Sultan Agung dan Perjuangannya
Sistem pemerintahan nan terjadi di zaman dahulu sepertinya merata. Kerajaan. Seorang raja menjadi pemimpin pada sebuah wilayah, dan dialah nan bertanggungjawab penuh akan hal tersebut. Pun dengan Indonesia. Negara kepulauan ini memiliki cukup banyak raja atau sultan. Salah satunya ialah Sultan Agung .
Nama raja nan satu ini memang tak menyandang gelar "raja" di depannya, tapi yakinlah bahwa lelaki nan satu ini ialah raja bagi masyarakatnya. Sultan Agung merupakan raja atau sultan atau pemimpin dari Kesultanan Mataram. Salah satu kesultanan terbesar di nusantara.
Kepemimpinan Sultan Agung sangat dikenang oleh masyarakatnya. Berkat kepiawaiannya, beliau menjadikan Mataram sebagai salah satu kesultanan di Jawa bahkan nusantara pada saat kepemimpinannya tersebut. Berkat keahliannya mengepalai suatu daerah hingga membuat daerah tersebut maju, membuat Sultan Agung dinobatkan sebagai salah satu pejuang serta budayawan Indonesia.
Penghargaan ini memang tak mungkin sebanding dengan kegigihannya, tapi, ini cukup membuktikan bahwa apa nan dilakukan oleh beliau buat memajukan daerahnya ialah sahih dan patut buat diteladani.
Sultan Agung lahir pada 1593, di Kutagede, Kesultanan Mataram. Beliau mati pada usia 52 tahun, tepatnya pada 1645 di Karta (Plered, Bentul) Kesultanan Mataram. Sudah disebutkan di atas bahwa Kesultanan Mataram ialah salah satu kesultanan terbesar dan cukup berpengaruh di nusantara kala itu. Sebagai sebuah sistem terbesar, Kesultanan Mataram tentu mengalami beberapa kali penyesuaian.
Penyesuaian nan dimaksud antara lain ialah pergantian sultan nan menjabat. Dan Sultan Agung termasuk dalam perubahan itu. Beliau merupakan sultan ketiga dari Kesultanan Mataram. Masa jabatan Sultan Agung terjadi antara 1613 sampai 1645. Jika dihitung dari tahun kelahirannya hingga masa awal beliau menjabat, dapat dipastikan beliau sudah memegang jabatan sebagai Sultan Mataram pada usia nan masih sangat muda, 20 tahun.
Pada masa pemerintahannya itu, prestasi telah sukses ditorehkannya. Usia nan muda sepertinya menjadi pengaruh atas keberhasilan Sultan Agung dalam memimpin Kesultanan Mataram. Jiwa mudanya memberi akibat positif bagi perjalanan karirnya. Kesultanan Mataram pun tumbuh menjadi sebuah kerajaan terbesar. Sebuah prestasi nan tak didapatkan oleh para pendahulunya.
Sultan Agung memiliki nama lengkap Sultan Agung Anyokrokusumo atau dapat juga dipanggil Sultan Agung Hanyokrokusumo. Namanya, merupakan keidentikan sebuah kerajaan nan besar, agung. Dalam memimpin Kesultanan Mataram, Sultan Agung berjuang buat menjauhkan pengaruh penjajah Belanda terhadap rakyatnya.
Gelar nan disandangnya pun berganti-ganti. Saat pertama kali memegang tampuk kekuasaan, beliau bergelar Panembahan Hanyakrakusuma atau dapat juga disebut dengan nama Prabu Pandita Hanyakrakusuma. Pada 1962, gelar Susuhunan Agung Hanyakrakusuma disandangnya setelah sukses mengalahkan Madura dan membuat Madura berada dalam kuasanya.
Gelar Sultan Agung nan terkenang hingga kini ternyata baru mulai disandangnya lima tahun sebelum beliau lengser. Pada 1640, beliau resmi menyandang gelar Sultan Agung Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman. Setahun kemudian, gelar nan beliau pakai mulai mendapatkan pengaruh dari Arab. Gelar beliau pun berubah menjadi Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram atas usul dari pemimpin Ka'bah nan ada di Mekah.
Silsilah Keluarga Sultan Agung
Jika nama lengkap kesultanan Sultan Agung cukup panjang, seperti nan sudah disebutkan di atas, maka nama orisinil beliau sungguh singkat, Raden Mas Jatmika, atau oleh masyarakat dikenal juga dengan nama Raden Mas Rangsang. Kehidupan bernuansa kesultanan sudah dirasakannya sejak kecil, sehingga bekal nan beliau miliki buat memimpin Kesultanan Mataram pun cukup banyak.
Tentu saja, sebab Sultan Agung merupakan putra dari sultan kedua Kesultanan Mataram, Prabu Hanyakrawati dengan Ratu Mas Adi Dyah Banawati. Darah biru mengalir kental dalam tubuh Sultan Agung, sebab ibunya pun, Dyah Banawati merupakan keturunan dari Raja Pajang bernama Pangeran Benawa.
Silsilah keluarga Sultan Agung sempat terbelah menjadi dua versi. Versi lainnya mengatakan bahwa Sultan Agung bukanlah putra dari Dyah Banawati dan Prabu Hanyakrawati. Melainkan putra dari kakak kandung Prabu Hanyakrawati, Pangeran Purbaya. Menurut cerita nan beredar di masyarakat, Pangeran Purbaya menukar bayi nan dilahirkan istrinya dengan bayi nan dilahirkan Dyah Banawati.
Poligami sepertinya memang sudah ada sejak zaman dulu. Sultan Agung pun melakukan itu. Namun, apa nan dilakukan oleh Sultan Agung ketika memperistri dua wanita sekaligus sepertinya berkaitan dengan tradisi nan memang harus dilakukan. Pada akhirnya ini kembali pada peraturan nan mengikat dan strategi buat tetap mempertahankan kekuasaan.
Sultan Agung menikahi dua wanita. Masing-masing wanita tersebut juga tentulah bukan wanita sembarangan. Sultan Agung menikah dengan putri dari Sultan Cirebon nan mendapat predikat sebagai Ratu Kulon. Dari pernikahannya dengan Ratu Kulon, Sultan Agung memiliki putra bernama Raden Mas Syahwawrat nan lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Alit.
Sementara itu, istri Sultan Agung nan lainnya ialah putri dari Adipati Batang. Istri Sultan Agung nan ini dipredikati sebagai Ratu Wetan. Pernikahannya dengan cicit dari Ki Juru Martani ini menghadirkan Raden Mas Sayidin ke muka bumi. Putra Sultan Agung ini kelak akan menjadi penerusnya, penguasa Mataram bernama Amangkurat I.
Sultan Agung dan Awal Kepemimpinan
Jika diurutkan, sesungguhnya Sultan Agung ialah sultan keempat dari Kesultanan Mataram. Beliau mulai diangkat setelah Adipati Martapura diturunkan dari jabatannya. Adipati Martapura ialah adik Sultan Agung nan berasal dari beda ibu. Adipati Martapura nan tunagrahita hanya menjabat Mataram selama satu hari, itupun hanya sebagai bukti terpenuhinya janji nan diucapkan Panembahan Hanyakrawati kepada istrinya, Ratu Tulungayu.
Pusat pemerintahan Mataram saat itu berada di Kota Gede, namun pada 1918, pusat pemerintahan dipindah ke sebuah desa bernama Karta. Jeda pusat pemerintahan nan lama dengan nan baru hanya 5 km. Pemindahan pusat pemerintahan Mataram tentu saja sudah diketahui oleh Sultan Agung, sebab pada masa itu, beliau sudah menjabat sebagai sultan.
Pada awal kepemimpinannya, Sultan Agung sudah harus dihadapkan pada fenomena bahwa Mataram memiliki persaingan nan cukup sengit dengan Surabaya dan Banten. Adalah menjadi pekerjaan bagi Sultan Agung buat dapat menaklukkan dua wilayah itu.
Sultan Agung dan Perjuangannya
Perjuangan menaklukkan Surabaya pun membuat Sultan Agung harus kehilangan tumenggung nan ditugaskannya. Tumenggung Surantani tewas oleh Panji Pulangjiwa nan merupakan menantu dari Bupati Malang ketika berperang di Sungai Andaka.
Mendapat penyerangan, pihak Surabaya tentu membalas. Adipati Pajang nan merupakan ayah mertua Sultan Agung ingin mencoba buat mengkhianati menantunya itu, tapi ia ragu, sehingga belum sempat ia ikut menyerang Mataram, Surabaya sudah lebih dulu ditaklukkan oleh Sultan Agung pada 1616. Kekalahan Surabaya terjadi di Desa Siwalan.
Surabaya sepertinya memang benar-benar merupakan ancaman bagi Mataram. Upaya buat menghancurkan kota itu sungguh sangat diprioritaskan oleh Sultan Agung. Beliau menggunakan berbagai cara buat menaklukkan Surabaya. Beliau membendung genre Sungai Mas dan menaklukkan Madura dan Sukadana sebagai daerah penyuplai bahan pokok ke Surabaya. Akibatnya, Surabaya benar-benar dibuat skak mat.
Apa nan dilakukan oleh Sultan Agung ini tentu saja sukses membuat masyarakat Surabaya beserta petingginya kelaparan, kehausan. Pada 1625, Surabaya akhirnya menyerah. Pangeran Jayalengkara menyerah bukan sebab kalah dalam bertempur, tapi keadaan sudah semakin melemah.
Selain berurusan dengan Surabaya, Sultan Agung selaku Mataram juga memiliki urusan dengan pihak Belanda. Sesungguhnya, saat penaklukkan Surabaya terjadi, Mataram tengah diderita masalah. Wilayah ini mengalami gagal panen sebab peperangan nan berkepanjangan. Pihak VOC menawarkan kerjasama tapi ditolah oleh Sultan Agung.
VOC tak tinggal diam. Mereka sukses menaklukkan wilayah Jayakarta. Sultan Agung mulai memikirkan buat bekerjasama dengan VOC sebagai cara menaklukkan Surabaya pada saat itu. tapi, VOC menolak. Peperangan pun diambil sebagai solusi buat memecahkan masalah ini.
Dalam beberapa kali peperangan, Mataram mengalami kekalahan. Sultan Agung tentu tak kehabisan akal. Ia memerintahkan bawahannya buat mencemari Sungai Ciliwung. Sultan Agung sangat paham bahwa Sungai Ciliwung merupakan mata air nan diandalkan oleh pihak VOC. Sahih saja, Gubernur Jenderal VOC saat itu, J. P. Coen meninggal sebab penyakit kolera dampak pencemaran Sungai Ciliwung tersebut.
Kekalahan Mataram oleh pihak Belanda membuat wilayah nan berada di bawah kekuasaannya mulai berani memberontak. Mataram pun mulai menemui titik terendahnya. Di luar kekalahan nan diderita Mataram, Mataram tetaplah sebuah kesultanan nan dapat menaklukkan wilayah Jawa secara holistik (kecuali Jayakarta nan dikuasai oleh VOC).
Sultan Agung meninggalkan warisan berupa sistem pertanian nan masih banyak dipakai hingga kini. Beliau jugalah nan menggabungkan antara kalender almanak Hijriyah dengan kalender almanak Saka. Sehingga, menciptakan sebuah kalender baru nan dikenal hingga kini dengan istilah Kalender Jawa Islam.