Khutbah Jumat dan Tata Caranya
Menunaikan ibadah shalat bagi umat muslim ialah kewajiban. Berdasarkan hukumnya, shalat dibedakan menjadi dua, yaitu shalat wajib dan shalat sunat. Shalat wajib ialah shalat nan dilakukan lima waktu dalam sehari, yaitu Isa, Shubuh, Dzuhur, Ashar, dan Maghrib. Sementara itu, shalat sunat ialah shalat nan dilakukan di waktu-waktu tertentu, seperti shalat tahajud, shalat istiqharah, dan shalat jumat.
Khusus buat shalat jumat, hukum sunat berganti dengan wajib bagi kaum laki-laki. Hukum shalat jumat bagi kaum laki-laki muslim ialah wajib ‘ain. Berbicara mengenai kewajiban menunaikan shalat jumat, kewajiban buat memenuhi rukun dan tata cara shalat jumat pun harus dipenuhi, salah satunya ialah mendengarkan khutbah jumat .
Khutbah Jumat: Rukun Shalat Jumat
Ibarat makanan siap saji, shalat jumat dan khutbah jumat adalah satu paket. Berbeda dengan shalat sunat tahajud, shalat jumat baru dapat dilaksanakan jika rangkaian atau rukun shalat tersebut telah terpenuhi. Secara ajaran agama Islam, khutbah dalam shalat jumat ialah salah satu rukun dalam shalat jumat nan wajib ada dan harus dilaksanakan sebelum shalat jumat dilaksanakan.
Menjalankan rukun shalat jumat nan satu ini akan membuat shalat jumat nan dilakukan menjadi sah. Kebiasaan melewatkan khutbah pada kenyataannya sering dilakukan oleh sebagian kaum lelaki. Tanpa didasari pengetahuan tentang pentingnya mendengarkan khutbah dalam shalat jumat, mereka pun datang ke masjid buat menunaikan shalat jumat tepat saat shalat tersebut akan dimulai.
Dalam ajaran agama Islam, orang nan bertugas buat membawakan khutbah disebut khatib. Khatib atau khateeb dalam bahasa Arab bukan hanya bertugas menyampaikan khutbah sesaat sebelum shala jumat berlangsung. Ketika shalat Ied akan dilangsungkan, khatib juga melaksanakan kewajibannya buat menyampaikan khutbah pada umat muslim nan hadir.
Khutbah Jumat dan Tata Caranya
Khutbah dalam shalat Jumat itu memang memerlukan rukun nan harus terpenuhi, agar dapat absah secara aturan. Bilamana salah satu rukun itu tak terpenuhi, memang akan membuat khtbah itu rusak, alias tak sah.
Yang paling pokok buat diketahui bahwa khutbah dalam shalat Jumat itu terdiri dari dua bagian. Yaitu khutbah pertama dan khutbah kedua, di mana keduanya dipisahkan dengan duduk di antara dua khurbah.
Selain itu nan juga perlu diperhatikan ialah bahwa khutbah dalam shalat Jumat itu dilakukan sebelum shalat Jumat. Berbeda dengan khurtbah Idul fitri atau Idul Adha nan justru dilantunkan setelah selesai shalat Id.
Adapun rukun khutbah dalam shalat Jumat, para ulama mencoba mengumpulkannya dari berbagai dalil, lalu didapat paling tak ada lima perkara.
Jika sudah memenuhi syarat, siapa pun dapat menjadi khatib. Syaratnya tentu saja sudah diatur dalam Al quran dan hadits.
Hal nan harus diingat oleh siapapun nan akan atau ditunjuk menjadi khatib pada shalat jum’at ialah bahwa khutbah pada shalat jum’at terdiri dari dua bagian, yaitu khutbah pertama dan khutbah kedua. Penanda diakhirinya khutbah satu buat kemudian berganti dengan khutbah dua ialah duduk nan dilakukan khatib di antaranya.
Hal lain nan takkalah krusial dari aplikasi khutbah jumat ialah rukun atau tata cara pelaksanaannya. Berdasarkan dalil nan dilontarkan oleh beberapa ulama, rukun aplikasi khutbah dalam shalat jumat ada lima.
Tata cara aplikasi shalat Jum’at, yaitu :
1. Khatib naik ke atas mimbar setelah tergelincirnya matahari (waktu dzuhur), kemudian memberi salam dan duduk.
2. Muadzin mengumandangkan adzan sebagaimana halnya adzan dzuhur.
3. Khutbah pertama: Khatib berdiri buat melaksanakan khutbah nan dimulai dengan hamdalah dan pujian kepada Allah SWT serta membaca shalawat kepada Rasulullah SAW.
Kemudian memberikan nasehat kepada para jama’ah, mengingatkan mereka dengan suara nan lantang, menyampaikan perintah dan embargo Allah SWT dan RasulNya, mendorong mereka buat berbuat kebajikan serta menakut-nakuti mereka dari berbuat keburukan, dan mengingatkan mereka dengan janji-janji kebaikan serta ancaman-ancaman Allah Subhannahu wa Ta’ala. Kemudian duduk sebentar
4. Khutbah kedua: Khatib memulai khutbahnya nan kedua dengan hamdalah dan pujian kepadaNya. Kemudian melanjutkan khutbahnya dengan aplikasi nan sama dengan khutbah pertama sampai selesai
5. Khatib kemudian turun dari mimbar. Selanjutnya muadzin melaksanakan iqamat buat melaksanakan shalat. Kemudian memimpin shalat berjama’ah dua rakaat dengan mengeraskan bacaan.
1. Membaca Hamdalah
Khutbah dalam shalat jumat itu wajib dimulai dengan hamdalah. Yaitu lafaz nan memuji Allah SWT. Misalnya lafaz alhamdulillah, atau innalhamda lillah, atau ahmadullah. Pendeknya, minimal ada kata alhamd dan lafaz Allah, baik di khutbah pertama atau khutbah kedua.
Sebelum khatib memulai khutbahnya, hal pertama nan harus dilakukannya ialah membaca hamdalah. Hamdalah ialah kalimat atau lafaz nan memuji dan mengagungkan nama Allah swt. Hamdallah nan diucapkan antara lain alhamdulillah, innalhamdalillah , atau ahmadullah.
2. Shalawat kepada Nabi Muhammad SAW
Khatib wajib buat mengucapkan shalawat atau puji-pujian kepada Nabi Muhammad saw. Shalawat kepada Nabi Muhammad harus diucapkan dengan jelas. Shawalat nan generik diucapkan oleh khatib ketika khutbah ialah ushalli ala Muhammad, as-shalatu ala Muhammad , atau ana mushallai ala Muhammad.
Shalawat kepada nabi Muhammad SAW harus dilafadzkan dengan jelas, paling tak ada kata shalawat. Misalnya ushalli ‘ala Muhammad, atau as-shalatu ‘ala Muhammad, atau ana mushallai ala Muhammad.
Namun nama Muhammad SAW boleh saja diucapkan dengan lafadz Ahmad, sebab Ahmad ialah nama beliau juga sebagaimana tertera dalam Al-Quran.
3. Wasiat Taqwa
Selesai mengucap puji-pujian buat Allah swt dan Nabi Muhammad SAW, khatib wajib menyampaikan ajakan buat lebih bertaqwa pada Allah. Ajakan buat menjauhi embargo dan mematuhi semua perintah Allah menjadi agenda primer dalam rukun khutbah jum’at nan ketiga ini.
Yang dimaksud dengan washiyat ini ialah perintah atau ajakan atau anjuran buat bertakwa atau takut kepada Allah SWT. Dan menurut Az-Zayadi, washiyat ini ialah perintah buat mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Sedangkan menurut Ibnu Hajar, cuukup dengan ajakan buat mengerjakan perintah Allah. Sedangkan menurut Ar-Ramli, washiyat itu harus berbentuk seruan kepada ketaatan kepada Allah.
Lafadznya sendiri dapat lebih bebas. Misalnya dalam bentuk kalimat: takutlah kalian kepada Allah. Atau kalimat: marilah kita bertaqwa dan menjadi hamba nan taat.
4. Membaca Ayat Al Quran
Dalam menyampaikan khutbahnya, khatib diwajibkan buat menyelipkan paling tak satu ayat. Ayat nan diselipkan harus lengkap beserta makna dan pengertiannya. Ayat Al quran nan digunakan bergantung pada isi khutbah nan dibawakan.
Minimal satu kalimat dari ayat Al-Quran nan mengandung makna lengkap. Bukan sekedar potongan nan belum lengkap pengertiannya. Maka tak dikatakan sebagai pembacaan Al-Quran bila sekedar mengucapkan lafadz:
tsumma nazhar.
Tentang tema ayatnya bebas saja, tak ada ketentuan harus ayat tentang perintah atau embargo atau hukum. Boleh juga ayat Quran tentang kisah umat terdahulu dan lainnya.
5. Berdoa di Akhir Khutbah
Selayaknya ceramah, khutbah jum’at juga wajib diakhiri dengan doa buat kebaikan bersama. Beroda memohon konservasi pada Allah demi kebaikan bersama ialah doa nan lumrah dipanjatkan. Doa nan diaminkan oleh orang nan berjumlah lebih dari 40 orang, pasti akan lebih mustajab.
Pada bagian akhir, khatib harus mengucapkan lafaz nan doa nan intinya meminta kepada Allah kebaikan buat umat Islam. Misalnya kalimat: Allahummaghfir lil muslimin wal muslimat . Atau kalimat Allahumma ajirna minannar .
Dengan terpenuhi lima persyaratan khutbah dalam shalat jumat tersebut, Insya Allah akan diterima oleh Allah SWT.
FUNGSI KHUTBAH
1. Tahdzir (peringatan, perhatian)
2. Taushiyah (pesan, nasehat)
3. Tadzkir/mau’idzoh (pembelajaran, penyadaran)
4. Tabsyir (kabar gembiran, harapan)
5. Bagian dari syarat sahnya sholat Jum’at
Berkenaan dengan fungsi khutbah jumat tersebut di atas, maka khutbah disampaikan dengan bahasa nan mudah difahami oleh jama’ah (boleh bahasa setempat), kecuali rukun-rukun khutbah. Allah SWT. berfirman:
“Dan tidaklah Kami mengutus Rasul, melainkan dengan bahasa nan difahami oleh kaumnya, agar ia bisa memberi klarifikasi kepada mereka”. (QS. Ibrahim : 4).