Menurut Kajian Fikih dan Tauhid

Menurut Kajian Fikih dan Tauhid

Peringatan tahun baru Islam dan mitos suro merupakan salah satu momen nan banyak dirayakan oleh umat Islam di seluruh dunia. Di Indonesia, momen ini banyak disandingkan dengan budaya tradisional nan menganut perhitungan produk masyarakat Jawa, yakni bulan Suro. Bulan nan dipahami oleh sebagian orang sebagai bulan penuh sial, sehingga banyak orang nan menghindari mengadakan kegiatan di bulan tersebut.

Pada dasarnya, hal tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Karena peringatan tahun baru Islam nan di dalam bahasa Arab berarti bulan Muharram justru memiliki makna sebaliknya. Bulan Muharram, memiliki arti kegembiraan. Di mana hal tersebut diartikan bahwa pada dasarnya bulan Muharram atau Suro ialah sebuah bulan nan mendatangkan kegembiraan bagi seluruh umat Islam.

Oleh sebab ialah sebuah hal nan salah dan menyesatkan apabila masih ada orang nan beranggapan bahwa peringatan tahun baru Islam atau Suro tersebut ialah bulan nan penuh kesialan. Atau ada pula nan mengaggap bahwa malam 1 Suro ialah sebuah malam nan penuh dengan perbedaan makna mistis. Bagi masyarakat Jawa kondisi ini disikapi dengan berbagai ritual nan dasar pelaksanaannya hanya pada “katanya” atau “turunan leluhur” tanpa pernah dapat menunjukkan dasar secara otentik.



Latar Belakang Mitos Suro

Salah satu mitos menyesatkan nan menyertai pemikiran manusia, ketika datang seremoni tahun baru Islam ialah bahwa bulan Muharram atau Suro tersebut, pantang bagi seseorang mengadakan hajatan. Baik itu hajatan pernikahan, atau juga hajatan lain nan bersifat hura-hura.

Akibatnya, banyak orang nan takut buat mengadakan kegiatan pada bulan tersebut. Ketakutan tersebut sebenarnya tak memiliki landasan, khususnya jika seseorang mengaku memiliki pemahaman agama nan benar. Sebab, dalam agama dijelaskan bahwa semua hari ialah baik dan tak ada waktu atau tanggal nan dapat membawa kesialan pada manusia.

Jika muncul mitos menyesatkan tentang bulan Suro, hal ini berlatar belakang pada sejarah bangsa Indonesia. Di mana pada jaman kerajaan berjaya, pada bulan Suro inilah keraton di Jawa, khususnya wilayah Surakarta dan Yogyakarta mengadakan hajatan buat membersihkan pusaka keraton.

Pada jaman dahulu, kegiatan semacam ini menjadi sebuah tradisi nan menyenangkan bagi rakyat nan masih haus akan hiburan. Sehingga dengan kekuatan kharisma keraton, dibuatlah cacat tentang angkernya bulan Suro.

Karena jika di bulan Suro rakyat mengadakan hajatan, dapat berdampak pada sepinya ritual nan diadakan keraton. Hal ini tentu mengurangi legitimasi dan wibawa keraton, nan pada jaman dahulu merupakan sumber segala hukum. Dan mitos tentang keangkeran bulan Suro ini demikian kuat dihembuskan, agar rakyat percaya dan tak mengadakan kegiatan nan dapat menganggu acara keraton.

Sayangnya, hingga kini mitos tersebut masih demikian kuat dipegang oleh sebagian orang. Akibatnya, ada sekelompok orang nan pada bulan Suro tak berani mengadakan sebuah aktivitas sebab dianggap dapat membawa sial. Padahal pandangan seperti itu, merupakan sebuah keyakinan tanpa dasar dan hanya dilandasi pada “katanya” serta “perintah leluhur”.



Tradisi Suro di Ceribon

Bagi orang Cirebon, bulan Safar diklaim sebagai bulan sial. Bulan kedua setelah Suro dalam hitungan kalender Jawa ini diyakini oleh sebagian masyarakat Cirebon sebagai bulan nikahnya para hewan, terutama anjing. Makanya orang Cirebon pantang melangsungkan pernikahan di bulan Safar.

Orang Cirebon menyeut bulan Safar sebafau “ wulan sing akeh blaie ” (bulan nan banyak bencananya), terutama pada hari Rabu akhir bulan tersebut, nan disebut sebagai “ Rebo Wekasan ”. Untuk menghindari bencana, di samping pantang berpergian jauh, pada bulan ini di kalangan masyakarat Cirebon diadakan 3 macam kegiatan nan dikenal dengan Ngapem, Ngirab dan Tawurji.

Ngapem berasal dari kata apem, yaitu kue nan terbuat dari tepung beras nan diberi ragi, nan umumnya dimakan dengan cara mentutulkannya terlebih dahulu ke dalam air gula bersantan nan disebut dengan kinca.

Ngapem merupakan ungkapan rasa syukur sebab terhindar dari bencana bencara selama bulan safar. Ini dilakukan saat melakukan Seremoni Tahun Baru Islam. Pesan simbolik nan bisa dipetika dari ritual ini ialah bahwa kue apem melambangkan manusia dan kinca melambangkan darah. Jika ketika kue apem dicelupkan ke dalam kinca, hakikatnya buat mengingatkan kita bahwa kira harus mawas diri sebab dapat saja kita terkena musibah, nan dalam hal ini kecemplung di dalam kubangan kinca (darah).

Sedang Ngirab, konon, ritual ini meniru Norma Sunan Kalijaga nan mandi di sungai Drajat ketika berguru kepada Sunan Gunung Jati. Konon, ia melakukan tersebut buat menghindari tulah Rebo Wekasan . Hingga kini Norma tersebut diikuti oleh masyarakat Cirebon. Karena itu, pada hari Rebo Wekasan, masyarakat Cirebon biasanya mengunjungi petilasan Sunan Kalijaga.

Dengan menggunakan perahu, mereka menuju Kalijaga dan melakukan mandi di loka nan diyakini dulu Sunan Kalijaga mandi. Adat ini disebut dengan nama Ngirab , nan artunya bergerak atau menggerakkan sesuatu buat membuang nan kotor.

Adapun Tawuji, tradisi minta sedekeah nan dilakukan anak-anak dengan berkeliling dari satu rumah ke rumah nan lain berselendangkan sarung dan berpeci, sambil bersenandung, “Wur tawur ji, tawur… Selamet dawa umur“ nan dilantunkan secara berulang-ualng.

Ketika didatangi rumahnya, biasanya di sepemiliknya akan menanyakan mereka. “Sing endi, Cung?” (dari mana, Nak?). Mereka akan menjawab dari pesantren atau dari daerah mana mereka tinggal. Biasanya berkelompok minimal dua atau tiga orang dan kadang berlima.

Dari sejarah lisan nan berkembang di kalangan masyarakat Cirebon, konon, anak-anak Tawurji merupakan anak-anak asuk Syekh SitiJenar nan berjumlah 40 orang. Karena sang guru mati dampak divonis sesat dihukum wafat Sunan Suci dengan menggunakan Keris Kantanan milik Sunan Gunung Jati, maka pengikutnya pun tercerai-berai dan tidak terurus. Atas usul Sunan Kali Jaga dan atas persetujuan Sunan Gunung Jati, anak-anak ini diperbolehkan meminta-minta pada penduduk sebab tak ada nan mereka lagi sepeninggal guru mereka.

Maka, ke 40 anak yatim tersebut setiap hari Selasa pada bulan Safar berkeliling ke rumah sambil mendendangkan doa, “Wur tawur ji, tawur.. Selamet dawe umur.



Menurut Kajian Fikih dan Tauhid

Bila dikaji dalam disiplin ilmu fikih, apapun nan dilakukan selama tak melanggar syariat maka tak diklaim sebagai hal nan haram. Pasalnya, tak ada satu pun dari aktivitas nan dilakukan mengandung keharaman. Makanan nan diberikan ialah makanan nan halal dan boleh dimakan.

Sedangkan bila dikaji dalam pandangan tauhid, juga tak termasuk hal nan merusak akidah. Karena apapun nan dilakukan ialah semata-mata memohon kepada Allah Swt. agar tak didatangkan musibah. Jelas saja hal ini boleh dilakukan. Apalagi, Rasulullah Saw. bersabda, “Sedekah bisa menahan 70 bentuk bencana, nan paling kecil ialah penyakit kusta dan belang nan sangat ditakuti oleh kebanyakan manusia.”

Keutamaan amalan sunnah dalam bulan Muharram, seperti bantak sedekah, memang tak ditemukan di dalam hadis. Tapi, Imam Baihaqi dan Ibnu Hibban mengatakan bahwa tak ada salahnya sedekah, sebab itu memang baik buat dilakukan.

Masih ada juga amalan lain nan dapat dilakukan dalam penyambutan Tahun Baru Islam tersebut, misalnya dangan berpuasa Asyura dan puasa Tasu’a. Karena Rasulullah Saw. menjelaskan di dalam hadis tentang puasa Asyura, “Puasa Asyura itu menjadi penebus dosa setahun nan lalu.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Sedangkan dalil puasa Tasu’a (9 Muharram) atau 11 Muharram adalah, berdasarkan sabda Rasulullah Saw. “Puasalah hari Asyura dan jangan sama dengan model orang Yahudi. Puasalah sehari sebelumnya dan setelahnya.” (HR. Ahmad)

Inilah kajian sederhana tentang peringatanTahun Baru Islam nan kerap dikaitan dengan suro dan segala hal nan berhubungan dengannya. Semoga dengan mengamalkan hal-hal nan baik di bulan Muharram dapat menjembatani kita menjadi hamba nan dicintai Allah. Karena bulan Muharram disebut juga dengan Syarullah (bulan Allah).