Yudicial Review
Amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 mengamanahkan pemerintah membuat suatu Badan Hukum Pendidikan. Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan nan kemudian hari lebih dikenal masyarakat dengan sebutan UU BHP. Amanat pembuatan UU BHP terdapat dalam Pasal 53 ayat 1 ”Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal nan didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.”
Evaluasi Global Pendidikan
Mari kita lihat bersama fenomena nan ada. Pendidikan katanya ialah hak bagi seluruh warga negara. Artinya, semua warga negara tanpa terkecuali dan tanpa memandang status sosial serta kekayaan, berhak mendapatkan pendidikan nan berkualitas. Namun, pada kenyataannya, kemajuan pendidikan di Indonesia masih belum merata.
Lihat dan bandingkan saja antara pendidikan di pusat kota dan pelosok desa. Sangat terlihat sekali perbedaannya. Di kota, kualitas pendidikan tak perlu dipertanyakan lagi seperti apa sebab sudah tentu bagus dan didukung oleh majemuk fasilitas. Sebaliknya, di desa atau daerah pelosok nan notabene seharusnya juga sama dengan di kota, ternyata kondisinya sangat memprihatinkan.
Hal tersebut seharusnya menjadi penilaian bagi global pendidikan. Betapa jauhnya disparitas antara di kota dan di desa. Bagai bumi dan langit. Tidak hanya dari segi loka atau lokasi saja nan perlu mendapatkan perhatian khusus. Ada hal lain juga nan perlu dikaji dalam penilaian pendidikan di tanah air kita ini. Hal tersebut mengenai masalah biaya. Ya, masalah biaya sekolah.
Sebuah kerangka berpikir baru muncul dewasa ini, bahwa jika ingin mendapatkan kualitas pendidikan nan bagus, ya mesti membayar dengan harga mahal. Prinsip tersebut tidak jauh berbeda dengan prinsip orang berjualan di pasar, yaitu “ada rupa ada barang” atau ada uang ya ada kualitas. Sungguh ironis. Seolah-olah pendidikan ialah huma bisnis.
Fenomena tersebut tentunya sangat memprihatinkan. Apa jadinya bangsa ini bila ada pemikiran bahwa pendidikan hanya buat orang-orang kaya saja. Apa jadinya bila ternyata hanya orang-orang kaya saja nan dapat pintar sebab dapat membayar mahal.
Apakah tidak ada kesempatan buat orang-orang nan dari golongan ekonomi menengah ke bawah buat megubah nasibnya. Bukankah hal tersebut sama saja dengan terjebak dalam lingkaran setan dan tidak dapat keluar selamanya.
Ya, dua hal paling krusial dan pokok nan harus segera dicarikan jalan keluar dalam penilaian pendidikan di Indonesia, yaitu masalah ketidakmerataan dan biaya pendidikan.
Seperti nan sudah dituliskan di awal, bahwa setiap manusia berhak atas pendidikan dan pekerjaan nan layak. Namun, pada kenyataannya hal tersebut tak dapat dicapai. Kebijakan seperti apakah di bidang penilaian pendidikan nan nantinya dapat mendobrak hal-hal nan merugikan rakyat seperti itu.
Polemik BHP
Pembahasan BHP pertama kali dilakukan setelah UU Sisdiknas disahkan, yaitu tahun 2003. Namun, sejak itu pula UU BHP mulai mendapatkan sorotan dan kritikan dari masyarakat.
Hal ini membuat pemerintah membutuhkan 4 tahun lamanya buat menyempurnakan sebelum disahkan. Kendati begitu masyarakat tetap terus mendesak pemerintah buat membatalkannya.
Dalam rancangannya pengertian Badan hukum pendidikan ialah badan hukum nan menyelenggarakan pendidikan formal. Dengan tujuan memajukan pendidikan nasional dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah atau madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan swatantra perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi.
Polemik nan paling banyak dilontarkan masyarakat ialah kekhawatiran akan mengarahnya BHP menjadi komersial dan liberal dalam global pendidikan. Indikasi Komersialisasi dan Liberalisasi pendidikan ditandai dengan semakin tingginya biaya pendidikan nan terus menyulitkan rakyat.
BHP dikatakan sebagai legalisasi sistem kapitalis pada global pendidikan di mana pemerintah lepas tanggung jawab. Dari sinilah berbagai penolakan terus mewarnai dalam perancangannya. Karena dalam UUD ’45 telah jelas pemerintah wajib buat mencerdaskan kehidupan bangsa.
Bagi pihak penyelenggara pendidikan partikelir mengkhawatirkan semakin tingginya persaingan. Persaingan antara perguruan tinggi negeri dan partikelir dalam penerimaan peserta didik.
BHP mengisyaratkan institusi pendidikan negeri buat berdikari mengelola operasional pendidikannya dan seluas-luasnya mencari dana pendidikan. Hal ini mengakibatkan berlomba-lomba dibukanya program diploma dan perluasan di perguruan tinggi negeri buat mendapatkan dana pendidikan nan lebih besar dan pada akhirnya menjadi komersial.
Padahal, selama ini peran itu telah sejak lama dilakukan institusi pendidikan swasta. Selain itu, kondisi ini akan memicu mengacuhkan kualitas pendidikan itu sendiri. Institusi pendidikan hanya mengejar banyaknya uang nan masuk dari pada kualitas peserta didiknya.
Yudicial Review
Kendati demikian, pemerintah setelah kurun waktu empat tahun merasa telah melakukan penyempurnaan terhadap UU BHP. Maka, tanggal 17 Desember 2008 DPR menyetujui UU BHP dan disahkan menjadi UU Nomor 9 Tahun 2009.
Setelah disahkan semakin banyak masyarakat nan melakukan penolakannya. Jalur terakhir pemohon dari beberapa elemen masyarakat, asosiasi, yayasan, dan komisi nan bergerak di bidang pendidikan melakukan Yudicial Review terhadap UU 9/2009 ke Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengeluarkan keputusan bahwa UU 9/2009 inskontitusional pada 31 Maret 2009 arena melanggar UUD 1945 terutama Pasal 28 C ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1). Sejak saat itu, holistik isi UU BHP tak berlaku dan secara otomatis dibatalkan. Perjalanan panjang UU BHP sejak tahun 2003 diakhiri di tahun 2009 oleh MK.
Penyelesaian Biaya dalam Pendidikan
Pendidikan nan mahal saat ini sudah berlaku di Indonesia, meskipun banyak program pemerintah nan bisa meringanan masyarakat buat biaya pendidikan. Mulai dari pemberian donasi BOS, buku pelajaran gratis, sampai beasiswa sekolah. Akan tetapi, itu semua tak mengurangi biaya pendidikan nan mahal.
Bantuan biaya pendidikan bagi orang nan tak mampu kurang merata, sehingga masih banyak masyarakat nan putus sekolah. Padahal zaman sekarang ini masyarakat dunia, khususnya di Indonesia, dituntut minimal dapat membaca, tak buta huruf.
Tapi, kenyataannya buat mencapai masyarakat nan tak buta huruf sangat sulit. Biaya pendidikan nan semakin mahal tak bisa mengentaskan buta huruf. Seorang anak nan baru masuk sekolah saja, dapat membutuhkan biaya beratus-ratus ribu, bahkan berjuta-juta. Padahal itu hanya pendidikan pra-sekolah.
Untuk itu, pemerintah selalu mengusahakan pendidikan gratis, terutama bagi masyarakat nan tak mampu atau ekonomi menengah ke bawah. Program pemerintah ini, tentu saja perlu didukung oleh masyarakat Indonesia sendiri, terutama peserta didik.
Permasalahan dana selalu menjadi permasalahan primer dalam menyelenggarakan pendidikan gratis. Banyak kepala daerah nan mencanangkan pendidikan perdeo dengan cara membebaskan SPP hingga ke pendidikan menengah atas. Namun, pembebasan SPP belumlah bisa dikatakan pendidikan gratis. Bukankah biaya sekolah tak hanya SPP?
Anak-anak masih membutuhkan dana buat seragam, buku, transportasi, ekskul, dan lain-lain. Intinya, pendidikan gratis, ya, benar-benar gratis. Semuanya. Tanpa ada sepeser uang pun nan dikeluarkan orang tua buat menyekolahkan anaknya. Ada beberapa cara buat menyelenggarakan sekolah nan benar-benar gratis.
Pertama, Gubernur Sumatera Selatan, Alex Nurdin, melibatkan banyak perusahaan besar nan ada di wilayahnya buat mendukung program pendidikan gratis. Suatu sekolah bertahap internasional sudah disiapkan buat melayani kebutuhan pendidikan anak-anak tak mampu nan mempunyai motivasi besar buat sekolah.
Pendidikan nan benar-benar perdeo dan sangat serius. Tidak minim fasilitas. Tidak minim dana. Program ambisius nan melibatkan banyak pihak dengan komitmen tinggi dari pemerintah. Sampai saat ini, program ini belum menghadapi hambatan berarti.
Kedua, pendidikan perdeo nan melibatkan anak buat membiayai sekolahnya sendiri dengan cara bekerja sambil belajar. Bekal keterampilan nan diberikan akan membuat anak lebih berdikari dan akan memiliki karakter entrepreneurship .
Misalnya, setiap anak dibekali 3 ekor kambing atau lima orang anak memelihara satu ekor sapi. Mereka bahu-membahu memelihara hewan ternak tersebut. Hasil dari susu atau penjualan hewan itu digunakan buat biaya sekolah. Jadi, kegratisan nan diterima menjadi kapital dasar buat menjadi manusia nan nantinya mampu memberikan sesuatu nan perdeo kepada orang lain.
Model pendidikan perdeo lainnya ialah sistem orang tua asuh. Seperti model nomor dua, anak mendapatkan biaya 100% dari orang tua asuh. Namun, anak juga didayagunakan buat dapat melakukan sesuatu, sehingga dia tak merasa seperti orang nan patut dikasihani.
Anak tersebut diberi bekal agar dapat membantu dirinya sendiri. Misalnya, bila orang tua asuh mempunyai toko, anak asuh dapat dipekerjakan di toko tersebut. Tentu anak itu tetap diberi imbalan nan pantas atas kerjanya.
Pendidikan perdeo tidaklah terlalu sulit bila melibatkan banyak pihak nan mempunyai komitmen nan sama, termasuk anak didiknya. Pendidikan perdeo jangan sampai mendidik anak-anak nan hanya dapat menerima tanpa mampu memberi.
Pendidikan perdeo ialah tonggak dasar buat membentuk anak-anak andal nan dapat mandiri bagi dirinya sendiri dan orang lain di sekitarnya kelak. Untuk itu, badan hukum pendidikan tak membantu dalam pemberantasan buta huruf, tapi dengan donasi biaya pendidikan nan gratis, bisa membantu masyarakat nan tak mampu buat sekolah.