Nilai Filosofi Wayang

Nilai Filosofi Wayang

Pada zaman dahulu, pertunjukan wayang sering digelar dan menjadi tontonan favorit masyarakat. Selain berfungsi sebagai wahana hiburan, pertunjukan wayang juga dimanfaatkan sebagai media dakwah dan penyebaran agama Islam dengan menggubah cerita nan diadaptasi dari kisah Ramayana dan Mahabarata.

Setelah berkembangnya media televisi, pertunjukan wayang di masyarakat sangat menurun intensitasnya. Perayaan-perayaan nan diadakan, seperti hajatan, peringatan kemerdekaan, sudah sporadis sekali menggelar pertunjukan wayang.

Setiap seremoni atau gelaran hiburan saat ini selalu diisi oleh pentas dangdut nan sangat rawan kerusuhan. Pertunjukan wayang menjadi sangat langka, baik di televisi lokal maupun pertunjukan langsung.

Dulu, Gedung YPK Bandung menjadi loka favorit buat menonton pertunjukan wayang. Di gedung tersebut, rutin digelar pertunjukkan wayang golek, baik dibawakan dalang senior seperti Asep Sunandar Sunarya atau Ade Sunandar Sunarya, maupun dalang-dalang muda sebagai penerus kesenian wayang golek.

Akan tetapi, sekarang sangat sepi dari kegiatan pertunjukan wayang. Minat masyarakat pun kurang begitu antusias, terutama generasi mudanya, sebab mungkin wayang dianggap sebagai seni tradisional nan kuno.

Padahal, wayang ialah kesenian orisinil Indonesia. Para peneliti tak menemukan sedikit pun tanda-tanda bahwa wayang berasal dari kebudayaan asing. Brandes mengatakan bahwa wayang itu orisinil dari Jawa. Sedikit pun tak ada tanda-tanda adanya pengaruh budaya Hindu, meskipun cerita-cerita nan dibawakannya merupakan saduran nan berasal dari tanah Hindu.



Sejarah Wayang di Indonesia

Istilah wayang itu sendiri berasal dari kata "wayangan" nan artinya bayangan, yaitu mempertunjukkan bayangan kehidupan manusia nan terjalin dalam lakon nan digelarkan oleh dalang. Pada mulanya wayang terbuat dari kertas. Tetapi, sebab bahan kertas kurang kuat dan mudah rusak, dibuatlah dari kulit kerbau atau kulit sapi nan dikeringkan dan disebut wayang kulit. Sedangkan nan terbuat dari kayu disebut wayang golek.

Wayang sendiri sebetulnya muncul sebagai sebuah media buat lebih mendekatkan diri kepada Sanghyang atau dewa nan dipercaya oleh masyarakat animisme pada zaman dahulu. Oleh karena itulah pagelaran wayang selalu diselenggarakan ketika ada sebuah upacara syukuran, baik syukuran saat masa panen tiba, upacara pernikahan, atau jenis seremoni lain nan dianggap sebagai suatu berkah dari Sanghyang nan diberikan kepada seluruh masyarakat nan terkena kebahagiaan tersebut.

Seiring berjalannya waktu, wayang menjadi salah satu representasi kehidupan kerajaan nan hayati di Indonesia. Apalagi setelah masuknya agama Hindu ke Indonesia sehingga penyebaran agama pun dilakukan dengan menggelar pertunjukan wayang.

Kisah epik nan menjadi ide kreatif jalan cerita wayang kebanyakan diambil dari kisah Mahabrata dan Ramayana. Perang besar nan terjadi antara Kurawa dan Pandawa menjadi sejarah, legenda, sekaligus epos nan legendaris hingga saat ini. Itulah sebabnya, tokoh pewayangan selalu dihubung-hubungkan dengan karakter tokoh dalam kisah epik tersebut.

Pada termin ini, wayang tak lagi berdiri sebagai kebudayaan dan media penyampaian ritual terhadap Sanghyang. Dewa dan raja sudah mulai menempati posisi nan hampir sejajar dengan Sanghyang sehingga wayang bukan lagi refleksi spiritualisme masyarakat animisme, tetapi lebih menjadi representasi kehidupan sehari-hari antara dewa, raja, dan rakyat jelata.

Dewa dianggap sebagai penguasa paling tinggi nan mampu memberikan berbagai kelengkapan hayati nan dibutuhkan oleh manusia. Sementara itu, para raja dianggap memiliki karisma nan besar sebab mendapat kekuatan turunan dari dewa, sedangkan rakyat biasa hanyalah manusia biasa nan harus menerima berbagai fatwa dan perintah nan diturunkan oleh para dewa melalui para raja nan memimpin mereka.



Pengaruh Islam Terhadap Perkembangan Wayang

Dalam perkembangan budaya, selalu ada perubahan nan disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Begitu juga dengan wayang nan pada saat masuk agama Islam juga turut mendapatkan pengaruh sehingga seiring berjalannya waktu, ada banyak perubahan nan terjadi.

Perubahan wayang tak hanya terjadi pada bentuknya saja, tapi juga terhadap alur cerita nan disampaikan saat pagelaran wayang berlangsung. Para wali nan sedang menyebarkan agama Islam menggubah sedikit ide dan berbagai karakter wayang sehingga sinkron dengan apa nan diajarkan oleh agama Islam.

Beberapa wali seperti Sunan Kalijaga bahkan mengubah bentuk wayang sehingga bahan nan digunakan tak lagi berasal dari kayu, tapi terbuat dari bahan batang pisang. Begitu juga dengan sunan lain nan membuat wayang memiliki beberapa jenis dan bentuk, serta majemuk ide cerita sinkron dengan perkembangan zaman dan rakyat nan hayati di zaman tersebut.



Jenis-Jenis Wayang Kulit nan Menalami Perkembangan

Wayang kulit nan mengalami perkembangan antara lain:



1. Wayang Purwa

Wayang Purwa membawakan lakon atau cerita-cerita dari kitab Mahabarata, Ramayana, dan Bharatayuda.



2. Wayang Madya

Wayang Madya membawakan lakon atau cerita-cerita sesudah zaman Prabu Parikesit di Astina, sebelum Keraton Memenang



3. Wayang Gedong

Wayang Gedong membawakan lakon atau cerita-cerita babad Kediri sampai Majapahit di Jawa.

Selain jenis wayang kulit, pertunjukkan wayang berbahasa Jawa pun ada nan menggunakan wayang nan terbuat dari kayu, seperti wayang klitik dan wayang menak. Wayang menak bentuknya mirip dengan boneka kayu nan diberi baju lengkap dan menceritakan kisah kerajaan puser Bumi (Mekkah) nan dipimpin Raja Anusherman.

Di Jawa Barat dikenal wayang golek nan terbuat dari kayu. Lakon nan dibawakan diambil dari cerita Ramayana dan Mahabarata. Di Bali pun ada pertunjukan wayang nan dikenal dengan wayang Bali. Di antara jenis wayang tersebut, nan paling populer dan luas daerah penyebarannya ialah wayang purwa. Wayang ini tak saja dipentaskan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tetapi juga di Sumatera, Kalimantan, bahkan sampai ke Malaysia.

Wisatawan asing juga sangat tertarik pada wayang, baik sebab keindahannya, bentuknya, maupun pertunjukkannya. Terbukti dengan banyaknya orang asing nan ingin memiliki dan menyimpannya sebagai barang seni, terutama orang Belanda, Prancis, Amerika, Jepang, dan Australia. Mereka juga ingin mempelajari seni karawitan, tembang-tembang, dan cara memainkan wayang. Bagaimana dengan kita sendiri? Masih adakah kecintaan terhadap kesenian wayang?



Nilai Filosofi Wayang

Seperti nan sudah dijelaskan di atas, wayang merupakan salah satu jenis karya seni nan sangat sakral sebab berawal dari sistem pemujaan kaum animis di zaman dahulu.

Sama seperti karya seni pada umumnya, wayang juga memiliki nilai filosofis nan bersifat adiluhung dan pantas buat dikaji dan dipikirkan secara budaya. Dari mulai bentuknya nan beraneka ragam (bahan-bahan dasar pembuatan wayang), hingga jalan cerita nan dihadirkan dalam berbagai pertunjukan wayang pun memiliki nilai filosofi tersendiri.

Oleh karena itu, samapai sekarang wayang masih menjadi tontonan nan tak lekang oleh waktu. Para tetua di desa, bahkan anak kecil pun sangat menyukai wayang sebab selain dibawakan dengan cara nan khas, wayang juga mampu menghibur manusia dengan berbagai kekonyolan nan dihidangkan adegan-adegannya.

Walaupun zaman sudah modern, namun pertunjukan wayang tetap memuat nilai-nilai primordial nan tak dapat digantikan oleh barang modern. Dari mulai musik pengiringnya, penyanyi atau sindennya, hingga dalang nan memainkannya, semuanya sangat bernilai budaya lokal dan jauh dari karakteristik modernisme sehingga dapat disimpulkan bahwa bertahannya wayang hingga saat ini merupakan bukti bahwa kesakralan kepercayaan umat manusia tak akan mampu dikalahkan oleh kepercayaan teknologi secanggih apapun.

Jadi, sudah siapkah Anda buat mempromosikan wayang sebagai seni kreativitas masyarakat Indonesia?