Perkembangan Drama Indonesia
Drama Indonesia banyak dikenal melalui perjalannya dan perkembangannya nan panjang dan tanpa mengenal putus bahkan sampai sekarang. Drama banyak dilihat dan dipertontonkan sebagai salah satu jenis karya sastra, yakni fiksi, prosa, dan drama.
Drama itu sendiri berasal dari bahasa Yunani “draomai” nan berarti berbuat, berlaku, bertindak. Drama sering disamakan dengan Dramatik, padahal drama dan dramatik sendiri tersebut berbeda. Jika drama berarti berarti perbuatan atau tindakan suatu aksi atau perbuatan.
Sementara itu, dramatik ialah jenis karangan nan dipertunjukkan dalan suatu tingkah laku, mimik dan perbuatan. Sandiwara ialah sebutan lain dari drama di mana sandi ialah misteri dan wara ialah pelajaran. Orang nan memainkan drama disebut aktor atau lakon.
Fungsi Drama Indonesia pada Zaman Dulu
Seperti drama nan berisi tentang lakon-lakon, drama Indonesia pun mengalami perkembangan bak lakon nan ada di dalam naskah drama. Karena drama ialah salah satu dari tiga jenis karya sastra. Untuk itu, membicarakan drama tak bisa dilepaskan dari karya sastra.
Pertujukan drama di Indonesia sudah ada sejak zaman dulu. Naskah Drama tersebut ialah karya F. Wiggers nan berjudul lelakon Raden Beij Soerio Retno nan diterbitkan pada tahun 1901, sedangkan rombongan drama tertua di Indonesia muncul pada tahun 1891 dengan nama Komedie Stamboel.
Sebenarnya pertunjukan teater di Indonesia sudah ada sejak zaman dulu, namun belum berupa naskah drama, sebab pertunjukkannya sendiri bukan merupakan pertunjukan buat hiburan, tetapi dengan tujuan-tujuan tertentu, antara lain sebagai berikut.
- Untuk memanggil kekuatan gaib. Zaman dahulu tak bisa dilepaskan dengan kekuatan mistik nan mengandung unsur-unsur religi.
- Memanggil roh-roh nan dipercaya bisa melindungi suatu loka tertentu. Pemanggilan roh ini, lebih kepada pemanggilan ketika hendak dilakukan acara di suatu tempat. Untuk itu, pemanggilan ini bertujuan buat melindungi suatu tempat.
- Pelengkap upacara. Teater tradisional di Indonesia salah satu fungsinya ialah sebagai pelengkap upacara buat memberikan kekuatan kepada nenek moyang kita.
Perkembangan Drama Indonesia
Perkembangan drama sendiri tak bisa dilepaskan dari drama atau pun teater barat. Mengapa demikian? Hal tersebut juga berpengaruh terhadap naskah drama saat ini naskah drama Indonesia berjumlah sekitar 400 buah nan terdiri dari drama pendek atau pun drama panjang. Meski begitu, pembabakan atau periode dalam drama sendiri masih dapat dibagi-bagi.
Pembabakan drama Indonesia, antara lain sebagai berikut.
Sastra Drama Melayu-Rendah (1891-1940)
Sastra drama Melayu-Rendah pada masa-masa ini muncul sebab adanya tuntutan dari teater modern Indonesia nan merupakan produk dari budaya kota Indonesia. Untuk itu, penduduk kota nan pada saat itu terjadi dari beberapa kebangsaan nan mendominasi kota, yakni Indo, Arap, Cina dan Indosia sendiri nan juga didominasi oleh Belanda dan Cina.
Sayangnya, dua golongan Belanda dan Cina ini kurang mengerti bentuk teater orisinil Indonesia. Hal ini sebab memang dua golongan ini tak mengerti dengan niscaya budaya nan ada di Indonesia saat itu. Namun pada akhirnya, tahun 1891 bertempat di Surabaya, lahirlah rombongan pertama drama Indonesia modern nan diprakarsai oleh August Mahieu dan Yap Goan Tay, bersama seseorang lagi nan bernama Cassim.
Rombongan pertama drama Indonesia modern ini bernama “Komedi Stamboel”. Meskipun pada tahun 1891 lawak Stamboel sudah berdiri, tetapi belum melahirkan sastra drama Indosia sampai pada tahun 1901, seseorang nan bernama F. Wiggers menulis sastra drama Indonesia nan pertama, dengn lakon “Lelakon Raden Beij Soerio Retno”.
Sebelum tahun 1901 bentuk pementasannya hanya pemain harus menciptakan dialognya sendiri maka pada tahun 1901 itulah muncul sastra drama Indonesia pertama. Yang dimaksud sastra drama di sini sendiri ialah cerita nan diungkapkan lewat tulisan dan berbentuk dialog.
Sastra Drama Pujangga Baru (1926-1939)
Seperti mengalami perkembangan dari Sastra Drama-Melayu rendah ke Sastra Drama pujangga Baru. Hal ini sebab memang penulis naskah pada periode ini dikenal sebagai pujaggan baru, dialah Roestam Effendi. Ada disparitas nan mencolok. Antara naskah nan ditulis oleh orang-orang Tionghoa dan naskah nan ditulis oleh Roestam Effendi sangat berbeda. Disparitas tersebut terletak pada dialog.
Jika sebelumnya orang-orang Tionghoa menulis obrolan dalam bentuk prosa maka Roestam Effendi menulis obrolan dalam bentuk sajak. Karya Roestam Effendi ini merupakan karya sastra drama Indonesia nan ditulis dalam bahasa Indonesia standar. Karya sastra drama Indonesia ini ditulis pada tahun 1926 dan berjudul “Bebasari”.
Satu hal lagi nan mencolok dari karateristik sastra drama pujangga baru, yakni karya sastra nan ditulis memang buat tujuan karya sastra dan bukan ditulis dengan dasar akan dipentaskan. Tidak hanya Roestam Effendi nan menulis naskah pad periode ini. Namun masih ada sebelas penulis lagi nan menulis naskah drama, yakni Mohammad Yamin (Ken Arok dan Ken Dedes, Kalau Dewi Tara Sudah Berkata), Sanusi Pane( Airlangga, Enzame garudaflucht, Sandhyakalaning Majapahit, dan Manusia Baru), Armijn Pane (Lukisan Masa, Setahun di Bedahulu, dan Nyai Lenggang Kencana), Ajirabas (Bangsacara dan Ragapadmi).
Sastra Drama Zaman Jepang (1941-1945)
Sastra ini lahir pada zaman pendudukan Jepang. Pada zaman ini, mula-mula berkembang rombongan sandiwara profesional. Disebut sandiwara professional sebab bekerja tanpa naskah drama berdialog, tetapi hanya garis besar cerita. selain itu, jalannya cerita masih diselingi nyanyian atau lawangan ketika pergantian babak.
Pada zaman ini, ada istilah sandiwara profesional, juga ada istilah sandiwara amatir. Pada kelompok sandiwara amatir, masih harus benar-benar memelukan sastra drama. Selain itu juga, memerlukan naskah drama nan lengkap, nan terdiri dari dialog, petunjuk lengkap, dan keterangan setting.
Sandiwara amatir ini kebanyakan muncul dari kalangan pelajar. Karena memang tujuan mereka melakukan pentas secara berkeliling ialah buat amal dan biaya organisasi gerakan pemuda.
Sastra Drama Setelah Kemerdekaan (1945-1970)
Pada masa ini ialah masa-masa Indonesia sedang sibuk mempertahankan keutuhan Indonesia dan agresi dari Belanda. Pada masa-masa ini, tak memberikan peluang nan lebar kepada para sastrawan buat membuat karya sasta. Maka, tak bisa dihindari, jumlah karya sastra nan tercipta pada periode ini menurun sangat drastis.
Hanya beberapa karya saja nan dihasilkan, yakni keluarga Surono oleh idrus pada tahun 1948, Suling pada tahun 1946 dan Bunga Rumah Makan pada tahun 1947 oleh Utuy Tatang Sontani, dan Tumbang oleh Trisno Sumardjo. Dalam hal ini nan perlu digarisbawahi, meskipun jumlahnya sangat sedikit, namun semua karya sastra ini mempunyai ciri-ciri nan akan berkembang pada tahun-tahun berikutnya.
Adapun dari segi tema nan ditampilkan para penulis ini pun sudah jauh berbeda. Jika sebelumnya, tema-teman nan ditampilkan ialah tentang masalah politik maka pada periode ini lebih banyak dihadirkan tema-tema tentang kejiwaan.
Sastra Drama Terkini (1970-sekarang)
Sastra drama terkini nan dimulai sejak tahun 1970 dan sampai saat ini tak bisa dilepakan begitu saja dengan berdirinya Dewan Kesenian Jakarta. Melalui Dewan Kesenian Jakarta nan melakukan sayembara-sayembara naskah drama kemudian lahirlah banyak sekali naskah drama Indonesia nan tak lagi bertema-tema tertentu, tetapi dengan tema-tema nan lebih umum.Hal nan demikian sekaligus menjadikan sesuatu nan lebih menarik.
Setelah mengetahui perkembangan sastra drama, tak bisa melepaskan diri pada artis pada periode terkini ini. Berbicara mengenai Drama, tak bisa dilepaskan dari tokoh drama nan tetap legandaris, meskipun sudah meninggal dunia. Tokoh tersebut ialah Willibrordus Surendra Broto Rendra atau lebih dikenal dengan sebutan WS. Rendra.
WS. Rendra sendiri pendiri Bengkel Teater. Bengkel teater didirikan pada tahun 1967. W.S Rendra nan mendapat julukan burung merah merak ini, turut membentuk sejarah drama Indonesia. Rendra turut mewarnai global drama dengan memainkan lakon-lakon. Tidak sporadis pula, Renda sendiri nan menulis naskah, menyutradarai, sekaligus memerankan. Semoga bermanfaat.