok daerah dirangkulnya. Maka taburan bintang merah biru bak potongan bendera Amerika pun merebak di jajaran bioskop.

Penonton bisa nyaman menunggu waktu pertunjukan di lobi lengkap dengan cemilan pop corn nan juga dijual oleh 21. Ruangan diiringi musik dan monitor nan menayangkan trailer film, baik itu film nan sedang tayang maupun film nan akan datang.

Toilet pun tersedia dengan kondisi nan lumayan bersih. Setiap akhir pekan atau hari libur pun bioskop seperti Empire 21 atau Hollywood 21 menjadi loka ngeceng . Anak-anak muda dengan gaya nan sedang nge-tren pun bergerombol di ruang tunggu. Jumlahnya pun semakin banyak menjelang midnight show.

Ketika tiba saatnya pintu studio dibuka, suara wanita nan memberi pengumuman pun terdengar renyah di lobi ruang tunggu. Di pintu masuk studio dua orang wanita berseragam batik dengan belahan hingga ke betis menyambut dengan senyum buat memeriksa tiket.

Bioskop Hollywood KC merupakan pelopor berdirinya sinepleks pada tahun 1984. Saat itu, Sudwikatmono mengambil alih Bioskop KC nan sudah sekarat. Kemudian, membagi tiga bioskop dengan kapasitas 900 kursi tersebut. Setiap studio pun kemudian memiliki kapasitas 250 kursi dengan ukuran layar lebih kecil.

Ternyata jurus Sudwikatmono tersebut berhasil, dengan pembagian menjadi tiga studio tersebut rata-rata terjual 500 tiket setiap malam. Padahal sebelum diambil alih, Bioskop KC hanya mampu menjual sepersepuluhnya.

Kemudian Subentra nan merupakan perusahaan patungan antara Sudwikatmono dan Benny Suherman mendirikan sinepleks baru dengan nama Studio 21 di Jalan Thamrin pada 1987. Angka tersebut diambil dari nomor kapling. Bioskop tersebut didirikan pada huma seluas 5 ribu meter persegi dengan biaya sekitar Rp 85 milyar.

Sinepleks tersebut terdiri dari 4 studio dengan kursi impor dari Prancis senilai Rp 600 ribu per kursi. Bioskop 21 ini pun mereguk sukses. Setiap malam mobil-mobil antre memasuki lokasi tersebut.

Demi pengembangan bisnisnya, Subentra mendirikan PT Subentra Twenty One (STO), dan secara gesit menggaet bioskop-bioskop usang buat disulap dengan paras baru. Divisi sinepleks pun dibentuk buat membujuk bioskop bergabung.

Bioskop Jakarta nan disulap kala itu ialah Megaria Theater menjadi Metropole 21, Rawamangun Theatre menjadi Astor 21, Tamara Theatre di Velbak, Kebayoran Lama menjadi Amigo 21. Bioskop-bioskop di luar Jakarta pun tidak luput dari target 21, semua dibuat menyandang nama 21 dan hak pemilik lama buat mengelola pun diambil alih.

Pemilik Megaria Theater hanya mendapat jatah sewa Rp 7,5 juta per bulan, sejak bioskopnya berubah wujud menjadi Metropole 21 pada April 1989. Uang sewa tersebut pun hanya diterima selama lima tahun dengan kenaikan 5 persen per tahun.

Perombakan bioskop sekelas Megaria memakan biaya sekitar Rp 700 juta, ungkap Ridwan Efendy, Kepala Divisi Bioskop Subentra Group. Sekaratnya bioskop-bioskop di luar jaringan 21 memang tidak hanya sekadar sebab modal, namun juga kesaktian Subentra sebagai importir nan merangkap distributor film-film luar negeri.

Kejayaan jaringan bioskop 21 pun masih eksis hingga kini. Mereka sempat dituntut sebab dianggap memonopoli bisnis tersebut. Lebih dari 58 persen bioskop di seluruh Indonesia sudah dikuasai.

Bahkan Djakarta Theater nan sempat menjadi bioskop termegah di Asia Tenggara akhirnya takluk juga di jaringan 21, setelah bersikukuh tak mau diambil alih. Namun mampukah kejayaan tersebut bertahan dengan datangnya pesaing baru nan juga memiliki bekingan kapital besar dan jalur akses film asing baik itu populer maupun indie atau film festival?



Blitzmegaplex Beri Rona Baru di Bioskop Jakarta

Duo Ananda Siregar dan David Hilman mendirikan Blitzmegaplex pada Oktober 2006 di Bandung. Diferensiasi mereka ialah jumlah auditorium nan banyak dan ukuran layar nan diklaim lebih besar.

Film-film nan diputar pun lebih bervariasi dengan adanya film-film independen asal Asia dan Eropa. Dalam waktu tiga bulan saja, pangsa pasar mereka di Bandung mencapai 54 persen, seperti diungkapkan oleh Direktur Marketing Blitzmegaplex, Rusli Eddy.

Kesuksesan di Bandung membuat Blizmegaplex menghadirkan bioskop di Jakarta pada 2007. Gerai pertamanya ialah di Grand Indonesia, disusul dengan Pacific Place pada tahun nan sama.

Mendekati penghujung tahun 2008, Blitzmegaplex pun hadir di Harta benda of Indonesia. Dan mulai melebarkan sayapnya ke satelit kota Jakarta pada 2009, yaitu di Teras Kota Serpong. Jaringan bioskop ini pun hadir di Central Park pada 2010. Demikianlah perjalanan bioskop Jakarta nan panjang.