Teori Politik Tan Malaka – Menghilangnya Seorang Tan Malaka

Teori Politik Tan Malaka – Menghilangnya Seorang Tan Malaka

Berbagai macam teori politik modern berkembang saat ini. Teori politik pada umumnya tak dapat dipastikan menjadi satu kesatuan nan tetap. Seorang individu atau kelompok depat menetukan teori politiknya sendiri, sinkron dengan kondisi sosial nan sedang berkembang tentunya.

Perihal mengenai politik niscaya menjadi perbincangan nan menarik dari sebuah negara. Politik selalu erat dengan pemikiran seseorang nan pada akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan sosial di sekitarnya. Teori politik pun menjadi semacam pembenaran ketika melakukan sesuatu nan dianggapnya benar.

Teori politik sendiri sebenarnya memiliki dua makna. Bergantung dari mana orang tersebut memandang politik itu sendiri. Pengertian teori politik nan pertama ialah teori politik sebagai hasil pemikiran bersifat spekulatif mengenai pengaturan masyarakat dan aturan-aturan di sekitar masyarakat nan ideal.

Berbeda dengan pengertian teori politik nan kedua. Teori politik nan kedua cenderung lebih bersifat ilmiah. Teori politik dipandang sebagai suatu kajian nan sistematis, terarah dan terkendali nan berkenaan dengan segala kegiatan bermasyarakat.

Kedua pengertian dari teori politik in kemudian secara tak langsung menimbulkan dua pandangan nan berbeda. Para pemikir pun sibuk mengelompokkan pendapat mereka tentang apa itu politik. Termasuk para pemikir Indonesia nan mengabdikan hidupnya buat hal nan cukup rumit ini.

Mengapa rumit? Rasanya semua orang akan setuju jika politik merupakan hal nan cukup rumit. Dari dua persepsi nan berbeda tentang teori politik saja dapat bisa dipastikan bahwa politik akan menimbulkan polemik khasnya. Disparitas pendapat bahkan sudah mendasari dan melatarbelakangi terciptakan politik di masyarakar.

Pergolakan nan mengatasnamakan politik tak pernah habis dibahas. Selalu akan ada permasalahan baru nan erat kaitannya dengan hal nan satu itu. Teori politik nan dikeluarkan oleh para orang pintar itu kemudian menjadi semacam tameng. Tameng buat melindungi dirinya, pemikirannya, dan orang-orang nan berada di pihaknya. Istilah seperti persekongkolan merupakan salah satu penggambaran jelas tentang ini semua.

Bagaimanapun keadaannya, teori politik akan tetap menjadi sebuah teori, nan tak akan lengkap tanpa praktik. Praktiknya ialah benar-benar menjalankan apa nan ideal buat masyarakat. Jika tidak, spekulasi tentang teori politik ini akan terus berlanjut hingga entah kapan.

Salah satu teori politik pada zamannya nan saat itu menjadi pembicaraan ialah Tan Malaka. Indonesia memiliki sesosok pemikir nan kritis dalam memandang kehidupan politik di Indoensia. Teori politiknya nan liar, sempat dianggap sebagai "penganggu".



Teori Politik Tan Malaka – Perjalanan Politik Tan Malaka

Sosok dibalik teori politik “khusus” ini ialah Tan Malaka. Tan Malaka merupakan pria kelahiran Desa Nagari Pandam Gada, Sumatera Barat 19 Februari 1896. Perjalanan politiknya dimulai pada 1921. Genre teori politiknya ialah sosialis. Tapi sosialis nan berbeda dengan nan lainnya. Hal ini terlihat saat ia pernah berselisih dengan partai komunis Indonesia nan juga beraliran sosialis.

Teori politik nan dianutnya ditunjukkan dengan mendirikan sebuah partai bernama Partai Muba. Semua itu terjadi begitu saja, dan ketika ia melihat sebuah perlakukan sosial nan tak adil pada masyarakat saat menjadi guru di daerah

Kiprah politiknya dimulai ialah saat ia berjumpa Semaun, salah satu tokoh politik. Mereka merencanakan gerakan nan ingin menjungkalkan pemerintah Hindia Belanda nan saat itu sewenang-wenang dan berkuasa. Bukti konkret nan tersaji saat itu ialah perlakuan tak adil antara tuan tanah dan para pekerjanya. Teori politik nan dianut oleh Tan Malaka ini tentu saja ditentang oleh pihak Belanda.

Bersama Semaun, Tan Malaka nan punya pengalaman sebagai seorang pendidik, berniat buat mendidik kaum muda nan tergabung dalam perkumpulan Islam pada saat itu. Tan Malaka berpikiran bahwa melalui ilmu-ilmu belajar, teori politik nan dia percayai dapat ikut diamini oleh kaum muda.

Ilmu-ilmu nan akan dibagi pada saat itu ialah tentang aliran, dan ajaran politik komunis, kegiatan jurnalistik, tapi hal tersebut mendapat tentangan dari pemerintah Hinda Belanda nan saat itu berkuasa. Tapi Tan Malaka tak menyerah saat itu. Ia tetap kukuh dengan apa nan akan dilakukannya. Ia tetap memegang teguh teori politik nan dianggapnya ideal tersebut.

Selain mengajar, buat memberikan citra teori politik, Tan Malaka tetap melakukan gerakan-gerakan sosial nan berlandaskan adanya ketidakadilan di antara penguasa nan kapitalis dengan kesengsaraan buruh. Keseriusan Tan Malaka dalam hal-hal nan berkaitan dengan sosialis dan komunis. Hal ini terbukti, ketika ia ikut menyuarakan hak dan suaranya dalam kongres-kongres komunis di Moskow, Uni Soviet.

Peristiwa pemberontakan nan terjadi pada 1926, memaksa Tan Malaka buat kembali pulang ke Indonesia, dampak ia tangkapnya beberapa pejuang-pejuang politik pada saat itu. Akhirnya, Tan Malaka dengan beberapa temannya berjuang lagi dari bawah dan membuat Partai Republik Indonesia, buat kembali memperjuangkan Indonesia sinkron dengan apa nan diinginkannya. Meskipun teori politik nan dianutnya membuat ia kesusahan, Tan Malaka tetap tak menyerah.



Teori Politik Tan Malaka dan Ajaran Madilog

Hal nan paling diingat dari teori politik Tan Malaka ialah ajaran Madilog. Madilog dikembangkan sebab ajaran tersebut menggabungkan sebuah kajian ilmu nan sudah diterapkan dan disesuaikan dengan keadaan serta budaya di Indonesia.

Dengan "Madilog", ini Tan Malaka juga ingin membawa republik Indonesia ke strata nan lebih baik. Ilmu nan dimaksudkan di sini ialah sebuah bukti konkret atau fakta-fakta nan terlah terjadi selama ini. Sementara idealisme nan diusung oleh Tan Malaka ialah sikap seseorang, pikiran, serta kesatuan nan terwujud. Teori politik nan dianutnya dirasa pas dengan ajaran-ajaran dari Madilog.

Sifat seperti ini memang sudah dialami Tan Malaka saat ia melihat penindasan nan semena-semena, antara pemerintah Hindia Belanda terhadap orang-orang di Indonesia, pada saat itu. Hal itu dilakukannya terus, termasuk saat transisi setelah Indonesia memperjuangkan kemerdekaannya pada 1945. Teori politik nan dianutnya itu menjadi pegangan Tan Malaka dalam bertindak.

Kegiatan dan ajaran Madilognya tersebut membuat ia menjadi sosok nan dianggap pengganggu. Tan Malaka pernah ditangkap pada 1946 dampak teori politiknya. Tapi dibebaskan, ketika terjadi pemberontakan PKI pada 1948. Peristiwa pemberontakan nan dilakukan PKI beriringan dengan apa nan terjadi pada saat transisi kemerdekaan Republik Indonesia, serta beberapa peristiwa lainnya seperti Perjanjian Linggarjati, serta Perundingan Renville.



Teori Politik Tan Malaka – Menghilangnya Seorang Tan Malaka

Dengan situasi nan tak terkendali pada saat itu, Tan Malaka mendirikan partai baru nan diberi nama Murba dan masih menyandang teori politiknya nan madilog. Di masa transisi dengan keadaan nan tidak terkendali, Tan Malaka seperti menghilang begitu saja.

Berbagai cerita dan versi mengatakan bahwa Tan Malaka meninggal saat memperjuangkan teori politiknya dari satu ke loka lainnya. Ada juga nan mengatakan bahwa ia ditembak wafat oleh pihak militer nan mengatakan bahwa Tan Malaka ialah "ancaman" tersendiri. Apa pun versi menghilangnya seorang Tan Malaka, ia tetaplah seorang pahlawan.

Hal itu dapat dilihat dari caranya memandang sesuatu permasalahan dan mengatasi permasalahan, dimulai dari berkuasanya pemerintah Hindia Belanda, sampai pada saat transisi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Teori politik Madilognya akan selalu dijadikan sebagai bahan kajian ilmu politik nan terus berkembang hingga saat ini.