Demokrasi Referendum

Demokrasi Referendum

Konsep demokrasi telah digagas oleh Yunani sekitar abad ke-4 Masehi. Istilah "demokrasi" pertama kali diutarakan oleh bangsa Yunani pada ke-5 SM di Athena. Istilah demokrasi itu sendiri terus mengalami perkembangan hingga era modern pada abad ke-18. Sejalan dengan itu, berkembang juga konsep dan sistem demokrasi nan majemuk di berbagai negara hingga menjadi bentuk bentuk demokrasi modern nan ada sekarang.

Demokrasi itu sendiri secara etimologi berasal dari bahasa Yunani antik demokratia. Kata "demokrasi" merupakan gabungan dari dua kata, yaitu demos nan berarti rakyat dan kratos atau cratein nan artinya pemerintahan atau kekuasaan.

Jadi, definisi sistem demokrasi ialah sistem pemerintahan nan menjunjung tinggi suara rakyat sebagai pemegang kadaulatan tertinggi. Suara rakyat suara Tuhan.

Ada bermacam-macam demokrasi nan sudah menjadi bagian pemerintahan negara-negara di seluruh dunia. Secara garis besar, kita bisa menggolongkan bentuk-bentuk demokrasimodern ke dalam tiga bentuk, yaitu demokrasi dengan sistem parlementer, demokrasi dengan sistem pembagian kekuasaan, dan demokrasi dengan sistem referendum.



Demokrasi Parlementer

Sistem parlementer ialah sebuah sistem pemerintahan di mana parlemen memiliki peranan krusial dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun bisa menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tak percaya.

Berbeda dengan sistem presidensiil, di mana sistem parlemen bisa memiliki seorang presiden dan seorang perdana menteri, nan berwenang terhadap jalannya pemerintahan. Dalam presidensiil, presiden berwenang terhadap jalannya pemerintahan, namun dalam sistem parlementer presiden hanya menjadi simbol kepala negara saja.

Demokrasi dalam sistem parlementer, terdapat interaksi nan erat antara badan eksekutif, yaitu pemerintah, dengan badan legislatif, dalam hal ini badan perwakilan rakyat. Sementara kabinet atau dewan menteri, bertanggung jawab atas segala tindakannya kepada badan perwakilan rakyat.

Sistem parlementer dibedakan oleh cabang eksekutif pemerintah tergantung dari dukungan secara langsung atau tak langsung cabang legislatif, atau parlemen, sering dikemukakan melalui sebuah veto keyakinan. Oleh sebab itu, tak ada pemisahan kekuasaan nan jelas antara cabang eksekutif dan cabang legislatif, menuju kritikan dari beberapa nan merasa kurangnya inspeksi dan ekuilibrium nan ditemukan dalam sebuah republik kepresidenan.

Selama badan perwakilan rakyat masih memiliki kepercayaan kepada badan eksekutif, maka badan eksekutif masih mendapatkan dukungan. Jika tidak, badan perwakilan rakyat akan menjatuhkan kabinet dengan mosi tak percaya. Dalam sistem ini, terdapat pembagian kekuasaan antara badan eksekutif dan legislatif.

Sistem parlemen dipuji, dibanding dengan sistem presidensiil, sebab kefleksibilitasannya dan tanggapannya kepada publik. Kekurangannya ialah dia sering mengarah ke pemerintahan nan kurang stabil, seperti dalam Republik Weimar Jerman dan Republik Keempat Perancis.

Sistem parlemen biasanya memiliki pembedaan nan jelas antara kepala pemerintahan dan kepala negara, dengan kepala pemerintahan ialah perdana menteri, dan kepala negara ditunjuk sebagai dengan kekuasaan sedikit atau seremonial. Namun beberapa sistem parlemen juga memiliki seorang presiden terpilih dengan banyak kuasa sebagai kepala negara, memberikan ekuilibrium dalam sistem ini.

Negara nan menganut sistem pemerintahan parlementer ialah Inggris, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura dan sebagainya. Indonesia pun pernah menganut sistem demokrasi ini pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.



Demokrasi Pembagian Kekuasaan (Trias Politika)

Pada negara nan menganut demokrasi dengan sistem pembagian kekuasaan, secara prinsip, badan eksekutif terpisah dengan badan legislatif. Badan eksekutif terdiri dari presiden dan dibantu oleh para kabinet nan bertanggung jawab kepada presiden, bukan pada badan perwakilan rakyat. Dengan demikian, kabinet tak dapat dijatuhkan oleh badan perwakilan rakyat.

Dalam sistem ini, kekuasaan yudikatif juga terpisah dari kekuasaan lainnya. Dalam demokrasi ini, badan legislatif melakukan perancangan dan penetapan undang-undang. Badan eksekutif hanya penyelenggara pemerintahan dan pelaksana undang-undang, sedangkan nan menafsirkan undang-undang serta nan menyelesaikan perselisihan ialah badan yudikatif.

Trias politica memiliki prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tak diserahkan kepada orang nan sama buat mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak nan berkuasa.

Doktrin ini pertama kali dikenalkan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquie (1689-1755) dan ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan.

Ada disparitas antara mereka berdua. John Locke memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif, sedangkan Montesquuie memandang kekuasaan pengadilan sebagai kekuasaan nan berdiri sendiri.

Dalam perkembangannya, meskipun ketiga kekuasaan ini sudah dipisah satu dengan lainnya ada kalanya diperlukan check and balance (pengawasan dan keseimbangan) diantara mereka, dimana setiap cabang kekuasaan bisa mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasan lainnya.

Amerika ialah salah satu negara nan menganut demokrasi ini. Sistem demokrasi nan sinkron dengan ajaran Trias Politika nan dikemukakan oleh Montesquieu. Kekuasaan terdiri dari tiga bagian, yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.



Demokrasi Referendum

Referendum berdiri sebagai bentuk manifestasi demokrasi langsung (direct democracy) nan berada di seberang konsep demokrasi perwakilan (representative democracy). Dengan posisi nan berlawanan, maka dapat dikatakan referendum sebagai salah satu bentuk ketidakpuasan terhadap prosedur maupun kinerja demokrasi perwakilan.

Berdasarkan asal pengusul atau inisiatif darimana referendum dilakukan, referendum dapat dibedakan menjadi dua pola. Pola pertama merupakan referendum nan dilakukan sebab inisiatif dari pemerintah nan berkuasa terhadap isu tertentu. Ini nan disebut juga sebagai consultative referendums (Suksi, 1993). Karena sifatnya nan "konsultatif" maka banyak pihak mengasumsikan bahwa hasil referendum ini nantinya tak mengikat (non-binding) secara sah formal.

Sedangkan inisiatif referendum dari masyarakat, seperti petisi atau usulan bersama nan diajukan diajukan oleh masyarakat dikonsepsikan sebagai initiatives referendums, atau juga populer dengan istilah citizen-initiated referendums. Konsepsi mengenai inisiatif dari masyarakat ini juga sangat dilematis mengingat secara de facto, inisiatif-inisiatif nan menyangkut kebijakan publik hampir selalu berasal dari partai politik atau rezim nan berkuasa demi kepentingan politik tertentu.

Demokrasi dalam sistem referendum, keanggotaaan badan perwakilan rakyat tersusun atas hasil pemilihan umum. Badan perwakilan rakyat memilih kabinet buat jangka waktu eksklusif buat melaksanakan kekuasaan eksekutif. Sesudah dipilih, angggota badan perwakilan rakyat tak memiliki wewenang buat menjatuhkan kabinet.

Ia juga diawasi oleh rakyat secara langsung dalam menjalankan kekuasannya. Supervisi ini dilakukan dengan referendum (pemungutan suara nan dilakukan secara langsung buat mengetahui kehendak rakyat). Ada dua jenis referendum.



1. Referendum Obligator

Referendum ini wajib dilakukan buat menentukan berlakunya suatu undang-undang. Referendum ini nan paling primer ialah mengenai peraturan-peraturan nan berkaitan dengan konstitusi dalam suatu negara.



2. Referendum Fakultatif

Referendum ini sifatnya tak wajib. Dilakukan jika satu waktu dalam jangka waktu tertentu, setelah planning undang-undang diumumkan, sejumlah rakyat meminta diadakan referendum.

Dalam sistem ini, peranan partai politik tak begitu menonjol sebab kehendak rakyat bisa diketahui secara langsung dalam demokrasi. Demokrasi dengan sistem parlementer dianut oleh neraga-negara bagian Swiss nan disebut kanton.



Tiga Prinsip Primer Demokrasi

Ada tiga prinsip dasar dalam sistem politik nan demokratis, yaitu:

  1. Ditegakannya etika dan moralitas dalam politik sebagai landasan kerja sistem politik, ekonomi, dan sosial di dalam negara.

  2. Dipakainya prinsip konstitusionalisme dengan tegas dalam pelaksanaannya serta adanya kepatuhan terhadap supremasi hukum nan berlaku.

  3. Pemberlakuan akuntabilitas publik. Memposisikan orang-orang nan memegang jabatan publik dan pemerintahan sebagai pemegang amanat dari rakyat nan bisa dimintai pertanggungjawabannya oleh rakyat.