Cara Menepis Gambaran Negatif

Cara Menepis Gambaran Negatif

Hem, janda, kata nan selalu tidak sedap didengar terutama oleh wanita sendiri. Janda selalu terkesan negatif dan memojokkan perempuan pada kondisi dan tabiat nan genit, sok cari perhatian, penggoda suami orang dan hal-hal nan sejenisnya. Janda , kata nan merujuk pada situasi nan dialami wanita nan sudah tak memiliki pasangan hayati lagi. Seseorang dikatakan janda jika ia menikah, kemudian berpisah dengan suaminya. Hal itu itu dapat disebabkan oleh kematian suaminya atau bercerai dari suaminya. Seseorang nan menjanda, oleh sebagian besar masyarakat kita kerap dianggap memiliki gambaran nan negatif, meskipun hal tersebut tidaklah sahih adanya.

Padahal kalau sejenak berpikir dan memperhatikan seorang janda dengan pandangan nan lebih dewasa dan positif, acungan jempol patut ditujukkan kepadanya. Betapa tidak. Bayangkan saja, seorang wanita nan selama ini dinilai lemah dan sangat tergantung kepada suaminya, tiba-tiba harus berpisah apakah sebab ditinggal wafat atau sebab kawin lagi. Lalu, ia hayati sendiri, banting tulang sendiri, mencari penghidupan sendiri. Masih beruntung bila ia tak atau belum memiliki anak, tapi bagaimana repotnya kalau sudah punya anak. Apalagi harta peninggalan mantan suaminya tidaklah terlalu berlebihan. Masih beruntung pula abila seorang janda itu juga seorang nan terbiasa berdikari dari sisi ekonomi, apakah ia sebagai seorang karyawan, wiraswastawati atau pegawai negeri sipil misalnya. Tapi bagaimana bila janda itu secara ekonomi bukanlah janda kaya, bukan karyawan, bukan pengusaha dan bukan pegawai negeri sipil sementara ia harus tetap hayati bahkan mungkin dengan anak-anaknya.

Benar bahwa ada sebagian nan mengatasi kondisi kesulitan ekonomi dan kebutuhan biologis seperti itu, mencari jalan pintar, cepat-cepat mencari pasangan pengganti. Kalau kemudian seorang janda cenderung lebih keletah misalnya - buat mereka nan cepat-cepat ingin cari pasangan pengganti sebab alasan apapun - juga dapat masuk akal mengingat bahwa ia bukan gadis ting ting lagi. Sementara di pasar perjodohan persaingan semakit ketat. Apalagi kondisi dimana jumlah perempuan dan laki-laki sudah tak sebanding lagi.

Namun di antara janda genit, sebenarnya jauh lebih banyak janda-janda nan kukuh memegang teguh agama, prinsip dan rasa cinta kepada bekas suaminya (terutama janda sebab ditinggal mati) dengan tak mencari pasangan pengganti. Kalaupun kemudian mencari pasangan pengganti, melalui proses pemikiran dan waktu nan lama. Dan dalam kesendiriannya itu, betapa banyak nan sukses bangkit, sukses membangun dan menciptakan penghasilannya sendiri sehingga dapat mandiri.



Citra Negatif Janda

Citra negatif tentang janda dibangun oleh konduite manusianya itu sendiri. Konduite negatif tak identik dengan janda, bersuami atau lajang, bahkan banyak para wanita nan masih berstatus menikah dan memiliki suami malah main serong dengan suami orang lain atau pria lajang sekalipun. Perilaku, apa pun itu tak identik dengan status. Semuanya bergantung pada masing-masing individu.

Memang tak dapat serta-merta disalahkan apabila di dalam masyarakat kita, berkembang stereotip yakni bahwa seseorang nan berstatus janda cenderung genit, suka berias, dan suka menggoda lelaki. Kebanyakan masyarakat kita berpikir seperti itu karena mereka beranggapan bahwa wanita nan memiliki suami tak akan keletah dan menggoda lelaki karena ada suaminya nan menegur dan mengarahkannya. Dan anehnya masyarakat juga nan seolah membenarkan bahwa wanita nan masih gadis bebas buat bergenit-genit, suka menggoda laki-laki dan bahagia berias. Tak pernah ada nada miring tentang semua itu bila nan melakukannya ialah seorang gadis.

Padahal, memiliki suami atau tak bukanlah agunan wanita itu akan memegang kukuh janji pernikahan mereka. Rata-rata masyarakat kita menilai janda secara negatif. Padahal seorang janda, seperti dijelaskan sebelumnya bahwa ia seorang nan sangat tangguh, kuat, dan berjuang buat hidupnya dan anak-anaknya.

Begitu banyak wanita nan berstatus janda, terlebih sebab ditinggalkan suaminya nan meninggal, dan tetap menjanda seumur hidupnya. Wanita nan menjanda ditinggal suaminya sebab meninggal dapat bertahan dan tetap hayati buat menghidupi diri dan anak-anaknya dengan status sebagai single parent . Bukankah mereka wanita-wanita hebat nan layak mendapat apresiasi, setidaknya dengan semakin mengurangi stereotif tentang janda nan negatif.

Mereka tidak membutuhkan lagi kehadiran laki-laki karena mereka dapat sangat setia terhadap mendiang suaminya. Mereka dapat tetap menjaga cintanya hingga ajal menjemput. Para wanita tersebut sungguh memiliki kecintaan dan kesetiaan nan luar biasa. Tapi sudahkah kita memberi apresiasi nan sepadan pada ketangguhan dan kekukuhan wanita seperti itu atau tetap saja menganggap mereka tidak berharga hanya sebab berstatus seorang janda.

Lain halnya dengan lelaki, istri baru meninggal dua atau tiga bulan, para duda sudah tidak tahan ingin segera melangsungkan pernikahan lagi. Dalih nan digunakan adalah kesepian. Lantas, apakah wanita nan memiliki status janda tidak kesepian?



Ketangguhan Wanita

Sesungguhnya, wanita memang lebih tegar dan kuat dibandingkan laki-laki. Itu sebabnya Tuhan menciptakan Hawa buat menemani Adam sebab lelaki memang rapuh. Lelaki selalu membutuhkan wanita. Lelaki tidak cukup kuat sebagaimana wanita nan menjalani hidupnya hanya seorang diri.

Meski memiliki status sebagai janda, wanita tidak pernah patah arang. Ia membesarkan anak-anaknya, menuntun mereka, membimbing mereka, menghantarkan mereka ke masa depan nan diinginkan oleh anak-anaknya, dengan hanya seorang diri, tidak ada lagi pendamping hidup. Ketika seorang wanita ditinggal suaminya nan meninggal, ia segera bangkit karena ia memiliki kewajiban buat membesarkan anak-anaknya. Sementara pria nan ditinggal meninggal istrinya, akan segera bangkit buat mencari pengganti mendiang istri. Hem, sungguh sebuah pemikiran nan terlalu naif apabila melihat kondisi-kondisi positif tentang seorang janda namun tetap memberi cap negatif.



Cara Menepis Gambaran Negatif

Meski zaman telah semakin berkembang, kerangka berpikir masyarakat mengenai gambaran negatif seorang janda belumlah sirna betul. Untuk menepis kerangka berpikir masyarakat nan seperti itu, bukanlah dengan gencar memberikan pemahaman kepada mereka. Namun melakukan sesuatu nan dapat membuktikan bahwa gambaran negatif tak identik dengan janda. Memang benar, para wnaita nan berstatus janda tak perlu gembar-gembor menyatakan bahwa anda bukan janda biasa. Namun sebaliknya dengan cara membuktikan bahwa dugaan itu salah. Stereotif tentang janda nan negatif itu sudah bukan jamannya lagi. Sekarang bukan jaman roman picisan dimana seorang janda selalu identik dengan suka berias, penggoda laki-laki dan sumber malapetakan perkawinan dan rumah tangga orang lain. Seorang janda justru kuat dan terbukti dapat bangkit dari keterpurukan, mencari penghidupan seorang diri buat dirinya sendiri bahkan buat anak-anaknya. Dengan semakin memberikan bukti-bukti positif itulah lambat laun gambaran negatif nan inheren pada diri seorang janda memang akan berangsur berkurang bahkan pada satu titik eksklusif akan benar-benar sirna.

Melalui prestasi, kerja keras, eksistensi nan dilakukan oleh wanita berstatus janda, stereotip seperti itu lambat laun niscaya akan terpatahkan juga. Terbukti, beberapa masyarakat kita pun telah memiliki kerangka berpikir nan baik terhadap wanita nan berstatus sebagai janda.

Status apa pun tidak dapat merefleksikan konduite seseorang. Status dapat saja hanyalah takdir nan mesti diterima dan dijalani dengan ikhlas. Selama tak mengusik, tak merugikan, dan melakukan tindakan amoral, janda atau bukan, bukanlah masalah. Apabila Tuhan hanya menilai seseorang dari ketakwaannya dan bukan dari statusnya.