Tak Perlu Kecil Hati

Tak Perlu Kecil Hati

Autisme ialah suatu gangguan tumbuh bunga nan kompleks dan berat. Gejala autisme ini sudah tampak sejak anak belum berusia tiga tahun. Autisme ini akan terus dialami oleh anak tersebut seumur hidup. Mereka dapat berdikari namun dengan segala keterbatasannya. Masih sine qua non orang nan dapat mengawasi mereka agar tak terjadi hal-hal nan tidak diinginkan. Sayangnya, belum ada teori atau klarifikasi niscaya mengenai faktor penyebab autisme ini. Kalaupun ada, semuanya masih meraba-raba. Intinya, setiap kehamilan harus diperhatikan dengan baik.

Terjadi Secara Acak

Autisme bisa terjadi pada siapa saja, tidak memandang suku bangsa, ras, status sosial ekonomi, status kesehatan, atau taraf pendidikan. Autisme mungkin saja terjadi pada anak nan memiliki IQ rendah, tetapi juga mungkin terjadi pada anak dengan IQ tinggi atau bahkan jenius. Autisme dapat menyerang bahkan seorang anak dengan ibu nan sangat perhatian dengan kandungannya dan juga setelah anak dilahirkan. Sang ibu nan begitu terpelajar dan sangat melek informasi tentang autisme.

Gejala perkembangan autisme ini semakin menyebar dan menyeluruh di seluruh dunia. Autisme ini bahkan mungkin lebih menakutkan daripada agresi bom nuklir. Tidak dapat dibayangkan bagaimana satu generasi terasa hilang ketika mengetahui bahwa anak nan diharapkan itu mengidap autisme. Perjuangan panjang harus dilakukan. Tidak ada keluhan dan tak ada rengekan dalam perjuangan membuat anak autis ini dapat mandiri. Bila banyak mengeluh dan meratapi perjuangan, maka semua rengekan itu akan sia-sia sebab anak autis akan tetap menjadi autis selama belum ada obat nan dapat menyembuhkannya.

Yang harus dilakukan memang menerima dan berdamai dengan keadaan dan terus tersenyum demi melihat anak autis tersenyum juga. Tidak mudah membuat mereka dapat menatap mata orang nan diajaknya bicara. Ketika ia dapat melakukan itu, maka itulah saat-saat nan sangat membahagiakan. Anak autis dapat hayati normal dengan cara mereka. Global mereka memang berbeda. Mereka mempunyai global mereka sendiri nan tak ada orang lain nan tahu bagaimana bentuk global itu. Mereka dapat asyik berada di global itu tanpa mau mengajak orang lain buat dapat menikmati kebahagiaan bersama mereka.



Tak Perlu Kecil Hati

Bukan baru sekali terdengar warta tentang anak autis nan mampu menciptakan syair lagu, puisi, atau bermain musik dengan sangat indah, bahkan di atas kemampuan anak-anak lain nan tak menyandang autis. Ini sebab autis bukan berarti IQ jongkok. Anak autis pun ada nan jenius. Mereka diberi kelebihan nan orang lain tak memilikinya. Tak perlu kecil hati ketika menerima amanat anak autis. Walaupun mungkin mudah buat dikatakan dan sangat sulit buat merasakannya, tetaplah percaya, Tuhan sayang pada umatNya dan tak akan membiarkan umatNya sendirian. Apalagi terus bersandar pada afeksi Sang Maha Penyayang.

Meskipun tidak memandang status dan latar belakang, autisme lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan pada anak perempuan. Perbandingannya mencapai 4 : 1. Tidak diketahui apa penyebab autisme terhadap anak laki-laki. Terkadang banyak nan berpikir bahwa menjadi laki-laki itu hebat. Terlahir menjadi laki-laki itu benar-benar sesuatu nan luar biasa. Apalagi dapat memegang amanat menjadi laki-laki sejati nan mampu menghindarkan keluarganya dari apai neraka hingga akhir hayatnya.

Begitu banyak penyakit nan hanya laki-laki mengalaminya. Buta warna, wanita hanya menjadi pembawa. Penyakit darah, laki-lakilah nan mengalaminya. Sekarang autisme. Para pakar terus mencoba mencari penyebab autisme ini. Sebagian pakar mengaitkan autisme ini dengan faktor genetik. Konklusi ini diperoleh sebab adanya penelitian nan menemukan lebih dari tujuh gen dalam diri manusia nan berhubungan dengan autisme. Penelitian lain menyebutkan bahwa faktor nan menyebabkan autisme ialah sebab terjadinya gangguan pada sel otak janin.

Ada pula penelitian nan memperkirakan bahwa penyebab autisme ialah sebab logam berat seperti merkuri, arsen, dan aluminium. Namun ternyata tak semua anak nan terpapar logam berat ini mengalami autisme. Faktor genetik juga berperan di sini. Ada anak nan secara genetis mampu mendetoksifikasi (menawarkan racun) radikal bebas dan logam berat, namun ada pula nan secara genetis tak mampu melakukan hal tersebut.

Merkuri sendiri sebenarnya ada secara alami di alam bebas dan tak membahayakan jika berada dalam kadar tertentu. Namun merkuri ini sering masuk ke tubuh manusia, termasuk anak-anak, melalui rantai makanan (tidak masuk secara langsung). Misalnya melalui zat arsen nan digunakan sebagai “pembersih” air minum. Ketika zat ini masuk ke dalam tubuh, maka zat ini akan menjadi zat beracun. Mungkin peneliti harus membandingkan kejadian autisme di pedesaan dengan kehidupan nan masih sangat alami dengan kejadian autisme di perkotaan atau di wilayah nan kehidupannya telah begitu banyak tersentuh dengan bahan-bahan kimia.

Kalau ternyata angka kejadian di pedesaan nan jauh dari semua barang-barang nan bersentuhan dengan zat kimia, malah nol, maka dapat ditarik konklusi bahwa zat kimia dalam barang-barang nan dianggap membantu kehidupan orang kota itu ialah salah satu nan membuat berkembangnya autisme. Kalau hal ini telah pasti, itu artinya, penduduk perkotaan tak perlu menggunakan bahan-bahan itu lagi dalam kehidupannya selanjutnya. Bila perlu para produsen perlengkapan dan peralatan rumah tangga itu tak boleh lagi memakai zat kimia nan berbahaya.

Autisme terkait dengan nasib bangsa ke depannya. Alangkah menyedihkannya bila anak bangsa ini harus terhambat kemajuannya hanya sebab ia tak mampu secara fisik maupun secara mental. Bukannya menganggap bahwa anak autis tak berguna, namun, kalau autisme ini dapat dihilangkan dengan cara dicegah, hal itu tentu lebih baik. Perjuangan buat membuat anak autis dapat memberikan sumbangsih eksklusif pada kehidupannya sangat luar biasa. Kalau tak mempunyai jiwa nan kuat, maka tak akan sanggup mendidik dan mengasuh anak autis. Kesabaran, ketelatenan, kreativitas, tenaga nan kuat benar-benar dibutuhkan.

Autisme di Indonesia

Jumlah anak penyandang autisme di Indonesia ternyata mengalami peningkatan sebab semakin banyaknya faktor pemicu autisme seperti faktor lingkungan dan pola hidup. Pada sebagian orangtua, autisme pada anak mereka bisa dideteksi sejak dini sehingga langkah-langkah pengobatannya pun bisa dilakukan sesegera mungkin. Perkembangan ini sangat mengagetkan dan membuat miris. Seakan-akan semakin banyak orang mengetahui tentang autisme, semakin banyak pula kasus autisme.

Namun tak semua orangtua menyadari bahwa anaknya menyandang autisme. Parahnya lagi, ketidaktahuan orang tua ini semakin dikaburkan oleh pandangan masyarakat nan buta tentang autisme. Tak sporadis masyarakat mengecap anak autis sebagai anak idiot atau bahkan kurang waras. Pandangan seperti ini semakin memojokan anak-anak autis dan keluarganya. Bahkan sering kali kata ‘autis’ dijadikan mainan dan gurauan. Tidak seharusnya orang lain tertawa di atas penderitaan orang lain.

Tidak ada seorang pun nan mau menjadi autis atau mempunyai anak autis atau mempunyai keluarga nan mengidap autis. Kolaborasi semua pihak dalam mendidik anak-anak baik nan menderita autis maupun anak-anak normal, sangat dibutuhkan. Pada suatu ketika orangtua dengan anak-anak autis ini membutuhkan donasi anak normal agar dapat mengukur sampai di mana kemajuan nan telah diraih oleh anak autis. Sedangkan anak nan normal membutuhkan anak autis sebagai cermin dan pemberi semangat hayati serta semangat berjuang pantang menyerah pada keadaan.

Media massa bahkan pernah menemukan kasus seorang anak autis nan kebetulan berasal dari kalangan ekonomi lemah dan kurang berpendidikan nan dipasung oleh orangtuanya sendiri. Lagi-lagi sebab ketidaktahuan orangtua. Orangtua menganggap anak nan mengamuk itu ialah anak kurang waras. Kasihan sekali anak-anak nan tak tahu apa-apa ini harus mengalami neraka global oleh orangtuanya sendiri. Memang tak dapat menyalahkan orangtua nan tak tahu apa-apa. Kalau informasi tentang autisme ini memang belum mereka ketahui, itu artinya lingkungan harus bekerja sama lebih baik lagi.

Di Amerika Serikat, 1 dari 500 anak memiliki kemungkinan menyandang autisme. 20% anak tak menunjukkan gejala autisme hingga usia 2 tahun. Gejala ini sendiri sebenarnya bisa dideteksi ketika anak berusia antara 18 bulan hingga 3 tahun dengan menggunakan CHAT (Checklist for Autism in Toddlers). Jika menemukan tanda-tanda autisme seperti ketidakmampuan berkomunikasi dengan orang tua, tak memiliki empati, dan tak memiliki aktualisasi diri emosional, maka anak harus segera ditangani oleh dokter pakar atau psikolog.