Metode dan Corak Penafsiran Muhammad Abduh

Metode dan Corak Penafsiran Muhammad Abduh

Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah atau lebih populer dengan nama Muhammad Abduh, termasuk tokoh tafsir terkini nan memberi pembaharuan pemikiran dalam Ilmu Tafsirnya. Sebagai pejuang Islam dalam bidang keilmuan, ia telah mengorbankan seluruh jiwa, raga dan hartanya. Jejaknya, - terutama dalam pembaharuan pemikiran Ilmu Tafsir - semestinya menjadi panutan agar ruh perjuangannya tidak termakan zaman.



Profil Singkat Muhammad Abduh

Lahir pada tahun 1849 di desa Mahallat Nasr, sebuah kawasan di al-Buhairah, Mesir. Saat remaja ayahnya mengirim Abduh kecil ke Mesjid al-Ahmadi buat belajar Ilmu Tajwid dari Syaikh Mujahid. Namun, metode pedagogi nan disampaikan Syaikh Mujahid sama sekali tak menarik bagi Abduh. Karena bosan setelah dua tahun belajar, Abduh kembali ke desanya dan dinikahkan dalam usia nan masih sangat muda, 16 tahun.

Syaikh Darwisy Khidr - salah seorang paman Abduh - sangat berpengaruh terhadap pemikiran Muhammad Abduh kelak. Pamannya ini pula nan memompa semangat belajar Muhammad Abduh. Abduh kemudian belajar kembali di Mesjid Thantha, dan melanjutkan studinya ke Al-Azhar. Ia mulai terkenal sebagai kritikus, terutama kepada para ulama nan mengajar tanpa mendorong buat meneliti sumber-sumber pengajarannya.

Muhammad Abduh selaih tokoh tafsir , juga tokoh pencetus ide pembentukan Universitas Mesir, nan sekarang terkenal dengan Universitas Kairo. Idenya tersebut mendapat sambutan positif seluruh elemen masyarakat, tak hanya pemerintah saja. Buktinya, disediakan sebidang tanah buat pembangunan universita tersebut.

Meski, universitas tersebut berdiri saat Muhammad Abduh sudah berpulang ke rahmatullah. Pada tanggal 11 Juli 1905, Muhammad Abduh meninggal dunia. Kepergiannya tak hanya ditangisi oleh umat Islam saja, tapi juga duka bagi banyak tokoh non muslim.

Di dalam buku "Mudzakkirah, Al-Ustadz al-Imam" dimaktubkan, ada dua hal mengapa banyak orang begitu mengagumi pemikiran Muhammad Abduh.

1. Ia mengajarkan buat membebaskan akal pikiran dari 'kurungan-kurangan' taklid nan dinilai bisa menjadi penghambat perkembangan pengetahuan agama. Sebagaimana nan pernah terjadi pada masa salaf al-ummah (ulama sebelum abad ketiga hijriyah), sebelum lahirnya perpecahan.

    Pemikirannya tersebut bukan tanpa sebab. Muhammad Abduh ingin mengajak umat Islam buat mampu mempelajari hakikat Islam dengan murni, bukan sekadar ikut-ikutan tanpa tahu ada dalilnya atau tidak. Selain itu, ia juga ingin agar umat Islam dapat menghubungkan ajaran-ajaran nan ada di dalam al-Qur'an sinkron dengan kehidupan masa kini.

    2. Meminta masyarakat Mesir buat memakai gaya bahasa Arab nan baik. Jangan lagi menggunakan bahasa Arab slank masyarakat mesir, agar ketika ada tamu nan belajar bahasa Arab fush-hah (resmi) dapat berkomunikasi dengan lancar. Pemakaian bahasa tersebut harus terjadi di kantor-kantor pemerintahan dan swasta.

      Selain itu, Muhammad Abduh juga meminta masyarakat mesir buat belajar bahasa asing seperti Francis, Inggris dan lain-lain. Tujuannya, agar terlepas umat Islam dari asumsi bahwa bahasa nan mesti dipelajari hanyalah bahasa Arab saja.



      Sumbangan Muhammad Abduh dalam Bidang Tafsir

      Pembaharuan pemikiran dalam ilmu tafsir terlihat sekali dalam karya Muhammad Abduh dalam kitab tafsirnya ' Juz Amma', yang diselesaikan di negeri Maghrib pada 132 H. Pemikiran itu terdapat pula dalam karya lainnya, terutama tafsir tentang surat Al-Ashr .

      Dibanding pakar tafsir lainnya, Muhammad Abduh tak secara spesifik membuat kitab tafsir lengkap 30 juz. Namun pemikiran-pemikirannya dapat disampaikan secara langsung saat perkuliahan kepada mahasiswanya di Al-Azhar. Jejak ini telah terekam oleh Muhammad Rasyid Ridha nan selalu mencatat poin krusial dari klarifikasi Muhammad Abduh tersebut.

      Hal terpenting dari Ilmu Tafsir nan disampaikan Muhammad Abduh, terutama masalah menggali tafsir al-Qur'an nan menurutnya sangat sulit. Kesulitan itu sebab al-Qur'an merupakan sabda langit nan diturunkan kepada Muhammad SAW, sehingga banyak sekali mengandung pelajaran dan ilmu pengetahuan. Menurutnya, tidak mungkin dapat menafsirkan hikmah nan terkandung di dalamnya, selain kepada orang-orang nan selalu menjaga kesucian hati dan pikirannya.

      Muhammad Abduh termasuk tokoh nan tidak henti menyerukan tentang perlunya pembaharuan, agar tak terbelenggu dalam pemikiran nan secara buta mengikuti pikiran pendahulunya. Pembebasan pikiran itulah nan menjadi pemicu munculnya gagasan-gagasan pembaharuan.

      Semangatnya nan tidak kenal lelah dalam mendorong pembebasan pikiran terimplikasikan dalam berbagai macam karyanya, termasuk juga dalam bidang tafsir. Berbeda dengan pakar tafsir pendahulunya, Muhammad Abduh memberi landasan pada tafsirnya. Ia membuka pikiran mengenai bagaimana mendapatkan pemahaman terhadap isi al-Qur'an dengan berbagai macam kandungannya, sehingga memberi peluang dan mengarahkan manusia menuju kebahagiaan nan hakiki, yaitu kebahagiaan di global dan akhirat. Pembahasan lain dalam menafsirkan ayat al-Qur'an tersebut merupakan akibat dari tujuan tersebut.

      Para pakar tafsir lainnya dalam menafsirkan ayat al-Qur'an itu menggunakan empat metoda tafsir standar yaitu ijmali atau global, tahlili atau metoda analisis, muqarin atau perbandingan ayat dan maudhu'i nan menafsirkan secara tematik. Muhammad Abduh tak mengkomparasi keempat metoda tersebut, melainkan menggunakan metoda sendiri.



      Metode dan Corak Penafsiran Muhammad Abduh

      Seperti nan penulis disebutkan di atas, metode tafsir Muhammad Abduh berbeda dengan nan ulama-ulama lain. Muhammad Abduh memiliki delapan karakteristik penafsiran.

      1) Setiap Ayat di dalam Surah memiliki keterkaitan nan serasi

      Artinya, Muhammad Abduh menilai ada jalinan interaksi nan harmonis antara satu ayat dengan ayat nan lain dalam setiap surah nan ada di dalam al-Qur'an.

      Misalnya saja, ketika Beliau menafsirkan surat al-fajr ayat 1 dan 2. "Demi fajar dan malam nan sepuluh" . Abduh menafsirkan kata al-fajar tak seperti ulama nan lain nan menafsirkan al-fajr dengan awal tahun hijriyyah atau 10 Dzulhijjah dan lain-lain. Menurut Muhammad Abduh, al-fajr nan disebutkan di dalam al-Qur'an bermakna umum. Sehingga maksudnya ialah fajar setiap hari. Sedangkan kata "malam nan sepuluh" ditafsirkannya dengan sepuluh malam nan setiap bulan nan ada di dalamnya cahaya bulan mengusik kegelapan malam.

      Sehingga, ada keserasian antara kedua ayat. Yaitu, masing-masing mengusik kegelapan malam. Meski fajar mengusik malam hinggaa terjadi siang nan merata, sedangkan sepuluh malam mengusik namun akhirnyaa terjadi kegelapan nan merata. Untuk lebih jelasnya pembaca dapat membacanya di kitab tafsir Juz 'Amma yang ditulis Muhammad Abduh.

      2) Ayat Al-Qur'an itu Dinilai Bersifat Umum

      Menurut Muhammad Abduh, setiap ayat al-Qur'an bersifat umum, tak dibatasi oleh masa dan tak ditujukan kepada orang-orang tertentu. Misalnya saja ketika ia menafsirkan surat al-Lail ayat 15-16.

      Jika para ulama banyak nan menafsirkan bahwa nan dimasukkan ke dalam neraka di dalam ayat tersebut ialah Umayyah bin Khalaf, sebab ayat tersebut bila kaji dari karena turunnya ayat mengarah kepadanya. Namun Muhammad Abduh memandangnya, bahwa ayat tersebut umum. Umayyyah bin Khalaf hanya karena saja dan contoh orang nan sudah dipastikan masuk neraka. Namun orang lain juga berpotensi sama ketika ia melakukan pendustaan terhadap agama dan berpaling dari beriman kepada Allah dan Rasulullah.

      3) Al-Quran Adalah Sumber Akidah dan Hukum

      Muhammad Abduh mengajak orang menjadikan al-Quran sebagai sumber akidah dan hukum, bukan menjadi al-Quran sebagai penopang mazhab nan dimilikinya. Artinya, tidak sedikit mazhab melakukan cara buat mendukung pendapat mazhabnya dengan mencoba menafsirkan al-Quran sinkron denga ide mazhabnya. Seharusnya, mazhabnya nan ikut dengan apa nan dijelaskan di dalam al-Quran.

      4) Mempergunakan Akal Secara Luas dalam Memahami Ayat al-Qur'an

      Muhammad Abduh dalam menafsirkan menggunakan akal buat memahami ayat al-Qur'an. Ia beranggapan bahwa akal memiliki peran krusial dalam hal penafsiran. Karena baginya, wahyu dan akal tak mungkin bertentangan. Namun Abduh melarang buat menggunakan akal-akalan dalam memahami al-Quran. Pahamilah al-Quran dengan benar-benar menggunakan akal nan sehat dan bermaslahat buat dirinya dan masyarakat banyak, bukan segolongan.

      5) Menentang dan Memberantas Taklid

      Muhammad Abduh melalui tafsir mencoba menyadarkan masyarakat buat menjauhi taklid. Pasalnya, al-Qur'an memerintahkan umatnya buat menggunakan akal dan melarang buat mengikuti pendapat-pendapat orang terdahulu secara membabi buta sehingga tak tahu dalil alias mem'bebek' begitu saja.

      6) Tidak Merinci Permasalahan nan Belum Jelas

      Jika Anda membaca kitab tafsir Juz Amma Muhammad Abduh, Anda bakal menemukan bahwa ia tak akan menafsirkan ayat-ayat nan belum (ayat mubham) . Misalnya saja ketika menafsirkan surat al-Qari'ah ayat 6-7, Muhammad Abduh menafsirkan,

      "penilaian tentang perbuatan dan apa nan wajar diterimanya sebagai balasan pada hari itu, tiada lain kecuali atas dasar apa nan diketahui oleh-Nya, bukan atas dasar apa nan kita ketahui. Maka hendaklah kita menyerahkan permasalahannya kepada Allah Swt. atas dasar keimanan."

      Intinya, setiap ayat nan mengupas tentang shirat, mizan, surga, neraka dan sebagainya nan sulit dijangkau akal dikupas oleh Muhammad Abduh.

      7) Kritis dalam Menggunakan Hadis Nabi Saw.

      Dalam penafsirannya, Muhammad Abduh begitu kritis buat menggunakan hadis Nabi. Letak permasalahnnya ialah pada sanad hadis, yaitu rangkaian periwayat hadis nan meriwayatkan teks hadis. Menurutnya, riwayat hadis nan disampaikan para periwayat hadis tersebut belum tentu bisa dipertanggungjawabkan.Makanya, Muhammad Abduh hanya mau menggunakan hadis nan mutawatir. Untuk hadis Ahad, beliau tak mau menggunakannya.

      8) Kritis Terhadap Pendapat Para Sahabat Nabi dan Menolak Keras Israiliyyat

      Muhammad Abduh sangat berhati-hati dalam menerima pendapat-pendapat para sahabat Nabi Saw. Apalagi jika antara satu sahabat dengan sahabat nan lain berbeda. Selain itu, Muhammad Abduh menolak keras cerita-cerita israiliyyat dalam memperkuat kandungan tafsir ayat.

      9) Menghubungkan Penafsiran al-Qur'an dengan Kehidupan Sosial

      Muhammad Abduh dalam menafsirkan ayat selalu dihubungkan dengan kondisi masyarakat dalam usaha mendorong ke arah kemajuan dan pembangunan. Makanya, dasar-dasar penafsirannya bercorak adabi ijtima'I (budaya dan kemasyarakatan.

      Inilah artikel sederhana tentang tokoh tafsir Muhammad Abduh dan corak penafsirannya. Semoga bermanfaat bagi sobat Ahira.