Sejarah Kota Sintang
Kabupaten Sintang atau kota Sintang merupakan kabupaten terbesar kedua di Provinsi Kalimantan Barat setelah Kabupaten Ketapang. Luas total kabupaten ini sekitar 32.279 km² dengan jumlah penduduk kota Sintang sebesar ± 500.000 jiwa dengan etnis mayoritas suku Dayak (Dayak Iban, Sebaruk, Sontas, Kenyah dan Punan) serta suku Melayu.
Namanya mungkin tak seterkenal kota Singkawang atau Ketapang, namun kota Sintang ternyata juga memiliki keunikan tersendiri nan tak kalah latif dibandingkan kota Singkawang dan Ketapang. Tiga kota ini sama-sama berada di Pulau Kalimantan, maka tidaklah heran ada beberapa bagian dari kedua kota ini nan memiliki kesamaan.
Kota Sintang atau Kabupaten Sintang memiiki ragam loka wisata nan tak kalah latif dibandingkan dengan kabupaten di Kalimantan lainnya. Masih bertemakan perbedaan makna pemandangan alam, loka wisata di Kota Sintang niscaya akan memanjakan mata para wisatawan , baik turis domestik maupun luar negeri.
Sayangnya, estetika nan dimiliki oleh loka wisata di Kota Sintang belum diimbangi dengan penanganan nan baik oleh pihak-pihak terkait. Departemen Pariwisata nan berada di Kota Sintang dinilai lelet oleh masyarakat sekitar. Bahwa dana nan dialokasikan oleh pemerintah pusat masih belum dipergunakan secara tepat.
Tanpa mereka sadari bahwa potensi pariwisata nan dimiliki oleh Kota Sintang dapat menjadi daya tarik tersendiri. Hasilnya, pendapatan daerah pun akan meningkat. Selain itu, nama dari Kota Sintang atau Kabupaten Sintang juga akan turut diperhitungkan oleh masyarakat Indonesia secara luas, bahkan oleh turis asing. Kota Sintang dengan sejarah nan membentang, nyatanya menawarkan segudang potensi terpendam.
Kota Sintang dan Identitas
Suku Melayu nan tinggal banyak tinggal di pesisir dan tepi sungai (Kapuas dan Melawi) ialah keturunan masyarakat kesultanan Sintang Islam. Secara langsung, mereka ialah penduduk nan menjadi saksi cikal bakal kota Sintang. Sedangkan masyarakat Suku Dayak sejak dulu tinggal di daerah pedalaman dan hutan Sintang. Kehidupan mereka tergantung pada kemurahan alam di hutan.
Masyarakat Dayak banyak menganut kepercayaan animisme dan kemudian sebagian beralih ke Kristen sejak masuknya misionaris dan zending ke pedalaman. Meski berada pada kubu nan berbeda, kedua suku tersebut bisa hayati berdampingan dengan damai. Kota Sintang, memiliki sejarah disparitas sistem kepercayaan nan sudah cukup lama terjadi.
Topografi kota Sintang dominan berupa perbukitan sehingga mengakibatkan sumber mata pencaharian primer penduduknya sebagian besar sebagai petani sawit dan karet. Pada 1936 kota Sintang dijadikan daerah landschop di bawah naungan pemerintahan Gouvernement pada masa pemerintahan Belanda.
Pemerintahan Landschop ini berakhir pada tahun 1942 dan kemudian diambil alih oleh Jepang sebagai konsekuensi kekalahan Belanda oleh Jepang di Perang Global II. Setelah berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia, pemerintahan Belanda nan disebut Afdeling Sintang diganti dengan Kabupaten Sintang sinkron dengan UU No. 3 tahun 1953, UU No. 25 tahun 1956 dan UU No. 4 tahun 1956. Sejak itulah Kabupaten Sintang atau kota Sintang terus berbenah buat memajukan daerahnya hingga saat ini.
Secara geografis, kota Sintang berbatasan langsung dengan Serawak, nan merupakan bagian dari negara Malaysia. Sebagian besar wilayah di kota Sintang ialah perbukitan, dengan luas nan mencapai hampir 69,37 persen dari luas holistik kota Sintang. Luas kota Sintang, seperti nan telah disebutkan tadi, menduduki peringkat kedua terluas di Kalimantan Barat setelah kota Ketapang.
Sejarah Kota Sintang
1. Sejarah Kota Sintang - Aji Melayu, Nenek Moyang Raja-raja Sintang
Kota Sintang pada zaman dahulu merupakan bekas sebuah kerajaan Islam dengan sebuah Istana Al Mukaramah nan terletak di tepi Sungai Kapuas. Kota Sintang dahulunya ialah sebuah kerajaan. Istana ini dibangun pada tahun 1839 dan sampai sekarang masih kokoh berdiri dan kerap dijadikan obyek wisata. Kerajaan Sintang ialah Kerajaan Hindu kemudian nan beralih menjadi Kerajaan Islam.
Penguasa kota Sintang zaman dahulu atau kerajaan Sintang disebut Panembahan Sintang. Tokoh primer dibalik berdirinya Kesultanan Sintang ialah Aji Melayu. Pada abad ke-4 Masehi ia pergi daerah Kujau, Tanah Balang di Semenanjung Malaka, nan merupakan pusat kerajaan Hindu pada masa itu. Dari Kujau lalu ia pindah ke Desa Tabelian Nanga, Sepauk sampai menikahi seorang wanita bernama Putung Kempat dan dikaruniai anak nan bernama Dayang Lengkong. Cerita tentang anak beranak ini merupakan cerita asal mula dari kota Sintang.
Kepulangan Aji Melayu dari perantauan ternyata membawa ajaran Hindu ke daerah kelahirannya ini. Sejak saat itulah berdiri kerajaan Hindu di Sepauk. Bukti sejarah berdirinya kerajaan Hindu terlihat dari benda peninggalan sejarah berupa patung nan terbuat dari perunggu berbentuk Dewa bertangan empat nan diyakini sebagai Siwa (Dewa agama Hindu) di Desa Temian Empakan, Kecamatan Sepauk nan ada di kota Sintang. Pada abad ke-XIII, Raja Sintang saat itu, Demang Irawan memindahkan pusat kesultanan dari Sepauk ke Senatang (Sintang). Ia memilih lokasi di persimpangan antara Sungai Melawi dan Sungai Kapuas. Kekuasaannya pada masa itu mencakup Sepauk dan Tempunak. Perpindahan daerah kekuasaan pada masa lalu ialah hal nan lumrah terjadi di kota Sintang.
2. Sejarah Kota Sintang - Beralih ke Islam
Kota Sintang zaman dahulu tak pernah lepas pengaruh dari kerajaan-kerajaan nan ada. Raja Abang Tembilang atau Abang Pencin nan bergelar Pangeran Agung merupakan penguasa paling akhir Kerajaan Sintang Hindu sebab Ia kemudian menganut Islam. Setelah itu maka rakyat di kerajaan Sintang nan sebelumnya menganut agama Hindu dan Animisme berduyun -duyun memeluk agama Islam.
Sejak itu dimulailah babak baru kesultanan Sintang nan Islam. Setelah Pangeran Agung wafat, putranya nan bernama Pangeran Tunggal dinobatkan sebagai Raja di Kerajaan Sintang nan ke XVIII. Pergantian raja, kekalahan dalam perang, serta kemenangan dalam perang juga ikut merangkai perjalanan panjang kota Sintang.
3. Sejarah Kota Sintang - Kedatangan Belanda
Bertahun-tahun lamanya Kesultanan Sintang Islam berjalan damai sampai pada masa Sultan Ade Noh. Kesultanan Sintang kedatangan rombongan dari Belanda pimpinan J.H Tobias seorang Komisaris dari Kust van Borneo pada bulan Juli 1822 M. Sejarah kota Sintang pun mulai bersentuhan dengan pihak Belanda. Maksud tujuan rombongan Belanda tersebut ialah buat mengadakan kerjasama dengan Kesultanan Sintang. Namun Sultan Ade Noh tak bersedia menemui Tobias. Rombongan Belanda tersebut hanya di ditemui oleh pejabat kesultanan nan bernama Mangkubumi. Misi pertama Belanda terhadap kota Sintang tersebut boleh dikatakan gagal.
Setelah Sultan Ade Noh meninggal, posisinya digantikan oleh Gusti Muhammad Yasin dengan gelar Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin. Di masa kekuasaan Pangeran Adipati inilah datang rombongan Belanda nan kedua pada bulan November 1822, nan dipimpin Dj. van Dungen Gronovius dan Cf. Golman dan Syarif Ahmad Alkadrie sebagai juru bicaranya.
Misi kedua ini berhasil menghasilkan beberapa kesepakatan nan sayangnya lebih banyak menguntungkan pihak Belanda. Sehingga tidak heran di kemudian hari Belanda leluasa melakukan berbagai hegemoni terhadap Kesultanan Sintang. Kota Sintang perlahan mulai dikuasai oleh pihak Belanda. Sejak saat itulah Kesultanan Sintang terus menerus dirongrong kewibawaannya oleh Belanda hingga akhirnya Indonesia sukses berdiri dan mengusir Belanda dari bumi pertiwi termasuk dari kota Sintang.