Mencegah Defleksi Kode Etik Jurnalistik

Mencegah Defleksi Kode Etik Jurnalistik

Permasalahan dalam global jurnalistik berkaitan dengan etika. Dasarnya ialah bagaimana jurnalisme mampu memberi ekuilibrium dalam pemberitaan. Tidak ada tendensi, terlebih penghakiman nan akan menjerumuskan satu pihak, membongkar cela, dan tak dapat dikembalikan lagi. Kode etik lantas dibuat. Pemberitaan nan tidak seimbang tentu akan membuat orang nan ada dalam warta itu merasa harga dirinya dikoyak-koyak. Walaupun mungkin apa nan diberitakan itu benar, ketika aib dibukakan secara terang-terangan, tentu saja nan bersangkutan akan memberikan perlawanan. Defleksi kode etik jurnalistik telah mencapai maksud nan paripurna ketika pers mulai jadi hakim sendiri. Memutuskan mana nan sahih dan mana nan salah seenaknya.



Pengadilan Oleh Media

Ketika kasus ‘Cicak dan Buaya I’ bergulir, masyarakat telah sempat menghakimi Susno Duadji secara membabi buta tanpa melihat permasalahan nan sebenarnya. Hingga akhirnya masyarakat melihat air mata Susno Duadji nan tertumpah di sidang DPR dan buku tentang permasalahan nan menyangkut apa nan dialami Susno nan dibuat sebagai satu pembelaa terbit, masyarakat mulai berimbang mengamati permasalahan tersebut. Yang menjadi masalah ialah bahwa Susno Duadji telah sempat menjadi tertuduh nan dihakimi oleh pihak pers.

Padahal, tanpa Susno berkoar siapa dan apa nan telah dilakukan oleh Gayus Tambunan, maka kasus Gayus mungkin tak akan terkuak sebab Gayus sendiri telah diputus bebas oleh Hakim Sinaga. Susno Duadji nan ternyata mungkin telah diset masuk ke dalam perangkap dan pemusnahan karir oleh pihak-pihak tertentu, kini memang harus keluar gelanggang. Ia kini tidak lagi berada di jajaran Kepolisian. Begitupun nan terjadi dengan Antasari Azhar. Pengadilannya nan sangat lucu dan nan dikatakan oleh salah seorang pakar hukum Indonesia sebagai pengadilan sesat, juga sempat menjadi bulan-bulanan pers.

Walaupun kini Antasari masih berada di penjara, orang tahu kalau ia tak bersalah. Orang-orang seperti Jusuf Kalla dan orang-orang nan terkenal anti korupsi tetap mengunjunginya. Mereka tentu lebih tahu masalah permainan nan ada di global hukum Indonesia. Pers sendiri berusaha buat berada di antara kubu-kubu nan saling bertentangan. Tinggal masyarakat nan menilai mana nan sahih dan mana nan salah walaupun masyarakat sendiri tak dapat berbuat apa-apa selain hanya menjadi saksi bisu dari semua permainan itu.

Prof. Harold L. Nelson dan Prof. Dwight L. Teeter (1982) mengungkap bahwa makna trial by the press sebenarnya mempersulit rasa keadilan buat memperoleh peradilan nan bebas dan tak memihak ( fair trial ). Alih-alih bicara tentang ketidakberpihakan media, pada kasus nan melibatkan hukum, ada korban ada terdakwa, dan jurnalis tak harus masuk ke wilayah hukum semacam ini secara membabi buta dengan kemampuan coverage nya. Pada pasal 5 Undang-Undang (UU) Pers No.40 Tahun 1999, pers diharuskan menghormati "asas praduga tidak bersalah".

Kaidah-kaidah kode etik jurnalistik (KEJ) nan diterima secara universal pun melarang buat disebutkan nama lengkap mereka nan memiliki permasalahan sensitif di mata hukum atau terdakwa. Paras terdakwa pun, di dalam foto jurnalistik media cetak atau dalam jurnalistik penyiaran, tak boleh diperlihatkan. Bila hal ini dilanggar, maka itu merupakan penyimpangan kode etik jurnalistik . Memang tak mudah buat berbuat adil. Tetapi, keadilan itu harus terus diupayakan agar tak menyinggung siapa pun.



Cerdas Bila Berbuat Salah

Penyimpangan jenis lainnya ialah fabrifikasi atau kesalahan dalam menurunkan fakta. Sebenarnya, fabrifikasi ada kaitannya dengan kelalaian atau ketidakprofesionalan jurnalis pada profesinya. Kesalahan dapat dibuat. Bahkan, media kadang memberikan ruang pada jurnalis nan telanjur membuat kesalahan dengan memberikan kolom pembetulan atau permintaan maaf. Yang dirugikan sebab kesalahan pemuatan fakta dapat memberikan tanggapan dan hak jawab nan akan diberikan oleh media bersangkutan.

Apabila jurnalis berbuat salah, itu ialah lumrah. Kesalahan tersebut nan akan mencerdaskan dan mendewasakan pribadi jurnalisnya. Namun, apabila giliran media massa berbuat salah, nan akan semakin cerdas dan dewasa ialah global jurnalisme secara umum. Dengan demikian, ketika media massa membuat kesalahan, melanggar kode etik, dan meresahkan masyarakat, akhirnya global jurnalisme secara generik akan mengambil kegunaan dari kesalahan nan ada dan mencoba merumuskan kembali kerangka pemugaran bagi jurnalisme. Di sinilah, jurnalisme disebut dengan ungkapan cerdas apabila berbuat salah.

Saat pemerintah Orde Baru begitu berkuasa terhadap pers, pemerintah akan sangat mudah membredel dan menutup secara sepihak hak penyiaran dan hak penerbitan nan dimiliki oleh sebuah perusahaan. Pemerintah merasa tersinggung, maka tunggulah SIUPP akan dihapuskan. Pada saat itu, perusahaan penerbitan koran, majalah, bahkan televisi harus bermain cantik dan harus sangat hati-hati kalau masih mau tetap terbit dan mengunjungi para pembaca setianya.

Saat ini, media seakan sangat bebas. Tuntutan nan banyak malah datang dari masyarakat nan merasa dirugikan. Pemerintah tidak dapat dengan serta merta mencabut SIUPP dan membredel majalah atau koran eksklusif bila mereka tak melakukan kesalahan fatal nan akan merugikan masyarakat banyak. Misalnya, majalah Playboy Indonesia. Majalah seperti ini memang tak dapat beredar di Indonesia. Majalah nan akan merusak moral bangsa ini memang harus dibredel dan dihalangi keberadaannya di tanah air. Hal ini bukan masalah kode etik lagi. Ini telah beralih kepada masalah masa depan bangsa dan negara.

Bagaimanapun media tak akan pernah boleh lepas dari tanggung jawabnya bila kesalahan itu telah dilakukan. Etika dan hukum satu hal nan terkait. Apabila jurnalis melanggar, harus dihukum. Apabila media nan melanggar, media pun harus siap menerima hukuman. Semua ini demi profesionalitas di kalangan jurnalis sendiri. Telah banyak wartawan nan berurusan dengan pengadilan. Begitu juga dengan para redaktur dan penangungjawab pemberitaan.



Mencegah Defleksi Kode Etik Jurnalistik

Kasus wartawan pasar kapital nan diduga melanggar kode etik terkait saham krakatau steel mencuat ke publik. Dewan pers, krakatau steel, dan media massa berembuk. Titik temu kasus ini bermuara pada pemecatan sejumlah wartawan. Defleksi kode etik jurnalistik ialah masalah pelik. Kode etik wartawan tak bersifat memaksa. Kode etik berfungsi bak payung. Dapat dipakai kala hujan tiba. Namun, siapa nan menjamin semua orang punya dan mau memakai payung?

Saat pelanggaran itu terjadi, ada pengawas nan akan turun tangan. Semua orang harus taat pada kode etik agar permainan tetap cantik. Niscaya buakn sesuatu nan sangat indha dilihat ketika warta nan diangkat ternyata ialah rekayasa semata. Ada beberapa hal nan harus diperhatikan agar kode etik itu tetap terjaga dengan baik.

Kompetensi Tinggi

Menjadi wartawan kini terlihat mudah. Sejalan dengan kehadiran banyak media. Euforia ini memiliki pisau ganda. Baik buat menyuplai informasi pada masyarakat. Namun, jelek jika tata kelola tak profesional. Media dapat menjadi nightmare bagi masyarakat. Bukan penyejuk, melainkan justu menjadi tukang kompor. Bukan berimbang, melainkan berat sebelah. Kompetensi tinggi absolut dibutuhkan para awak media.

Apa bentuk kompetensi nan harus dimiliki wartawan?

  1. Menulis. Skill ini absolut dibutuhkan. Menu wajib bagi para wartawan nan berkecimpung di global jurnalistik. Menulis nan sedap dibaca, enak dipandang, dan informasi nan diperlukan.
  2. Jurnalisme. Hal ihwal mengenai jurnalisme. Seluk beluk soal global jurnalistik. Apa itu news and views , investigasi, wawancara, dan sebagainya.
  3. Kode etik jurnalistik. Kompetensi ini nan menjadi petunjuk dalam menjalankan tugas. Kode etik bagai rambu lalu lintas. Do’s and don’ts . Tanpa pemahaman nan utuh, jurnalis akan terjebak pada konflik kepentingan.

Kode Etik Jurnalistik

Pemahaman wartawan pada kode etik jurnalistik di Indonesia terbilang rendah. Tidak setiap media menerapkan baku ketat terkait kode etik jurnalistik. Media ternama pun masih dapat terpeleset. Apalagi, media nan kecil. Pilihan kode etik jurnalistik berpulang pada pilihan individu. Kode etik jurnalistik sekali lagi tak memaksa, namun menjadi guidance. Terserah wartawan mau mengikat diri dengan kode etik jurnalistik atau tidak.

Wartawan harus memaknai pekerjaannya sebagai profesi luhur. Mewartakan warta pada masyarakat. Mengabdi pada publik. Melayani kepentingan informasi masyarakat. Ketika kecintaan diri tumbuh, kebanggan akan muncul. Pride make proud . Rasa dignity ini akan merembes pada proses kerja wartawan. Wartawan akan enggan bertindak sembrono. Tak mau menerima suap.

Pemahaman ini nan harus ditekankan. Kode etik jurnalistik sebuah proud . Namun, sebelum menuju termin tersebut, harga diri profesi wartawan harus diretas. Kecintaan pada profesi ini tak sebatas materi. Tidak hanya menjalin banyak relasi, tetapi jauh dari itu. Menjadi wartawan nan jujur, memiliki integritas, dan profesional. Ketika semua itu dipahami dengan baik, maka diharapkan penyimpangan kode etik jurnalistik tak akan terjadi.