Masa Penjajahan Jepang
Menurut Peta Kota Medan terbitan terbaru, ibukota dari provinsi Sumatera Utara ini punya huma nan luasnya mencapai hingga 256,10 kilometer persegi. Luas huma nan sedemikian besar tersebut merupakan 3,6% dari luas Provinsi Sumatera Utara secara keseluruhan. Jadi dibandingkan dengan daerah nan lain, Medan termasuk punya ukuran nan kecil.
Meski menurut buku atlas peta Kota Medan ini merupakan wilayah nan tak besar atau luas, namun jumlah warga nan tinggal di daerah ini cukup padat. Jadi bukan hal nan aneh lagi jika hasil suatu penelitian nan dilakukan belum lama ini menyatakan jika Medan ialah kota nan jumlah penduduknya paling padat di Indonesia nan berada di luar Pulau Jawa.
Selain itu, kota nan namanya juga diabadikan pada sebuah lagu nan berjudul “Ini Medan Bung” tersebut punya cerita sejarah nan sangat panjang dan menarik buat disimak dan diikuti.
Medan Tanah Deli
Sebelum mendapat nama Medan, peta Kota Medan ini lebih dikenal dengan sebutan Tanah Deli. Pada zaman dulu, Tanah Deli ini hanya berupa rawa-rawa nan luasnya ada sekitar empat ribu hektar. Hampir semua sungai nan melewati daerah ini selalu bermuara di Selat Malaka. Sungai-sungai tersebut antara lain yaitu Sei Deli, Sei Sikambing, Sei Babura, Sei Putih, Sei Denai. Sei Belawan, Sei Badra serta Sei Sulang Saling dan Sei Kera.
Orang pertama nan mau tinggal disini ialah seseorang nan bernama Guru Patimpus. Lokasi nan dijadikan sebagai loka tinggalnya kemudian dinamakan dengan Tanah Deli nan artinya ialah arena atau medan. Selanjutnya pada zaman penjajahan Belanda, orang lebih suka menyebut daerah ini dengan nama Medan Deli. Dan setelah Indonesia masuk ke masa kemerdekaan, nama Deli mulai ditinggalkan dan hanya menyebut kota ini dengan sebutan Medan. Maka sejak saat itu kota ini hanya menggunakan kata itu saja.
Tidak beberapa lama setelah Guru Patimpus tinggal di loka ini, istrinya melahirkan anak nan berjenis kelamin laki-laki dan dinamakan si Kolok. Pada saat itulah orang lain mulai berdatangan dan ikut tinggal di loka ini.
Kemudian dalam waktu nan tak begitu lama, istri Guru Patimpus melahirkan anak laki-laki lagi dan dinamakan dengan si Kecik. Meski pola hidupnya sederhana, namun Guru Patimpus termasuk orang nan cerdas dan selalu punya jalan pikiran nan lebih maju dibanding anggota masyarakat nan lain. Salah satu buktinya adalah, dia mengirim anaknya pada seorang guru atau ulama buat belajar dan membaca serta mendalami ilmu nan terkandung dalam kita kudus Al-Qur’an.
Guru atau ulama tersebut bernama Datuk Kota Bangun. Dan setelah lulus, anaknya tersebut disuruh buat belajar lagi tentang ilmu agama di Aceh.
Pada 1612 atau sekitar 20 tahun setelah Guru Patimpus dan warga lain tinggal di loka ini, Sultan Iskandar Muda nan menjadi penguasa di tanah Aceh menyuruh seorang panglimanya, Gocah Pahlawan dan punya sebutan gelar sebagai Laksamana Kuda Bintan buat menjadi pemimpin di Tanah Deli dan menjadi wakil dari Kerajaan Aceh. Maka jika digambarkan, peta kota Medan saat itu menjadi bagian dari kerajaan Aceh.
Selanjutnya Gocah Pahlawan membuka pemukiman baru di Sungai Lalang nan berada di daerah Percut. Dalam waktu nan singkat, Gocah sukses memperluas daerah nan menjadi kekuasaannya hingga mencapai Kecamatan Percut Sei Tuan. Di situ dia mendirikan beberapa kampung nan dinamakan dengan Gunung Klarus, Kota Jawa, Kota Bangun, Sampali, Pulau Brayan, Sigara-gara dan Kota Rengas Percut. Kota Medan semakin ramai.
Setelah beberapa tahun menjadi penguasa, Gocah Pahlawan meninggal pada 1653. Kedudukannya kemudian digantikan oleh anaknya sendiri nan punya nama Tuangku Panglima Perunggit. Enam belas tahun berikutnya atau pada 1669, Tuangku Panglima Perunggit menyatakan melepaskan diri dari kekuasaan Kesultanan Aceh dan menyatakan sebagai kerajaan nan berdaulat sendiri. Ketika itu dia memutuskan buat membangun ibukota di Labuhan, sekitar 20 kilometer dari Kota Medan saat ini.
Masa Penjajahan Belanda
Meski mampu menguasai kepulauan nusantara dalam waktu lama, pemerintah kolonial Belanda membutuhkan waktu nan lebih lama lagi buat menguasai wilayah Medan. Bahkan tantangan nan harus dihadapi tak hanya satu atau dua macam, melainkan ada bermacam-macam.
Karena pada 1825 hingga 1830, Belanda harus menghadapi perang di Jawa nan dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro. Sementara pada waktu nan bersamaan di wilayah Sumatera, Belanda juga harus menghadapi pejuang-pejuang lain nan gigih melawan pemerintahan kolonial di daerah Minangkabau, Aceh,dan Sisingamangaraja di wilayah Tapanuli. Jadi, memang bukan hal nan mengherankan jika Belanda butuh waktu sekitar 78 tahun buat menjadi penguasa di Tanah Deli.
Gubenur Jenderal Belanda pada waktu itu, J.Van Den Bosch mencoba buat mengirim pasukan perang ke Sumatera. Dia punya perkiraan, buat menguasai tanah ini perlu waktu sekitar 25 tahun. Namun ketika perang penaklukan mulai dilakukan, seorang menteri Belanda nan bernama J.C Baud memerintahkan pasukan tersebut mundur dari daerah Sumatera, meski sudah sukses memenangkan suatu pertempuran nan dinamakan dengan Perang Paderi.
Selanjutnya pada 1858, terbuka lagi kesempatan bagi Belanda buat menguasai Sumatera. Karena pada saat itu raja nan bertahta di Riau harus menghadapi tentara Inggris nan tiba-tiba melakukan penyerangan. Raja nan bernama Sultan Ismail itu lalu minta pertolongan pada Belanda.
Pemerintah kolonial memanfaatkan peluang ini dengan cara meminta pada Sultan Ismail buat melakukan perjanjian agar semua daerah nan berada di bawah Kerajaan Siak termasuk Tanah Deli menjadi daerah kekuasaan Belanda. Jadi secara otomatis saat itu peta Kota Medan juga masuk dalam sistem pemerintahan kolonial.
Namun meski akta perjanjian tersebut telah disepakati oleh kedua belah pihak, namun tak serta merta pasukan Belanda dapat menguasai daerah ini secara fisik. Karena pada saat nan sama masih banyak terjadi perlawan dari beberapa pihak nan tak mau berada di bawah kekuasaan pemerintah penjajah.
Masa Penjajahan Jepang
Setelah masa penjajahan oleh pemerintah Belanda berakhir, Jepang datang ke Pulau Sumatera dan mendarat di beberapa daerah, antara lain di Tanjung Tiran. Dari loka inilah kemudian tentara pasukan tentara Jepang memasuki Kota Medan dengan menggunakan sepeda kayuh.
Selanjutnya Kota Medan juga ikut masuk dalam kekuasaan Jepang.
Dengan beralihnya kekuasaan Belanda nan digantikan oleh Jepang, kondisi Kota Medan mengalami perubahan nan sangat dratis, terutama pada sistem pemerintahan. Pemerintah sipil nan sebelumnya dinamakan “Gemeente Besturr” diubah menjadi “Medan Sico” atau pemerintahan kotapraja. Yang menjadi pemimpin kotanya diberi nama sebutan “Hoyasakhi.”
Meski sebelumnya sering menebar janji nan manis, pemerintahan Jepang ini ternyata punya kelakuan nan lebih kejam dari pemerintah Belanda. Akibatnya kehidupan rakyat makin sengsara. Namun hal ini justru mendorong semangat mereka buat melakukan perjuangan sendiri demi mencapai kemerdekaan nan sejati.
Masa Kemerdekaan
Ketika tentara Jepang mulai sadar bahwa mereka akan mengalami kekalahan dalam menghadapi tentara sekutu, pasukan ini mulai membatasi berbagai macam kegiatan nan sebelumnya sering dilakukan. Kegiatan pemuda seperti Gyu Gun, Romusha dan Heiho serta Talapeta dibubarkan dan anggotanya dikembalikan pada masyarakat.
Puncaknya pada 20 Agustus tahun 1945, pimpinan pemerintahan Jepang nan berada di wilayah Sumatera Timur nan mendapat sebutan Tetsuzo Nakashima menyampaikan pengumuman nan mengejutkan, yaitu Jepang menyatakan kalah dan menyerah.
Pernyataan tersebut membuat masyarakat bingung. Hal ini dikarenakan warta tentang adanya peristiwa pembacaan proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945 belum sampai ke daerah ini. Namun pada akhirnya setelah rakyat tahu jika bangsa Indonesia telah merdeka dan menyatakan diri sebagai negara nan berdaulat, mereka beserta bekas anggota organisasi kepemudaan nan dibentuk Jepang mulai melakukan aksi.
Apalagi ketika menyadari meski telah menyatakan kemerdekaannya, ternyata Belanda masih punya keinginan buat menguasai negeri ini kembali. Maka kejadian selanjutnya adalah, terjadi beberapa peristiwa pertempuran lagi antara warga Medan melawan pasukan tentara Belanda.
Jadi dapat diambil simpulan, jika Kota Medan juga punya andil nan cukup besar bagi Indonesia terutama ketika bangsa ini harus melakukan perlawanan terhadap Belanda dalam waktu nan tak sebentar.
Selanjutnya setelah sukses mengusir pasukan Belanda, oleh pemerintah pusat nan berada di Jakarta, Kota Medan dijadikan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara. Maka dalam buku atlas terbaru, peta Kota Medan ini punya tanda spesifik nan menunjukan jika kota ini merupakan daerah ibukota provinsi.