Landasan Hukum dan Memudarnya Keistimewaan DIY

Landasan Hukum dan Memudarnya Keistimewaan DIY

Indonesia ialah negara hukum. Syahdan menurut cerita memang seperti itu. Apapun dapat diselesaikan melalui hukum. Landasan hukum kemudian dikenali sebagai dasar hadirnya aturan-aturan hukum di negeri ini. Melalui perumusan tentang landasan hukum, penegakan terhadap hukum bisa dilakukan.



Indonesia Sebagai Negara dengan Landasan Hukum

Kebaradaan hukum di Indonesia menjadi sebuah bukti diri nan tak dapat ditawar. Ini merupakan sebuah konservasi nan (seharusnya) adil bagi setiap masyarakat Indonesia. Tidak mengenal miskin atau kaya, hukum tetap harus ditegakkan.

Pernah pergi ke pengadilan? Dan pernah melihat sebuah patung nan ditutup matanya dengan membawa timbangan? Itu ialah symbol bahwa hukum (seharusnya) memang adil. Keharusan itu memang absolut dimiliki oleh sebuah negara dengan landasan hukum nan kuat, seperti Indonesia ini.

Sayangnya, keadilan dalam mendapatkan konservasi hukum, masih dipertanyakan di negara ini. Kasus-kasus ketidakadilan tampak di depan mata. Tidak perlu disebutkan, Anda mungkin sudah paham beberapa kasus nan dimaksud.

Fenomena ini merupakan kenyataan sosial nan tak dapat dipandang sebelah mata. Indonesia sebagai negara dengan landasan hukum harus membuktikan identitasnya. Pasal-pasal nan telah dibuat hendaknya dijadikan pacuan buat menegakkan keadilan dalam hukum. Tanpa kecuali.



Mengenal Landasan Hukum Yogyakarta

Keberadaan hukum di Indonesia merata dari ujung barat hingga timur. Masing-masing daerah memiliki peraturan dan landasan hukum. Hukum ini memiliki anggaran nan dapat jadi lebih spesifik. Salah satu nan dapat dilihat kespesifikannya ialah landasan hukum nan dimiliki oleh Daerah Istimewa Yogyakarta.

Namanya saja sudah Daerah Istimewa, hal-hal nan berkaitan dengan daerah ini niscaya cukup istimewa. Mulai dari pariwisata, budaya, seni, konsistensi, hingga masalah nan sifatnya formal seperti hukum.

Landasan hukum keistimewaan Yogyakarta, tertuang dalam Piagam nan ditandatangani Presiden Soekarno pada 19 Agustus 1945. Sekalipun ditandatangani tanggal 19 Agustus 1945, namun piagam tersebut diserahkan kepada Sri Sultan HB IX, setelah Sultan Yogyakarta membacakan amanat 5 September 1945.

Untuk menguatkan landasan hukum tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan UU no 22 Tahun 1948 nan secara jelas mengukuhkan bahwa Yogyakarta ialah suatu daerah istimewa. Keistimewaan itu tertuang dalam pasal 18 ayat 5 nan berbunyi;

Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga nan berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan nan masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetian dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu.

Selain itu keistimewaan bagi Yogyakarta, juga dikarenakan Yogyakarta dianggap sebagai daerah setingkat provinsi, tetapi bukan suatu provinsi dan tak pula sebagai suatu bentuk monarki konstitusional. Landasan hukum nan dimiliki oleh Yogyakarta berkaitan dengan pengaturan wilayah tersebut sebagai salah satu wilayah nan cukup istimewa.

Penetapan Yogyakarta sebagai wilayah nan istimewa tak terjadi tanpa sebab. Ada peraturan nan mengikat. Ada pasal nan menetapkan dan terbukti keabsahannya. Predikat tersebut seperti sebuah “hadiah” buat wilayah nan benar-benar istimewa ini.

UU pemerintahan daerah nan berlaku selanjutnya mengacu pada ketentuan UU No 22/1948, termasuk UU No. 3/1950 Tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta dan UU No.19/1950 tentang perubahan UU No. 3/1950.

Sampai di sini, Pemerintah Pusat masih teguh memegang komitmennya terhadap keistimewaan Yogyakarta. Daerah Istimewa tetap pada statusnya sebagai daerah setingkat provinsi, dengan segala keistimewaan nan inheren padanya, termasuk kedudukan kepala daerahnya.



Landasan Hukum dan Memudarnya Keistimewaan DIY

Keistimewaan peraturan nan telah dibuat oleh pemerintah pusat ternyata dinegasi oleh pihak mereka sendiri. Mereka nan memutuskan bahwa Yogyakarta ialah daerah istimewa, bahwa Yogyakarta hanya boleh dipimpin oleh keturunan raja dengan ketentuan cakap, jujur, dan setia terhadap budaya Yogyakarta, ternyata mulai melihatkan gejala tak baik.

Gejala tak baik nan dimaksud ialah gejala mulai diabaikannya keistimewaan Yogyakarta. Hal ini sebenarnya telah tampak sejak tahun 1988, seiring dengan mangkatnya Sri Sultan HB IX. Pada saat itu pemerintah pusat menetapkan Paku Alam VIII nan saat itu menjabat sebagai Wakil Gubernur, buat menjadi Gubernur DIY menggantikan Sri Sultan HB IX.

Secara jelas ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat sebenarnya tak berkenan, andai jabatan Gubernur DIY secara otomatis dijadikan sebagai jabatan turun temurun bagi Raja Kasultanan Yogyakarta.

Fakta kedua terjadi pada 1998 ketika Paku Alam VIII mangkat. Pada waktu itu posisi Gubernur DIY dibiarkan kosong buat beberapa saat, sebab pemerintah pusat belum mempunyai formulasi tentang tata cara suksesinya. Baru setelah rakyat Yogyakarta mengepung dan mendesak DPRD Provinsi DIY, maka Sri Sultan HB X diusulkan buat mendapat penetapan sebagai Gubernur. Pemerintah pusat akhirnya menetapkan Sri Sultan HB X sebagai Gubernur DIY buat periode 1998 – 2003.

Namun, persoalan ini terus bergulir dan jadi masalah laten nan selalu meletup di tiap penghujung masa jabatan Sultan HB X sebagai Gubernur. Tahun 2003 dan 2008, masalah nan sama muncul lagi. Rakyat mengepung dan mendesak DPRD Provinsi DIY buat menetapkan Sultan HB X sebagai Gubernur DIY. Dan sekarang persoalan ini muncul lagi, dan makin meruncing sebab pernyataan Presiden SBY beberapa waktu lalu.

Keistimewaan Yogyakarta, salah satunya dilihat dari sistem kepemimpinan, bahwa nan memimpin wilayah ini ialah raja beserta keturunannya mulai terganggu oleh “keisengan” pihak pemerintah pusat. Hal ini tentu saja melahirkan reaksi nan cukup keras dari masyarakat Yogyakarta.

Mereka nan konsisten dengan kebudayaan leluhur dan adat, dapat jadi merasa dipermainkan oleh kekuasaan. Merasa marah dan kecewa tentu saja wajar. Dan desakan-desakan dari rakyat Yogyakarta ialah reaksi nan paling sederhana.



Landasan Hukum Yogyakarta, Demokrasi Adalah Alat

Wacana politik modern selalu mengagungkan bahwa sistem demokrasi merupakan sistem politik terbaik buat mengatur masyarakat. Melalui demokrasi, setiap rakyat nan memenuhi syarat memiliki hak nan sama secara politik, yakni hak buat memerintah.

Dengan sendirinya, konsep demokrasi telah mengubur asumsi bahwa nan berhak buat memerintah hanyalah raja dan kerabatnya. Sementara pada lain sisi telah menerbitkan asa bagi rakyat buat juga bisa memerintah.

Keberadaan sistem demokrasi pada akhirnya sukses menggusur kekuasaan monarki berbagai kerajaan di dunia. Dan mulailah era kaum politisi, militer, intelektual, dan pengusaha buat berkuasa dan memerintah.

Hal inilah nan terlihat mendasari terjadinya gejala pengabaian pada UU no 22 Tahun 1948 pasal 18 ayat 5. Bahwa monarki seharusnya tak lagi dilakukan dalam sistem pemerintahan modern.

Namun demikian, suatu sistem politik nan baik bukankah sistem nan dapat diterima oleh masyarakatnya? Begitu juga dengan nan terjadi di Yogyakarta. Selama ini rakyat tak pernah mempersoalkan posisi Sultan HB X sebagai Gubernur.

Bahkan dalam asumsi mereka; siapapun nan menjadi Sultan dia jugalah nan otomatis menjabat sebagai Gubernur DIY. Itulah kebenaran politik nan diyakini oleh sebagian besar rakyat Yogyakarta.

Sekalipun Sultan HB X ialah seorang raja, bukan berarti pemerintahan di DIY dijalankan dengan sistem monarki. Sebab perangkat birokrasi nan ada di Yogyakarta, bukanlah diisi oleh kaum bangsawan dan kerabat istana. Tetapi diisi oleh masyarakat nan direkrut secara terbuka. Begitu juga dengan posisi kepala daerah nan tak diduduki secara otomatis oleh para Pengeran Adipati.

Jika mau melihat ini dari sisi lain, landasan hukum nan dimiliki oleh Yogyakarta berkenaan dengan anggaran sistem kepemerintahan sebenarnya bukan hanya berkenaan dengan siapa nan memerintah, tapi lebih pada pelestarian kebudayaan nan dimiliki oleh masyarakat Yogyakarta.