Komunikasi Politik - Komunikasi Macet di Birokrasi

Komunikasi Politik - Komunikasi Macet di Birokrasi

Komunikasi itu ialah seni dan teknis, politik pun seni dan teknis, maka bisakah kita menggabungkan kedua term itu menjadi komunikasi politik itu ialah seni? Tentu saja itu dapat menjadi komunikasi politik. Karena interaksi nan pertama ditunjukkan dengan adanya peranan sejumlah tokoh/ilmuwan politik dalam penelitian komunikasi, ialah berbicara tentang bagaimana para politisi bicara.

Para ilmuwan politik memberikan kontribusi bagi perkembangan teori komunikasi. Misalnya, Harold D. Lasswell nan meneliti dan menulis tentang seni propaganda. Selain itu, Walter Lippman nan juga ilmuwan politik memperkaya ilmu komunikasi dengan pemikirannya tentang teknis opini publik nan keduanya merupakan senjata para politisi buat mempengaruhi massa.

Kita pada abad 21 ini, menyaksikan kejadian luar biasa di Timur Tengah. Pemimpin nan tadinya berdiri setingkat dewa dapat dijatuhkan rakyatnya. Mereka berkuasa puluhan tahun, hampir seumur hidup. Gaya komunikasi politik nan mereka usung itu ialah gaya represi. Senapan dan pentungan nan bicara, dibandingkan para PR dan agitator nan bicara. Mau bagaimana lagi?

Akar kepemimpinan modern di Timur Tengah ialah dikatorisme militer. Militer hanya tahu siap grak. Dan nan menolak tinggal tembak. Tidak ada pemilu, tak ada multipartai, nan pada akhirnya tak ada propaganda, tak ada opini publik, sebab menghilangkan keterlibatan politik agregasi. Sampai akhirnya mereka tumbang, naifnya dikarenakan fasilitas teknologi informasi, Facebook.

Seharusnya interaksi politik nan sehat itu bisa dilihat dengan adanya komunikasi politik antara para pemimpin politik, pejabat dan pemerintah dengan warga negaranya. Pemerintah memerlukan informasi mengenai kegiatan rakyatnya, termasuk opini rakyat mengenai kebijakan nan dibuatnya, dan sebaliknya, rakyat perlu mengetahui apa nan dilakukan oleh pemerintah dalam upayanya mengayomi, melindungi dan menyejahterakan semua lapisan dalam masyarakat.

Komunikasi politik nan dibutuhkan oleh pemerintah dan rakyat bisa diperoleh bila sistem nan menyebarluaskannya berfungsi dengan baik, sehingga masing-masing pihak memiliki kesempatan secara terbuka buat memperoleh informasi nan diperlukan.

Bila sistem dalam komunikasi politik tersebut tak berfungsi dengan baik, akan terdapat banyak gangguan dan kendala dalam aplikasi aktivitas bernegara, sehingga terjadi kesenjangan pemahaman antara pemerintah dan rakyat.

Hal ini telah terjadi pada pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru nan tak bisa menjamin sistem penyebaran informasi sehingga mengalami kejatuhan pada masa pemerintahannya, mirip-mirip di Arab, walau nan di Arab lebih parah lagi.



Definisi Komunikasi Politik

Seringkali komunikasi politik didefinisikan tak secara tepat. Komunikasi politik didefinisikan terlalu sempit atau bahkan terlalu luas sehingga tak menggambarkan dan menjelaskan pengertian komunikasi politik nan secara persis atau sesungguhnya.

Sebagai contoh, Dentin dan Woodward menunjukkan definisi komunikasi politik sebagai “ Diskusi publik mengenai alokasi dari sumber daya publik (yang bernilai), wewenang resmi (siapa nan diberi kekuasaan buat membuat Undang-undang, kebijakan legislatif dan eksekutif) dan dukungan/sanksi resmi (penghargaan dan hukuman) .“

Definisi komunikasi politik di atas terkait dengan pernyataan secara verbal, baik lisan maupun tulisan, tetapi tak terdapat aspek komunikasi lainnya, yakni tindakan/perilaku sebagai komunikasi simbolik (nonvberbal). Tindakan merupakan salah satu aspek krusial buat memahami komunikasi politik secara menyeluruh sebab komunikasi tak hanya berkaitan dengan aspek verbal saja, tetapi juga nonverbal.

Doris Graber memberikan pandangan bahwa komunikasi politik tak hanya “bahasa politik” ( political language ) secara retorik (lisan), tetapi juga parabahasa dan simbol lain nan bermakna seperti bahasa tubuh, dan konduite politik. McNair (2000:2) memberikan pandangannya mengenai karakteristik ciri komunikasi politik, yakni sebagai berikut.

  1. Semua bentuk komunikasi nan digunakan oleh politisi dan aktor/pelaku politik lainnya buat mencapai tujuan nan telah ditetapkan.
  1. Komunikasi nan disampaikan oleh aktor/pelaku politik non politisi seperti pemilih ( voters ) dan kolomnis.
  1. Komunikasi mengenai para aktor/pelaku politik dan aktivitasnya, seperti pada berita, editorial, dan bentuk lainnya dari media politik.

Berdasarkan definisi di atas, komunikasi politik tak hanya berkaitan dengan aspek verbal saja, baik lisan maupun tulisan seperti berita, editorial, artikel, pernyataan politik, pidato dan debat terbuka, tetapi juga bentuk komunikasi lainnya nan terkait dengan aspek nonverbal dan simbol-simbol/tanda visual nan memiliki arti.

Para politisi tentu saja berupaya mempengaruhi khalayak melalui pakaian, make up /kosmetik, gaya rambut, desain logo, rona dan semua elemen komunikasi lainnya nan merupakan image dan bukti diri politik.



Komunikasi Politik - Pemerintah sebagai Komunikator Politik

Seperti halnya kegiatan komunikasi pada umumnya, komunikator politik bisa disebut sebagai pihak nan memprakarsai penyampaian pesan kepada pihak lain dalam aktivitas politik. Dalam komunikasi politik , komunikator bisa dibedakan berdasarkan individu-individu, lembaga, atau sekumpulan beberapa atau orang banyak (kolektif).

Jika seorang tokoh atau pejabat ataupun rakyat biasa bertindak sebagai sumber di dalam sebuah kegiatan komunikasi politik, maka dalam beberapa hal ia dapat dikatakan sebagai sumber individual ( individual source ). Pada konteks lain, meskipun seseorang individu nan berbicara, tapi bila ia menjurubicarai sebuah forum ataupun organisasi, maka pada saat itu dapat dianggap sebagai collective source atau sumber kolektif.

Pembedaan antara komunikator individual dan nan kolektif dalam proses komunikasi politik bisa digambarkan sebagai berikut.

Sumber individual saling berkaitan dengan sumber kolektif. Para pejabat birokrat sebagai sumber individual tentunya berada di bawah suatu aplikasi dan supervisi pemerintah atau birokrasi. Pada taraf pemerintah tersebut kebijakan direncanakan dan diputuskan buat dilaksanakan.

Tentang mereka nan berkedudukan sebagai birokrat, Katz dan Kahn (1966) mengemukakan “ Seorang birokrat ialah anggota suatu birokrasi nan merupakan suatu organisasi dengan tugas melaksanakan suatu kebijaksanaan (policy) nan ditentukan oleh pembuat kebijaksanaan (policy makers).

Seorang birokrat hanya bisa bekerja dalam bidang nan sudah ada aturannya. Apabila ada sesuatu hal nan belum ada peraturannya sebagai dasar pelaksanaannya maka seorang birokrat tak merasa dirinya kompeten buat melaksanakannya.



Komunikasi Politik - Komunikasi Macet di Birokrasi

Almond dan Powell (1963) menggambarkan birokrasi ideal pemerintah sebagai suatu kelompok nan terdiri dan para petugas dan jabatan nan dipertautkan melalui hirarki nan terperinci, dan tunduk kepada pembuat anggaran formal. Birokrasi ditandai dengan adanya spesialisasi tugas, tanggung jawab, dengan aturan-aturan/prosedur nan formal dan standar.

Karena itu, dalam kedudukannya sebagai komunikator, para birokrat merupakan orang-orang nan mempunyai kemampuan secara teknis dalam bidangnya dan memiliki informasi nan bersifat esensial buat pembuatan dan penegakan kebijakan publik.

Namun, nan ideal maupun nan berantakan tak jelas di strata birokrasi. Komunikasi politiknya macet, amburadul, sebab adanya (atau biasanya) politik partisan. Pejabat butuh dekat dengan politisi buat mengamankan jabatan.

Mereka dengan sengaja bermain dalam lingkaran barah buat saling menyandera, seperti kasus pembangunan di Indonesia nan seringkali macet, ketika bupati dan wakil bupatinya berasal dari satu partai nan berlainan. Apalagi kebencian pada pemerintah pusat, sebab berbeda afiliasi partai.

Daerah dapat menahan kerja pusat buat mensukseskan pembangunan, sebab pilkadanya langsung. Dan dengan demikian, DPR nya tak berkutik. Padahal birokrat dan birokrasi memiliki kewajiban buat mendukung suatu kebijakan nan telah diputuskan pemerintah pusat dan menyebarluaskannya kepada khalayak.

Komunikasi politik antar partai politik, dalam sistem nan terlalu birokratis, malah menghadirkan pola baru nan luput dari para peneliti seperti Almond dan Powell di atas, yakni politik penyanderaan. Tidak ada komunikasi politik di antara para birokrat nan saling berbeda partai. Masing-masing berjalan dalam rel masing-masing. Tidak menjalankan birokrasi negara. Tapi birokrasi para Pinokio nan hobi membongkar misteri negara lewat Blackberry.