Nasib Tenaga Kerja Outsourching

Nasib Tenaga Kerja Outsourching

Perusahaan outsourching belakangan ini dibuat harap-harap cemas oleh keputusan Mahkamah Konstitusi nan mengabulkan sebagian judicial review terhadap UU ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003. Uji materi ( judicial review ) ini diajukan oleh Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML), nan memang merupakan tenaga outsourching nan di sewa oleh PLN.

Tenaga kerja outsourching, ialah tenaga kerja nan tak memiliki perjanjian kerja atau interaksi ketenagakerjaan secara langsung dengan perusahaan nan menggunakan. Jadi, status tenaga oursourching bukanlah karyawan dari perusahaan oursourching nan menggunakan tenaganya. Dengan statusnya nan seperti ini, tenaga outsourching tak mendapat konservasi nan memadai terhadap hak-haknya.

Tenaga outsourching , biasanya tenaga kerja nan “disewakan” kepada perusahaan pengguna buat melakukan pekerjaan tertentu. Idealnya, tenaga outsourching ialah tenaga professional dengan jenis pekerjaan spesifik nan membutuhkan keahlian spesifik.

Namun dalam perkembangannya, tenaga outsourching di Indonesia juga dipekerjakan sebagai tenaga cleaning service, security, teller bank, costumer service dan lain sebagainya.

Perusahaan outsourching , biasanya mendapat komisi dari perusahaan pengguna. Komisi ini tentunya diambilkan dari alokasi gaji tenaga kerja oursourching , bukan dari kas perusahaan. Dengan demikian, tenaga kerja outsourching akan mendapat penghasilan nan lebih kecil ketimbang nan diterima oleh tenaga kerja tetap.



Sekilas Outsourching

Jumlah angkatan kerja Indonesia nan bisa terserap di bursa kerja, masih terbatas. Akibatnya pengangguran membludak. Dalam situasi nan demikian bargaining position pencari kerja amatlah lemah. Mereka bahkan mau melakukan pekerjaan apa saja dan digaji berapa saja, asal dapat tetap mendapat nafkah.

Secara tradisional, pada mulanya banyak pencari kerja di pabrik nan dapat mendapatkan pekerjaan dengan donasi pihak-pihak tertentu, terutama mandor pabrik. Sebagai balas jasa, tenaga kerja tersebut menyerahkan uang jasa sebagai komisi dengan besaran seperti nan telah disepakatinya kepada pihak nan telah mencarikan pekerjaan untuknya.

Koneksi buat mencari pekerjaan, memang bukan melulu pada pekerjaan-pekerjaan nan bagus. Bahkan buat menjadi buruh pabrik atau tukang bersih-bersih WC-pun, seseorang ternyata juga perlu koneksi. Dalam situasi nan demikian, peran agen, penghubung atau mediator tenaga kerja menjadi sangatlah strategis.

Perusahaan juga diuntungkan dengan cara ini. Setidaknya kontrol terhadap tenaga kerjanya dapat lebih mudah dilakukan. Terlebih ketika ada sebagian tenaga kerjanya nan mulai tak produktif atau membangkang, perusahaan tinggal meminta agen buat mencari ganti.

Alhasil tenaga kerja bersangkutan dapat diberhentikan, dengan tanpa mendapatkan hak-haknya seperti uang pesangon ataupun kesempatan buat membela diri. Hebatnya, pada saat nan bersamaan perusahaan juga dapat langsung mendapat tenaga penggantinya.

Lambat laun model penyediaan tenaga kerja nan seperti ini berkembang, manakala kebutuhan akan variasi tenaga kerja juga semakin kompleks. Kemudian dikenalah model bisnis outsourching ini, nan selanjutnya diikuti dengan lahirnya banyak perusahaan outsourching nan lebih professional di dunia, termasuk di Indonesia.

Perantara atau penghubung dalam bisnis tenaga kerja ini, selanjutnya dilakukan oleh perusahaan outsourching . Sekalipun dalam beberapa kasus, mediator atau penghubung perseorang juga tetap ada nan beroperasi.



Perusahaan Outsourching

Perusahaan outsourching biasanya memberikan pelatihan keterampilan eksklusif kepada calon tenaga kerja. Namun pelatihan ini tak diberikan secara cuma-cuma. Calon tenaga kerja harus membayar buat mendapat pelatihan dan sertifikat kerja tersebut. Setelah menjalani pelatihan, calon tenaga kerja baru dapat ditempatkan di perusahaan-perusahaan nan membutuhkan.

Perusahaan outsourching juga harus memiliki jaringan ke banyak perusahaan. Hingga ketika ada perusahaan nan membutuhkan tenaga kerja, maka perusahaan outsourching dapat langsung menyediakannya dalam waktu nan nisbi singkat. Semakin luas jaringan ke perusahaan-perusahaan, maka akan semakin besarlah perusahaan outsourching tersebut.

Perusahan nan membutuhkan tenaga kerja biasanya lebih suka merekrut tenaga kerja melalui jasa perusahaan outsourching . Perusahaan tinggal memberikan daftar kualifikasi tenaga kerja nan dibutuhkan pada perusahaan outsourching, dan urusan beres.

Perusahaan juga tak perlu repot membuat surat perjanjian kerja (SPK) dengan masing-masing tenaga kerja, tetapi cukup membuat kontrak kerja dengan perusahaan outsourching .

Perusahaan banyak diuntungkan dengan cara ini, sebab dia tak terbebani tanggung jawab buat memenuhi segala hak tenaga kerjanya. Karena tak ada SPK dengan tenaga kerja, maka perusahaan dapat lepas dari kewajibannya buat memberikan hak-hak normatif Negara kerja.

Termasuk pula kewajiban buat menyediakan asuransi, tunjangan hari raya, pesangon, perlop dan lain sebagainya. Pola kolaborasi nan demikian memang sangat menguntungkan perusahaan pengguna tenaga kerja dan perusahaan penyedia tenaga kerja (perusahaan outsourching ). Namun bagaimana dengan nasib tenaga kerja outsourching itu sendiri?



Nasib Tenaga Kerja Outsourching

Tenaga kerja outsourching , ialah pihak nan paling dirugikan dari model kolaborasi nan seperti ini. Keberadaannya tak lebih dari sekedar komponen dari suatu mesin industri. Bila tak produktif lagi, tinggal dicopot dan diganti. Mereka tak memiliki kepastian dalam pekerjaannya, sebab dalam kerja nan mereka lakukan, mereka tak memiliki status nan jelas.

Perusahaan pengguna tak perlu menghitung masa kerja tenaga outsourching , hingga perusahaan tak perlu memberikan kenaikan gaji secara berkala berdasar masa kerja mereka. Karena tak berstatus sebagai pekerja tetap, maka perusahaan juga tak perlu mengikutsertakan mereka dalam kepesertaan asuransi. Selain itu, perusahaan juga tak perlu memberikan tunjangan-tunjangan lain.

Perusahaan outsourching dapat memberhentikan tenaga outsourching sewaktu-waktu, tanpa perlu membayar kompensasi apapun. Hal inilah nan paling disukai perusahaan pengguna jasa outsorching . Ketika bisnis sedang ramai, mereka dapat memperbanyak tenaga kerja secara mudah. Manakala bisnis sedang seret, mereka dapat mengurangi jumlah tenaga kerja secara murah, tanpa mengeluarkan biaya pesangon.

Sistem Outsourching , menjadikan tenaga kerja sebagai obyek. Kedudukannya dianggap sama seperti bahan standar atau mesin industri. Sebagai bahan baku, dia harus memiliki kualitas baik, harga nan kompetitif, dan ketersediaan pasokan nan lancar. Sedangkan sebagai mesin industri, tenaga kerja harus efektif dan efisien.

Tentu saja itu tak manusiawi. Bagaimanapun tenaga kerja harus ditempatkan sebagai subyek. Sebab mereka ialah pelaku nan terlibat aktif dalam suatu proses industri. Selain itu mereka juga manusia, nan memiliki tanggung jawab pokok nan tak berbeda dengan manusia lainnya.

Mereka harus menghidupi keluarganya, mempersiapkan masa depan nan baik buat anak-anaknya dan juga harus melakukan hubungan sosial dengan lingkungannya. Tanggung jawab nan seperti ini tentunya tak dipunyai oleh mesin-mesin pabrik, karenanya tak pantaslah buat mendudukkan mereka sebagai obyek dalam suatu interaksi industri.



Pengaturan Outsourching

Putusan MK diatas secara tegas melarang obyek pekerjaan tetap nan dikerjakan secara rutin buat di- outsourching -kan. Dengan demikian outsourching di Indonesia hanya diperkenankan buat pekerjaan-pekerjaan nan sifatnya tak tetap dan tak rutin. Hal ini dilatari oleh pandangan buat lebih memanusiakan tenaga kerja outsourching , dengan kejelasan status ketenagakerjaannya.

Status ketenagakerjaan nan jelas, akan membantu memastikan masa depan pekerja dan membuka peluang baginya buat mengalami peningkatan karir. Selain itu, tenaga kerja juga tak perlu lagi dibayangi rasa takut buat kehilangan pekerjaannya sewaktu-waktu. Hak-hak normatifnya juga terlindungi, kebebasannya dalam menjalankan ajaran agama atau keyakinannya juga akan lebih terjamin.

Tenaga outsourching, kemudian hanya diperuntukkan bagi pekerjaan-pekerjaan nan menuntut keahlian tertentu. Karena itulah perusahaan outsourching tak lagi dapat menyewakan tenaga kerja buat menyelesaikan pekerjaan rutin harian pada suatu perusahaan. Anggaran inilah nan mengancam keberadaan perusahaan-perusahaan outsourching abal-abal, nan sebenarnya hanya berposisi sebagai calo tenaga kerja.

Namun bagi perusahaan outsourching professional, nan menyediakan tenaga-tenaga professional berkualifikasi dan memiliki keahlian khusus, kebijakan ini justru menjadi angin segar. Karena public akan dapat segera mengetahui mana perusahaan outsourching abal-abal dan mana nan profesional.