Teori Filsafat - Dari Modernisme sampai Posmodernisme
Teori filsafat. Tahukah Anda apa itu teori filsafat? Asal mula filsafat berasal dari timbulnya pertanyaan nan menyangkut hakikat atau sesuatu nan esensial.
Diawali dari pertanyaan, nan kemudian menimbulkan pertanyaan lagi, dan seterusnya, sehingga menimbulkan sebuah proses eksplorasi nan dipicu dari pertanyaan-pertanyaan lebih mendalam. Pertanyaan tersebut, di kalangan orang Yunani, meliputi masalah eksistensi diri sebagai bagian dari proses sosialisasi diri.
Dari sini teori filsafat ( theory of philosophy ) disusun dan senantiasa disempurnakan secara sistematis. Socrates (470 SM - 399 SM) misalnya, guru nan juga merupakan tokoh primer dalam karya pemikiran Plato, mengawali penerapannya dengan menelanjangi ketidaktahuan orang Athena, Yunani perihal diri sendiri.
Socrates menyatakan diri menjadi medium setiap individu dalam upaya menemukan diri nan terpendam. Bahkan, buat menempatkan fungsinya sebagai medium nan menstimulasi orang lain dengan serangkaian pertanyaan, Socrates menganalogikan dirinya seperti bidan, sebagaimana profesi ibunya.
Dari keberadaan Socrates dan selanjutnya diikuti Plato (427 SM - 347 SM) dan Aristoteles (384 SM - 322 SM), teori filsafat dengan demikian, merupakan proses kelahiran pengetahuan atau kebenaran, terutama nan diawali dari sosialisasi hakikat diri sendiri nan pada masa tersebut membutuhkan medium orang lain.
Socrates nan menjadi medium kemudian diberi predikat sebagai orang nan bijak atau nan mencintai kebijakan. Dari hal itulah kemudian timbul istilah philosophia , berasal dari philos (cinta) atau philia (kesukaan atau ketertarikan pada) dan sophos (orang bijak) atau sophia (kebijakan).
Selanjutnya, filosof dipahami sebagai orang nan tertarik atau menyukai kebijakan. Tujuan hayati filosof ialah buat mendapatkan pemahaman tentang diri dan global nan diperoleh secara rasional.
Karena, sepanjang menghayati kehidupannya di dunia, manusia dilahirkan dari orangtuanya, dan seterusnya dari nenek moyang serta leluhurnya diciptakan, tentu memiliki fungsi tertentu. Oleh sebab itu, sebagian dari residu hidupnya dimanfaatkan buat mencari, menyusun, dan merumuskan pemikiran nan bermanfaat bagi keberlangsungan hayati sesama di dunia.
Proses mencari, menyusun, dan merumuskan pemikiran nan dipusatkan dari prinsip essential question (pertanyaan esensial) dapat dibatasi hanya pada bidang eksklusif atau spesifik, seperti ilmu pengetahuan, agama, atau teori filsafat.
Tidak menutup kemungkinan pula bila seseorang dapat menggapai ketiga bidang tersebut, di samping sebagai ilmuwan atau cendekiawan, juga rohaniwan atau agamawan, dan filosof atau filsuf.
Teori Filsafat - Makhluk Paradoksal
Teori filsafat mengalami perkembangan seiring zamannya. Menurut Alfathri Adlin, pola pertanyaan sebagai prinsip eksplorasi dalam berfilsafat pada era Gilles Deleuze dan Felix Guattari (1991) masih berupa pertanyaan nan sudah pernah atau selalu dipertanyakan lagi.
Dalam hal ini, filsafat senantiasa dalam proses menjadi ( becoming ). Sifat dasar filsafat Barat, yaitu self canceling atau pembatalan pernyataan terdahulu nan pernah dibuat sendiri.
Pada akhirnya, filosof membuat hayati mereka menjadi nomadik. Selain itu, terjadi dialektika dalam proses berpikir. Implikasinya terlihat pada hasil berpikir filosof pasca-Renaisans nan mengkritisi hasil pemikiran di era sebelumnya, dari nan bersifat keluarga menjadi lebih bersifat sosial.
Psikoanalisis Freud dikritisi oleh Deleuze dan Guattari dengan menempatkan kenyataan ketaksadaran nan dihasilkan secara sosial dari pengalaman publik-kolektif, bukan individual sebagaimana dirumuskan oleh Freud.
Meski mengkritik, Guattari mengakui signifikansi psikoanalisis sebagai taktik buat membebaskan subjek dari cengkeraman hasrat. Caranya, dengan merangsang subjektivasi transformatif.
Praktiknya diterapkan melalui eksperimen terhadap pasien sakit jiwa nan selalu dipindah-pindahkan ke lingkungan baru nan berbeda. Dengan eksperimen itu diharapkan pasien sakit jiwa senantiasa bisa beradaptasi.
Rasio atau nalar merupakan asas kerja filosof nan menghasilkan produk berupa logos (pengetahuan). Produk pemikiran manusia nan berupa logika kemudian menjadi kiblat dari peradaban modern. Secara massif, peradaban modern itu diwujudkan dalam bentuk industrialisasi kapital.
Pada perkembangannya manusia mengalami alienasi (keterasingan). Situasi tersebut menempatkan manusia pada keadaan paradoksal. Maka, terjadi lagi kegelisahan nan merangsang atau mengusik otak manusia berpikir buat berjuang atau melawan.
Yang terjadi kemudian ialah berkembangnya proses berfilsafat di era modernisme. Salah seorang filosof, Rene Descartes (1596 - 1650) nan berpijak pada asas pencerahan melalui metode kesangsian sebagai revisi konsepsi dualisme manusia ala Plato, yaitu jiwa dan tubuh.
Pertanyaan nan dilontarkan Descartes dengan pijakan pencerahan dan menjadi legenda dalam konstelasi teorinya ialah cogito ergo sum (aku berpikir maka saya ada). Sebaliknya, Sigmund Freud justru mengelaborasi ketaksadaran (arus bawah sadar) manusia sebagai pijakan filsafatnya.
Teori Filsafat - Manfaat Filsafat
Salah satu nan mendasari Socrates berfilsafat ialah tatkala pikirannya menimbang bahwa penciptaan manusia di global tentu memiliki tujuan dan fungsi tertentu. Karena itu, hayati manusia harus dipikirkan sehingga mereka layak menjalani kehidupannya.
Manfaat filsafat demikian, sebatas pada keberhasilan masing-masing individu dalam memahami eksistensi dirinya dalam kehidupan di dunia. Artinya, kemanfaatan filsafat tak semata-mata memenuhi unsur kepraktisan.
Namun, dari pencarian pada kebenaran dan kontemplasi pada empiris global sebagai proses, berfilsafat merupakan sumber mencapai kebahagiaan. Ini ialah kegunaan tak secara langsung dari berfilsafat.
Implikasi atau pengaruh dari teori filsafat berjalan secara tak langsung. Dalam global pengetahuan, filsafat turut menyumbang pengembangan teori dan metodologi, terdiri dari logika, etika, dan estetika. Pada logika, tumbuh cabang ilmu mengenai asas-asas pengetahuan atau epistemologi.
Sedangkan pada etika, berkembang ilmu tentang moralitas, tata pemerintahan, ekonomi, sosial, ataupun politik. Selanjutnya, pada estetika, timbul ilmu pengetahuan mengenai penciptaan dan apresiasi seni serta budaya.
Kemudian, dalam bidang politik praktis, setidak-tidaknya dari hasil pemikiran kritis sang filosof sedikit banyak akan memengaruhi kebijakan pemimpin dalam mengelola negara atau pemerintahan. Bahkan, sifat kemanfaatannya mencakup hal mendasar bernegara, seperti merumuskan ideologi, menyusun hukum negara serta perundang-undangan ataupun etika politik serta khususnya perkembangan teori filsafat.
Teori Filsafat - Dari Modernisme sampai Posmodernisme
Pemetaan mengenai pemikiran atau filsafat tak cukup dilakukan hanya dengan mendeskripsikan pikiran beberapa filosof, namun harus dicermati pula pola interaksi antarfilosof, berikut konsepsi filsafatnya. Dari pola tersebut akan terlihat adanya interaksi antarkonsep nan menggambarkan proses obrolan berikut konteks dirumuskannya konsepsi filsafat di masa sebelumnya buat dibandingkan dengan masa sesudahnya.
Dalam hal diupayakan pemetaan perkembangan atau kemunduran pemikiran filsafat itu akhirnya bisa diformulasikan ke dalam pembabakan atau periodisasi. Dengan demikian, filsafat memiliki rantai sejarahnya tatkala dikaji kembali di masa kemudian.
Perkembangan pemikiran filsafat merangkum dimensi masa lalu, masa kini, dan kemungkinan prospeknya buat masa depan. Periodisasi pemikiran filsafat tentu saja diperlukan sebagai pengakuan adanya pelopor, tokoh, dan pemikiran atau aliran, serta filsafat nan berpengaruh pada zamannya.
Selain itu, sebagai pijakan penanda pencapaian dalam perkembangan pemikiran para filosof, serta kemungkinan buat diantisipasi pada masa nan akan datang. Dalam pembabakan atau periodisasi pemikiran filsafat, selain dikenal periodisasi hitungan abad (seratus tahunan) dan milennium (seribu tahunan), ada pula dikenal periodisasi modernisme dan posmodernisme.
Periodisasi abad nan dipetakan dalam pemikiran atau teori filsafat sampai 1900 lazimnya disebut abad ke-20, sedangkan perhitungan sebagai zaman modern berhenti pada 1900. Baru kemudian pada 2000 hingga abad ke-21 disebut era filsafat kontemporer.
Pada saat bersamaan, ada interval masa nan seiring dengan pembabakan tersebut namun dengan penamaan era posmodernisme, yakni pada 1970-an, khususnya nan berkaitan dengan pemikiran atau wacana.
Steinar Kvale (1992) mengilustrasikan perihal pemikiran posmodernisme nan dilatarbelakangi oleh hilangnya kepercayaan terhadap filsafat produk Renaisans (pemikiran abad Pencerahan). Terutama pada emansipasi dan kemajuan nan diukur oleh pengetahuan dan penelitian ilmiah.
Fenomena tersebut menunjukkan terjadinya perubahan sikap dan pola berpikir dalam teori filsafat serenta pula melahirkan aliran atau genre filsafat baru. Meski jika dicermati secara konsepsional, posmodernisme mengkritisi modernisme, namun bukan berarti antimodernisme.
Prinsip nan membedakannya dengan modernisme sering dikatakan, bahwa posmodernisme merepresentasikan apa nan datang setelah modernisme. Posmodernisme juga bukan gerakan antiotoritarianisme atau antikapitalisme, seperti nan pernah muncul pada 1960 hingga 1970-an.
Posmodernisme tetap memanfaatkan produk modernisme atau era jauh sebelumnya nan disebut tradisionalisme, dengan mengkreasi kembali, meramu, memadukan, atau memungut anasir tradisional dan modern buat direaktualisasikan dalam konteks baru. Demikianlah sekelumit tentang teori filsafat.
Teori Filsafat Timur dan Kehidupan Nyata
Teori filsafat sering diperdengarkan, dibaca, dan dipikirkan hanya oleh orang-orang dari golongan intelektual (mahasiswa, dosen, profesor). Namun, tak semuanya. Hanya beberapa fakultas dan jurusan nan memiliki perhatian besar terhadap ruang filsafat.
Jika pun ada, perhatian tersebut sebatas dalam ruang kelas filsafat saja, sebatas angka buat IPK. Di luar itu, filsafat tetap sekadar suatu hal nan "asing". Ia bahkan hampir tak tersentuh dalam kehidupan di luar ruang lingkup intelektual.
Kecenderungan tersebut tentu mesti diperhatikan, sebab sesungguhnya perkembangan global manusia sendiri tak bisa lepas dari keberadaan filsafat. Sebab, filsafat ialah proses berpikir dan manusia tak bisa terhindar dari proses tersebut.
Salah satu contoh nan mudah ditemukan ialah saat manusia tenggelam dalam kebudayaan kolonialisasi. Kolonialisasi tersebut tak bisa dilepaskan dari pemikiran Rene Descartes, " Cogito ergo sum " (aku berpikir maka saya ada), suatu tonggak lahirnya teori filsafat rasionalisme.
Teori filsafat ini bertitik tolak pada konsep pengagungan logika dan cenderung tak mengindahkan bisikan hati (hati). Di satu sisi, teori filsafat ini berguna dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Namun,kecenderungan logika juga lantas dijadikan pembenaran buat mengambil laba sebanyak-banyaknya dari isi bumi, alam maupun makhluknya. Endemi kolonialisasi pun akhirnya merebak pada bangsa Eropa.
Dengan demikian, jelas bahwa antara filsafat dan kehidupan konkret tak mungkin bisa dipisahkan. Ia bisa diistilahkan sebagai "akar" bagi pohon perkembangan budaya manusia.
Memaknai kehidupan sama artinya dengan berfilsafat. Mengembangkan kehidupan pun sebaiknya tak mengabaikan pengetahuan terhadap teori-teori filsafat.
Hal ini berlaku pula dalam perkembangan budaya timur, terutama Islam. Teori filsafat dalam kerangka mereka umumnya menjadi sosok Dajjal nan sebisa mungkin dijauhi. Hal ini tak lepas dari pandangan bahwa filsafat bisa mengubah keimanan seseorang.
Bagi kaum Muslim nan mayoritas menganggap bahwa kehidupan lebih hanya sekadar jembatan transendesi (ukhrowi/akhirat) akhirnya kerap kali mengabaikan aspek duniawi. Keberadaan mereka di global lantas kerap disandingkan dengan istilah inferior. Tentu persoalan ini mengakibatkan perkembangan budaya Islam cenderung tak berkembang.
Teori Filsafat Islam sebagai Tonggak Perkembangan Timur
Dalam perkembangan budaya Islam, sering kali filsafat dianggap sebagai suatu perihal nan "antagonis". Hal ini disebabkan tumbuh suburnya pandangan bahwa filsafat merupakan ilmu nan cenderung menyesatkan dan memungkinkan lahirnya kekacauan aqidah/keyakinan.
Akibatnya, Islam pun lantas menjadi cenderung dogmatis. Ajaran-ajaran dan keyakinan menjadi satu hal nan tak bisa dikritisi atau dipahami dengan cara nan berbeda. Konsep ini, secara tak langsung berkaitan dengan kritikan-kritikan Al-Ghazali terhadap pemikir muslim Ibnu Rusyd.
Ibnu Rusyd sendiri, dalam banyak pembahasan mengenai filsafat Islam, bisa dianggap sebagai simbol rasionalisme di dalam Islam. Rasionalisme Ibnu Rusyd lantas mendapat tentangan dari Al-Ghozali.
Kaum orientalis berpendapat, sikap Al-Ghozali ini, nan kerap mengkritik dan menentang para filsuf, terutama filsuf Muslim, pada akhirnya ternyata memadamkan semangat berfilsafat dalam kaum Muslim. Hal ini pun disinyalir sebagai salah satu titik padam atau hilangnya ruang filsafat di dalam Islam.
Alur pemikiran Islam selanjutnya bergerak ke arah Al-Ghozali, nan beranggapan bahwa filsafat memungkinkan lahirnya hal-hal nan membahayakan keagamaan. Akibat dari kesamaan tersebut pun cukup besar bagi perkembangan umat Islam selanjutnya.
Dalam buku Filsafat Timur karya Bagus Takwim, dampak-dampak tersebut diuraikan dalam beberapa ruang. Pertama, terjadi gelombang keawaman dan apatisme intelektual nan merata di kalangan Muslim.
Kedua, kaum Muslimin pada akhirnya meletakkan iman dan transendensi Islam sebatas kebenaran nan kaku dan tidak tersentuh akal. Ketiga, nan dianggap lebih besar ialah timbulnya rasa rendah diri (inferior) peradaban dan pemikiran Islam, terutama dalam dimensi intelektual kepada kaum Barat.
Tetapi, apa nan dikemukakan kaum orientalis tersebut ternyata mendapat bantahan. Sayyed Hossein Nasr dalam bukunya T heology, Philosophy, and Spirituality mengungkapkan bahwa pemikiran-pemikiran filsafat dalam islam tak pernah berhenti. Ia terus berlangsung meski Ibnu Rusyd telah lama meninggal dunia.
Hanya saja, karya-karya para pemikir tersebut sporadis mendapat dukungan publikasi dan pewartaan. Sayyed Hossein pun mengemukakan para filsuf Muslim nan mempertahankan keberadaan filsafat dalam Islam setelah Ibnu Rusyd, nan pemikiran-pemikirannya pantas buat ditelaah dan dikaji lebih luas.
Beberapa dari mereka ialah Suhrawardi, Mula Sadra, dan pemikir Islam modern Muhammad Iqbal. Dari mereka ini, bisa diambil konklusi bahwa antara agama dan filsafat semestinya tak terdapat tembok nan besar dan tidak tertembus.
Agama dan filsafat ialah dua hal nan sesungguhnya berjalan beriringan. Teori filsafat nan erat kaitannya dengan logika atau intelektual dan agama nan banyak berkaitan dengan spirit ialah dua hal nan merupakan "kebutuhan" umat manusia.
Keduanya ialah dua muka empiris nan tak bisa diabaikan salah satunya. Konsep tersebut, kemudian banyak berpengaruh dalam lahirnya teori filsafat dari pemikir Muslim, juga tema-tema nan diangkat.
Pembahasan nan paling mencolok ialah verifikasi keberadaan Tuhan dengan akal, seperti nan dilakukan oleh Al-Kindi dan Al-Farabi. Tema lainnya ialah mengenai penciptaan alam semesta.
Selain itu, banyak juga teori filsafat nan muncul dari pemikiran mengenai kegiatan pemikiran (intelektualitas) dan kegiatan penyucian hati, dengan iman dan pengetahuan. Tema ini cukup mengemuka saat Suhrawardi mengangkatnya.
Pada periode Muhammad Iqbal, teori filsafat mengenai aspek sosial dan eksistensi manusia menjadi sumbangan nan sangat krusial dalam kebudayaan Islam dan global secara keseluruhan.
Teori Filsafat Islam di Indonesia
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk menganut agama Islam, Indonesia merupakan negara nan potensial dalam perkembangan filsafat, khususnya teori filsafat nan dikemukakan para pemikir Muslim. Sayangnya, potensi ini mesti lama menunggu sebab kesamaan budaya kaum Muslim Indonesia nan menjadikan agama, meminjam istilah Abdurahman Wahid, sebagai suatu benteng nan kerap tak dapat diganggu gugat.
Dalam Catatan Pinggir , Goenawan Mohamad bahkan menyebutkan bahwa penalaran kritis mengenai Islam sering hanya akan menempatkan pengkritisi dalam dimensi kemarahan umat, bukan sikap keterbukaan.
Hal ini menunjukkan bahwa apa nan diharapkan Abdurahman Wahid, pemikir Islam dan Presiden Indonesia keempat, agar umat muslim menjadikan agama dan iman sebagai obor (suatu metefora nan bisa dimaknai keterbukaan) sulit terjadi. Banyak bukti nan menunjukkan hal demikian.
Misalnya, merebaknya organisasi massa nan mengatasnamakan kebenaran, namun justru bertindak anarkis, seperti membubarkan diskusi buku nan disinyalir merusak keimanan pembaca, perkembangan budaya nan bersifat takhayul dan cenderung "mangada-ngada", dan lain-lain. Bukti-bukti demikian menjelaskan bahwa teori filsafat Muhammad Iqbal nan mengedepankan ekuilibrium intelektual dan intuisi, global dan akhirat, masih sulit berlaku.
Penyebabnya, seperti nan telah diungkapkan, ialah kesamaan kaum Muslim buat tak bersikap terbuka. Selain itu, juga sebab pandangan nan mengedepankan kehidupan akhirat.
Ketidakterbukaan menyebabkan pemahaman kebenaran nan sempit. Kebenaran hanya dipandang dari satu sisi sedangkan sisi nan lain ialah salah. Pandangan mementingkan akhirat menyebabkan pengabaian terhadap kemajuan umat Islam dalam kancah dunia.
Umat Muslim akhirnya akan selalu menjadi pemeran inferior. Tentu terdapat banyak jalan demi mengubah kerangka berpikir tersebut. Salah satunya ialah dengan meletakkan filsafat sebagai suatu hal nan tak lagi asing.
Perlu diletakkan pencerahan bahwa filsafat merupakan "akar", nan darinya akan dapat diketahui penyebab sebuah perkembangan manusia dan masa depan perkembangan manusia. Darinya pula diketahui bahwa setiap bidang ilmu pengetahuan sesungguhnya memiliki sebuah garis besar nan sama, pengetahuan melahirkan keterbukaan dan kegunaan kemanusiaan.
Semestinya masalah ini digencarkan dalam ruang intelektual, karena kaum intelektual akan selalu memiliki pengaruh dalam perkembangan budaya masyarakat seluruhnya. Teori filsafat pun tak lagi menjadi "Dajjal", namun juga sebagai sebuah titik perkembangan ke arah nan lebih baik. Ia juga tak menjadi sebatas nilai akademik nan dianggap tak berguna dalam kehidupan nyata.