Kekhasan Karya Sastra
Banyak argumen-argumen bertebaran nan memperdebatkan mengenai sebuah karya sastra . Biasanya argumentasi nan muncul terdengar sangat seru. Banyak argumen nan terlontar keluar dari pendebat nan memang telah pakar dalam mengapresiasi karya sastra.
Tidak bisa dipungkiri atau bahkan dibantah. Karena sudut pandang seseorang dalam mengapresiasi sebuah karya sastra tentu berbeda. Apalagi keahlian seseorang dalam mengapresiasi sebuah karya, ialah ilmu nan tak dapat ditimba, kecuali digali sendiri secara berkala.
Pengertian Karya Sastra
Apa sebenarnya pengertian dari sebuah karya sastra, hingga begitu sangat asyik buat diperdebatkan, dibincangkan dan juga sekaligus dinikmati.Karya sastra bisa didefinisikan sebagai sebuah media atau wahana buat penyampaian suatu citra kehidupan sebagai suatu fakta sosial. Tidak terlalu jauh dari apa nan diungkapkan oleh Sapardi Joko Damono, sebenarnya. Beliau sebagai seorang ahli sastra, tentu memiliki alasan spesifik dalam mengungkapkan definisi sastra.
Sedangkan berdasarkan etimologi bahasa, atau sejarah kata. Maka karya sastra bisa disebutkan sebagai suatu karangan nan baik nan dituliskan dalam bahasa nan indah. Inti dari karya sastra ialah : latif dan baik. Maksudnya ialah latif dalam penyajian dan baik dalam kandungan maknanya.
Sastra dan hasil-hasil karyanya, di dalam perkembangannya tak terlepas daripada fungsi karya sastra itu sendiri. Yakni bagaimana karya sastra itu bertujuan. Biasanya penikmat sastra tak terlalu peduli terhadap fungsi dari karya sastra, sejauh rasa estetika nan ingin dinikmati dari sebuah karya sastra nan diminatinya telah terpenuhi.
Adapun fungsi karya sastra nan biasa dikenal generik adalah, fungsi estetis, fungsi religius, fungsi moralitas, fungsi didaktif serta fungsi rekreatif. Dan pada masing-masing fungsi dari karya sastra tersebut, memunculkan pengkotakan-pengkotakan dari para penikmat dan pelaku sastra. Karena tak selalu pelaku sastra ialah penikmat semua karya sastra. Maka fungsi karya sastra itulah nan menjadi tolok ukur bagi pelaku sastra buat menikmati sebuah karya sastra tertentu.
Dan sebaliknya pula. Tidak semua penikmat sastra ialah para pelaku sastra. Justru pada umumnya penikmat sastra justru datang dari kalangan nan sangat buta terhadapa sastra. Sastra baginya ialah hanya merupakan sebuah manifestasi perasaan nan terkandung di dalam hatinya saja.
Karya Sastra Berkualitas VS Karya Sastra Kurang Bermutu
Karya sastra berkualitas tentunya merujuk pada sebuah karya sastra nan memiliki ragam persepsi apreasi dari pembaca. Tidak henti-henti orang mengapresiasi karya tersebut, pun dengan sudut pandang nan berbeda-beda. Hampir dapat dikatakan kalau karya sastra bermutu akan menduduki posisi krusial dalam global sastra. Artinya, karya tersebut bertahan dari masa ke masa dan tak bosan para apresiator memperbincangkannya.
Sebagai contoh sebuah karya sastra nan dianggap karya bermutu, ialah Romeo dan Juliet karya Shakespeare. Ataupun Sayap-sayap Patah karya penyair legendaris Libanon, Kahlil Gibran. Kedua karya tersebut sangat melegenda dan awet sepanjang masa. Dan dianggap sebagai sebuah karya sastra bermutu nan juga sukses mengangkat sebuah sisi kehidupan nan nyata.
Kesenjangan sosial nan sangat kentara. Serta kesetaraan cinta nan selalu diagung-agungkan setiap insan. Ketiga hal tersebut nan menjadikan kedua karya sastra tersebut sebagai karya sastra nan dianggap bermutu dan berkualitas.
Berbeda lagi jika karya sastra kurang bermutu. Karya nan hampir sekilas saja orang dapat menikmati. Hanya sedikit saja apresiator membincangkan, pun dalam waktu nan pendek. Dalam jangka waktu tersebut, akan muncul kebosanan nan luar biasa. Tentu, para penikmat sastra dan apresiator akan beralih kepada karya sastra lain tanpa memperbincangkan lebih lanjut karya sastra kurang bermutu tersebut.
Atau di sisi lain. Ada juga karya sastra kurang bermutu nan tak menimbulkan kebosanan di saat seseorang menikmatinya. Namun, setelah usai membaca tak ada niat dari si penikmat sastra buat membuka dan membacanya lagi. Jadi hanya bersifat periodik saja. Biasanya, karya-karya sastra seperti ini ialah karya sastra nan bersifat once period, atau sementara waktu saja. Dan umumnya dibuat sebab berdasarkan pesanan dari trend nan sedang ada, atau nan sedang in.
Semisal, ketika masalah percintaan incest (atau sedarah) sedang ramai dibicarakan, maka berbondong-bondong orang menciptakan karya sastra nan bertema demikian. Selanjutnya bermunculan karya-karya sastra nan bertema seragam. Meski penulisnya berkualiatas, dan karyanya pun berkualitas, namun hasil karyanya tak long life . Maka tetap saja, kelompok karya sastra nan seperti ini dinamakan karya sastra nan kurang bermutu.
Sebut saja, sebuah lirik lagu sebagai contoh. Akan diketahui jika beberapa lirik lagu nan berkualitas tak akan kehilangan penggemar. Lirik lagu nan pekat mengandung unsur-unsur kesastraan akan banyak mengundang persepsi dan akan sinkron dengan beberapa zaman.
Ini disebabkan adanya multi tafsir kepada karya sastra nan berupa lirik lagu tersebut. Berbeda lagi jika kita sebut lirik lagu nan sekali, duakali dengar akan membosankan. Memang, dalam waktu beberapa saat, lirik lagu tersebut dapat dijadikan sebuah perbicangan nan hangat. Namun, tak akan bertahan lama.
Kekhasan Karya Sastra
Kekhasan sebuah karya sastra mungkin akan menjadi sebuah syarat krusial dalam sebuah karya sastra. Hal ini bertujuan buat menjaga agar karya sastra tak berbentuk tiruan atau plagiat. Perlu juga menghidari bentuk-bentuk nan klise, monoton, dan penghindaran terhadap multi tafsir.
Adanya pengekoran sebuah karya sastra akan menjadikan sebuah karya sastra tak majemuk dan tak memiliki kekhasan sendiri. Ini malah akan membahayakan sebab tak dapat dibedakan karya nan orisinil atau karya tiruan. Itulah kadang sebuah media masa, sangat royal memberi penghargaan nan tinggi terhadap sebuah karya 1st original . Apalagi apabila itu ialah sebuah karya sastra nan 1st original . Karena kekhasan sebuah karya sastra masih sangat kental dan pekat di sana.
Namun kadang-kadang para penikmat sastra sering terjebak antara kekhasan sebuah karya sastra dan karya populer. Karena belum tentu sebuah karya nan sangat banyak peminatnya dan digandrungi sepanjang masa, ialah juga itu berarti sebuah karya sastra. Contohnya ialah petualangan Tom Sawyer. Apakah ini bisa dikategorikan sebuah karya sastra, meski memiliki sebuah kekhasan?
Untuk itu para akademisi sastra nan lebih banyak mengapresiasi sastra, dalam hal penilaian; mereka akan memberi syarat kepada karya sastra berkualitas atau tidak. Misalnya, dalam penggunaan bahasa. Karya sastra, meski menggunakan bahasa sehari-hari, ungkapan nan ada merupakan sebuah ungkapan nan baru.
Keindahan bunyi salah satunya dapat masuk dalam kriteria ini. Selain itu, kepekatan sebuah bahasa seolah menjadi sebuah kepentingan nan mendasar. Ini disebabkan sine qua non pembeda antara karya sastra dan koran bertema biasa dan sehari-hari.
Sesuatu nan baru nan harusnya diangkat dalam tema penciptaan karya sastra. Tentu, tema-tema nan sudah tergarap jika ditulis lagi akan menimbulkan sebuah kebosanan. Meski tak dapat dipungkiri jika sebuah karya sastra itu mimetik , berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat atau sebaliknya. Kehidupan sosial nan diangkat menjadi sebuah karya sastra atau karya sastra nan membentuk sebuah kehidupan dalam masyarakat.
Karya Sastra Menyesuaikan Diri dengan Zaman
Karya sastra nan dapat menyesuaikan diri dengan zaman tentu tak banyak. Ini akan dibuktikan dari perbincangan sejarah sastra bahwa karya nan ada itu sudah diakui dari dulu. Bahkan, sampai sekarang masih diakui dan dijunjung tinggi serta masih membutuhkan banyak apresiasi. Semakin digali, nilai nan ada di dalamnya akan semakin banyak nilai-nilai nan dapat ditemukan.
Artinya pada saat karya sastra itu muncul pada masanya, mungkin belum tentu semua nilai-nilai keagungan karya sastra tersebut akan langsung implisit jelas. Namun estetika dan kebenarannya akan muncul satu persatu, sinkron dengan jaman dan masa nan dilaluinya. Meski tetap dalam bahasa nan sinkron dengan penuturan awalnya.
Al-Qur'an sering disebut pula sebagai sebuah karya sastra terbaik sepanjang abad. Meski pada awal munculnya Al-Qur'an banyak sekali nan tak bisa atau belum ada penafsirannya. Namun, ketika sudah melewati sebuah periode dan masa, maka arti dan makna nan implisit di dalamnya mulai terkuak.
Mungkin seperti itulah makna sebenarnya sebuah karya sastra nan abadi sepanjang masa.