Kepunahan Gajah Purba

Kepunahan Gajah Purba

Gajah merupakan hewan menyusui terbesar nan dimiliki oleh bumi. Sejak zaman nenek moyangnya pun gajah memang sudah berukuran jumbo seperti nan sekarang kita ketahui. Gajah purba atau mamut atau mammoth bahkan ada nan mempunyai ukuran jauh lebih besar daripada gajah nan sering kita lihat sekarang.

Meskipun berbadan besar, gajah merupakan hewan nan memiliki insting bersahabat. Jika diperlakukan dengan baik, gajah akan menjadi binatang nan baik dan jinak. Namun, bila diperlakukandengan kasar, gajah pun akan berlaku kasar. Bahkan, syahdan gajah merupakan hewan nan memiliki insting pendendam. Gajah merupakan keluarga dari ordo Pachyderm, sedangkan dari ordo Proboscidea ia merupakan satu-satunya ‘anggota keluarga’ nan masih tersisa.

Di global ini, tinggal dua spesies gajah nan masih ‘tahan’ terhadap gempuran zaman. Mereka seolah mewakili spesies gajah lain buat tetap dikenali oleh penduduk bumi sepanjang masa. Spesies gajah tersebut dibagi berdasarkan letak benua nan ia tinggali. Mereka banyak tinggal dan beranak pinak di kawasan benua Asia dan Afrika.

Spesies gajah di dua daerah tersebut banyak memiliki perbedaan. Bentuk gajah Afrika jauh lebih besar daripada gajah Asia. Gajah Asia juga memiliki daun telinga nan lebih kecil. Dilihat dari tekstur muka, gajah Asia memiliki dahi nan sedikit lebih rata dan dua tonjolan di atas kepala. Sementara itu, gajah Afrika hanya memiliki satu tonjolan besar.

Perbedaan nan lain terletak pada keberadaan gading. Gading hanya dimiliki oleh spesies gajah Asia nan memiliki kelamin jantan. Sedangkan gajah Afrika, baik jantan dan betina sama-sama memiliki gading.



Jenis Gajah Purba

Mamut sudah hayati sejak 1,6 juta tahun nan lalu, dan terakhir ditemukan pada 10 ribu tahun nan lalu. Rata-rata bentuk tubuhnya memang lebih besar. Selain badan, mamut juga memiliki bentuk gading nan lebih panjang, dan berbulu lebat. Namun ada juga jenis mamut tanpa bulu; serupa gajah modern kini.

Meskipun demikian, ternyata tak semua mamut memiliki bentuk badan nan lebih besar dari gajah masa kini.Ukuran terbesar dari mamut dimiliki oleh mamut dari sungai Songhoa. Hewan itu memiliki tinggi lima meter dengan berat 6 hingga 8 ton. Mamut nan memiliki kelamin jantan cenderung memiliki berat badan nan dapat mencapai 10 hingga 12 ton.

Gading nan dimiliki mamut juga memiliki ukuran nan terbilang panjang buat ukuran gading nan dimiliki gajah-gajah zaman sekarang. Panjangnya dapat mencapai 3 meter, bahkan lebih.

Selain mamut nan sudah hayati sejak ratusan ribu tahun nan lalu, gajah ternyata memiliki nenek moyang nan bahkan sudah hayati sejak puluhan juta tahun nan lalu. Tepatnya, sekitar 40 juta tahun nan lalu. Hewan tersebut bernama Mastodon.

Pada masa lalu, mamut nan sudah punah tersebut hayati hampir di seluruh belahan bumi. Ia hayati di benua Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika, tepatnya Amerika Utara dan Tengah. Ia hayati dengan memakan batang dan daun tetumbuhan.

Meskipun bentuknya sekarang sudah berubah menjadi fosil dan bahkan abu, mamut nyatanya masih menyimpan banyak cerita. Pada zaman dahulu, mamut banyak membantu masyarakat. Ia dapat digunakan sebagai wahana transportasi darat nan paling kuat. Dari sekian banyak disparitas nan dimiliki gajah purba dan gajah masa kini, ternyata mereka masih mempunyai kesamaan. Mereka sama-sama memiliki sifat baik dan ‘senang’ menolong manusia.



Deskripsi Fisik Gajah Purba

Seperti gajah nan kita temukan di zaman modern, mamut berukuran cukup besar. Fosil mamut terbesar nan pernah ditemukan berukuran tinggi 4 meter dengan berat sekitar 13 ton. Umumnya mamut memiliki berat tubuh sekitar 9 ton dan memiliki ukuran tubuh kira-kira sama dengan gajah Asia modern. Baik jantan dan betinanya memiliki gading nan panjang.

Seperti gigi pada manusia, gading anak mamut akan tumbuh sampai usianya 6 tahun kemudian tanggal. Setelah itu sepasang gading permanen akan tumbuh menggantikannya. Gading mamut nan permanen dapat tumbuh sepanjang 2,5 cm sampai 15 cm per tahun.

Berdasarkan studi nan telah dilakukan, mamut betina diperkirakan memiliki masa kehamilan selama 22 bulan dan melahirkan hanya seekor bayi mamut. Struktur sosial mamut nan hayati berkelompok kelihatannya sama dengan gajah Afrika dan Asia kini.



Kepunahan Gajah Purba

Mamut berbulu ialah spesies nan paling akhir dari gajah purba. Mamut berbulu juga ialah jenis mamut nan paling populer. Mamut ini hayati di wilayah Amerika Utara dan Eurasia (benua Eropa-Asia nan dahulu menyatu). Mereka diperkirakan punah sekitar 10.000 - 12.000 tahun silam. Punahnya mamut kelihatannya merupakan kepunahan besar-besaran dampak melelehnya es dan meningkatnya level ketinggian air. Tidak hanya mamut nan punah dampak hal ini, tetapi juga beberapa jenis hewan lainnya.

Selain berakhirnya zaman es nan ditandai dengan melelehnya es dan naiknya permukaan laut, kepunahan mamut juga diakibatkan oleh perburuan besar-besaran oleh manusia di berbagai tempat. Para pemburu suka bekerja sama buat melumpuhkan mamut sebab dagingnya banyak (cukup buat memberi makan banyak orang di suatu suku) dan bagian-bagian tubuhnya nan lain dapat dimanfaatkan. Alasan punahnya mamut masih belum benar-benar dapat dibuktikan sampai sekarang. Bahkan sebuah teori lain mengatakan bahwa mamut punah dampak endemi penyakit menular nan menginfeksi mereka.

Apa pun alasan kepunahannya, beberapa jenis mamut mampu bertahan dengan berevolusi. Mereka memperkecil bentuk tubuh mereka sehingga menjadi mamut kerdil atau mamut pigmi. Mereka hayati di wilayah California, Amerika Utara. Namun kehidupan mereka tetap terancam dampak perburuan oleh suku orisinil Amerika dan berakhirnya zaman es.



Membangunkan Kembali Gajah Purba

Karena hayati di wilayah dingin, fosil mamut banyak ditemukan di wilayah berselimut es. Terkuburnya fosil di wilayah penuh es memberi laba bagi para peneliti buat meneliti fosil mamut tersebut, sebab DNA dan sel-sel tubuh fosil biasanya masih utuh tak terurai oleh bakteri pengurai.

Keinginan buat ‘membangunkan’ hewan besar ini pun muncul. Di tahun 1990-an, para ilmuwan menemukan fosil lengkap seekor anak mamut di wilayah Siberia. Mamut ini dibawa ke laboratorium buat diteliti dan ‘dihidupkan kembali’ dengan membuat kloning dari bagian inti sel mamut tersebut. Sayangnya, hal ini gagal dilakukan.

Beberapa tahun kemudian, secercah cahaya muncul dari Jepang. Adalah Dr. Teruhiko Wakayama, seorang peneliti asal Pusat Pengembangan Biologi Jepang nan mencetuskan kembali ide pengkloningan mamut. Ia melakukan penelitian dengan mengkloning tikus dari sel-sel tikus nan dibekukan selama 16 tahun. dan ia berhasil. Metodologi nan kurang lebih sama akan diaplikasikan buat mengkloning mamut. Yang ia butuhkan kini ialah sel dari fosil mamut nan masih baik sehingga masih terbaca DNA-nya.

Selanjutnya para tim berusaha buat mencari fosil mamut di Siberia. Mereka berharap beruntung buat mendapatkan fosil dengan jaringan sel nan masih baik keadaannya. Menurut mereka, hanya dibutuhkan 3 cm2 sel mamut buat mengkloningnya. Jika kelak mereka tak sukses menemukan fosil mamut nan representatif, mereka berencana buat meminta sedikit sampel dari para ilmuwan Rusia.

Rencananya, proses kloning ini akan melibatkan gajah Afrika betina sebagai induk pengganti. Jaringan sel mamut akan dimasukkan ke dalam sel telur gajah Afrika tersebut. Masa kehamilannya diperkirakan akan memerlukan waktu 600 hari. Namun sebelum gajah Afrika betinanya dapat dijadikan induk pengganti, diperlukan persiapan nan memerlukan waktu 2 tahun. Para ilmuwan Jepang ini berharap bisa ‘menghidupkan’ gajah purba dalam 5 tahun ke depan.