Radikalisme dan Terorisme
Maraknya kasus kekerasan nan terjadi di masyarakat beberapa tahun belakangan telah membuat masyarakat secara generik menjadi gusar. Hal ini menurut sebagian orang disebabkan oleh sekelompok orang nan dianggap sebagai kelompok garis keras nan memaksakan kehendaknya kepada orang lain nan dianggap radikal. Apa sebenarnya arti kata radikal ?
Secara Etimologi
Konflik horizontal di beberapa daerah telah mengancam keamanan nasional. Rasa kondusif nan dirasa semakin memudar telah membuat setiap warga negara menjadi takut buat beraktifitas keluar rumah. Kata ‘radikal’ menjadi lebih sering terucapkan oleh banyak kalangan.
Secara etimologis, kata radikal ialah akar. Kata ini berasal dari bahasa latin yaitu “radix-radicis” nan bermakna akar dan mendasar. Sehingga terminologi ini diartikan sebagai sebuah keteguhan dan pemahaman nan mendalam sampai kepada akar-akarnya. Dengan demikian, arti kata radikal nan sesungguhnya ialah memahami sesuatu permasalahan secara mendalam dan memegang prinsip dengan teguh pendirian. Keyakinan nan mengakar kuat dalam diri ini juga disebut dengan radikalisme. Subjeknya disebut sebagai orang radikal .
Dalam hal ini terminologi radikal biasanya diidentikan dengan pengertian nan negatif. Sebagai contoh ialah sebuah ormas agama nan biasanya membuat kerusakan, seperti menutup tempat-tempat perjudian dengan cara kekerasan dan tidak sporadis memakan korban.
Peran Aparat Keamanan
Negara nan berdaulat ialah Negara nan mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara secara merdeka atau independen. Untuk menjaga keamanan Negara maka dibutuhkan sebuah institusi kemanan seperti kepolisian dan militer.
Semenjak reformasi , peran militer dibatasi hanya pada keamanan Negara terhadap agresi asing saja. Sehingga secara otomatis tanggung jawab kemanan di dalam Negara menjadi tanggung jawab pihak Kepolisian.
Namun, belakangan terjadi sebuah tindakan pengamanan nan dilakukan oleh pihak militer terhadap tindakan premanisme. Hal ini patut diapresiasi sebab pihak militer telah berinisiatif buat turut serta dalam menertibkan premanisme dan menjaga keamanan Negara.
Tindakan cepat dan sigap dari kemiliteran ini tak serta merta mendapat dukungan sepenuhnya. Ada saja pihak-pihak nan tak sepakat dengan tindakan ini. Militer dianggap telah melampaui tugas utamanya menjaga keutuhan bangsa dari agresi pihak asing dengan ikut campur menertibkan para partikelir .
Ada ketakutan bahwa tindakan militer ini akan membawa kondisi keamanan dalam negeri kembali kepada masa orde baru dengan menyebarnya Petrus atau penembak misterius. Petrus dikenal sebagai tim pembasmi aktivis nan tak sepakat dengan rezim dan preman-preman nan banyak meresahkan masyarakat.
Rasa tak kondusif nan tak dapat dijaga oleh kepolisian ditengarai menjadi alasan mengapa militer ikut turun tangan. Namun bukanlah suatu hal nan bijak jika kita hanya menyalahkan di satu pihak dan menyalahkan kepolisian di pihak lain.
Dampak dari keamanan nan terancam ini juga menjadi salah satu penyebab dari munculnya radikalisme. Orang-orang radikal melihat kepolisian tak mampu buat menutup tempat-tempat perjudian, penjualan minuman keras, dan menutup global prostitusi.
Hal inilah nan kemudian membuat sekelompok orang melakukan tindakan main hakim sendiri. Wajar saja jika kemudian terjadi friksi antara orang-orang nan ingin hayati tenang dengan orang-orang nan bahagia berbuat sesuatu nan bertentangan dengan nilai-nilai moral nan universal.
Seandainya pihak Kepolisian bisa memberikan agunan bahwa tindakan-tindakan nan melanggar kebiasaan dan kesusilaan itu ditutup. Tentu tak aka nada sekelompok orang nan main hakim sendiri nan kemudian dicap sebagai orang nan radikal.
Radikalisme dan Terorisme
Dunia Barat identik menyematkan kata radikalisme dengan terorisme . Yang kemudian terminologi radikal di politisasi sedemikian rupa sehingga memiliki makna negatif. Ketika berbicara tentang radikalisme maka nan terbayang ialah sekolompok orang nan mengatas namakan agama eksklusif kemudian membuat tindakan kriminal dalam hal ini ialah terorisme.
Terorisme diyakini sebagai konsekuensi logis dari radikalisme. Biasanya para pelaku terorisme ialah mereka nan radikal. Mereka dianggap sebagai orang-orang nan memaksakan diri buat mewujudkan tatanan hayati nan ideal menurut konsep mereka.
Hal ini sah-sah saja, sebagai upaya refleksi dalam mencari jalan keluar dari berbagai persoalan nan timbul. Namun, hal ini menjadi masalah ketika harus memakan korban. Mengapa sine qua non nan menjadi korban kerusakan bahkan terbunuh dalam mewujudkan idealismenya? Bukankan ada cara-cara nan elegan sehingga setiap orang dapat mengerti dengan apa nan kita maksud?
Kedewasaan dalam menyikapi disparitas absolut diperlukan dalam memahami perbedaan. Setiap orang niscaya mempunyai pemahaman nan berbeda-beda. Kepala boleh sama hitam, tapi isi pikiran siapa nan dapat menjamin? Seharusnya kita dapat mendialogkan hal-hal nan menjadi disparitas bukan kemudian memaksakan kehendak kita nan belum tentu diterima oleh orang lain.
Menghargai Perbedaan
Negara Indonesia dikenal sebagai sebuah Negara nan terdiri dari berbagai suku bangsa dan adat istiadat. Namun diantara disparitas itu ada satu kesamaannya. Yaitu akidah, Islam diakui telah menjadi perekat bangsa nan beraneka ragam ini dari Sabang sampai Merauke.
Dengan ideliasme Islam, Negara Indonesia bisa berdiri. Meskipun ada agama-agama lain di Indonesia, tidak lain itu ialah bentuk penghormatan dan toleransi terhadap penganut agama lain. Karena tak ada paksaan dalam ber-Islam.
Meskipun tak ada paksaan dalam ber-Islam, kemudian tak serta merta diperbolehkan berbuat apapun sinkron kehendak hawa nafsu. Orang nan ber-Islam otomatis dia harus bersyariat. Karena Islam memiliki anggaran standar dalam mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Islam juga tak memaksa orang nan beragama lain buat pindah agama. sebab setiap orang memiliki hak nan sama dalam berkeyakinan dan Islam sangat menghargai itu. Tapi meskipun demikian, bukan berarti setiap agama ialah jalan nan sama menuju Tuhan atau dengan kata lain semua agama ialah sama . Setiap orang bebas beragama tapi semua agama tidaklah sama.
Islam ialah agama wahyu bukan produk budaya dan protesis manusia. Tidak seperti agama lain nan merupakan hasil dari peradaban. Islam justru nan merupakan penghasil dari peradaban. Sejarah membuktikan bahwa Islam telah melahirkan peradaban nan toleran dan mampu memberikan rasa kondusif kepada warga negaranya.
Namun, ketika sekularisasi menjadi ideologi masyarakat dunia. Maka seketika toleransi itu sirna. Dalam kehidupan sekular tak dikenal rasa saling menghargai satu sama lain antar budaya antar agama.
Yang ada ialah budaya satu menindas budaya nan lain. Agama nan satu menindas agama nan lain. Kebudayaan Barat terbukti telah mengeliminir dan meng-aleniasi atau mengasingkan kebudayaan tradisional. Budaya toleransi dan gotong royong sirna diganti dengan budaya Barat nan bersifat individualis, permisif, dan liberal.
Dampaknya ialah banyak orang nan kemudian berbuat sekehendak hawa nafsunya tanpa melihat apakah pebuatannya itu disenangi oleh orang banyak atau tidak. Kemudian inilah nan mengakibatkan munculnya kebingungan. Ketika kita hendak menegur perbuatan nan melanggar kebiasaan dan susila. Maka orang ini akan di anggap sebagai orang nan radikal, dan fundamental.
Nilai-nilai religiusitas sesungguhnya ialah jalan keluar dari dinamika kehidupan nan begitu beragan dan kompleks. Bagi Indonesia, maka kembali kepada Islam ialah jalan. Karena mayoritas penduduk Indonesia ialah Muslim. Namun demikian bukan jalan kekerasan nan menjadi pilihan, namun jalan nan elegan yaitu dakwah. Karena Islam ialah rahmat bagi seluruh alam.