Majapahit - Candi nan Bisu

Majapahit - Candi nan Bisu

Akhir-akhir ini Mahapahit lebih tampak sebagai suatu reklame karikaturar dibandingkan bagian dari sejarah Indonesia. Majapahit tampak sebagai cemooh diam-diam para pelaku bangsa, akan sesuatu nan tak pernah mereka hidup serius. Seolah ingin benar-benar mengenyahkan Majapahit sebagai bagian Indonesia ini, maka keberadaan kisah tentang kerajaan ini tenggelam di balik intervensi anti sejarah hindu-budha nan tengah menggelayuti pokok kebangsaan Indonesia.

Bhineka Tunggal Ika, salah satu jargon nan artinya berbeda tapi satu dan terlahir pada era Majapahit, lenyap hilang di balik diskursus baru di Indonesia, yakni Arabisasi nusantara, penampilan Islam Indonesia nan lebih cenderung kepada copy paste budaya, dan melupakan ajaran Agama Islam nan intinya ialah akhlak karimah, berganti dengan kekerasan kepada mereka nan berbeda.

Menghilangnya Majapahit dari pembicaraan orang Indonesia, sama saja melupakan tentang bagaimana kerajaan Indonesia selanjutnya seperti Demak dan Banten berdiri. Melupakan Majapahit hanya sebab itu kerajaan Hindu/Budha pada awalnya, melupakan bahwa Majapahit pun pada era terakhirnya merupakan kerajaan Hindu/Budha/Islam.

Para Wali penyebar ajaran Islam, merupakan golongan dalem dari Majapahit, sehingga kesan ignorant alias ketidakpedulian kepada Majapahit sama saja mengkhianati semangat mengapa Islam tumbuh dan berkembang di Indonesia, yakni semangat meng- upgrade kebaikan.

Sejarah Majapahit terlupakan dari sisi liturgis pula, ini dapat dibilang sebagai buah dampak Orde Baru nan mencoba menanamkan kesan, bahwa Indonesia itu Majapahit semata, dan presiden nan berkuasa merupakan perlambang penaklukan nusantara, dari Jawa kepada luar Jawa. Tidak heran seorang pemikir Bennedict Anderson menyayangkan pendekatan Pesiden Soeharto terhadap luar Jawa dimirip-miripkan dengan pendekatan Patih Gajah Mada pada luar Jawa, bagi nan tak mau takluk dan tunduk, akan diwicitrasenakan, alias ditumpas dan dihabisi, begitulah kisah Aceh berlangsung, kisah Timor berlangsung.

Pada akhirnya Majapahit dikenang sebagai buah nan pahit. Wawasan nusantara nan diwariskan oleh Majapahit, merupakan wawasan nan juga pahit. Bila pandangan ini diteruskan, ini berbahaya bagi keberlangsungan NKRI.

Kerajaan Majapahit, dengan ibukota di Jawa Timur, berkembang pada akhir dari apa nan dikenal sebagai 'zaman klasik' Indonesia. Ini merupakan periode agama-agama Hindu dan Buddha berdiri sebagai pengaruh budaya nan dominan. Dimulai dari munculnya kerajaan pertama Hindu di nusantara pada abad ke-5 di Jawa Barat, dan zaman klasik Indonesia ini telah bertahan selama lebih dari satu milenium, berakhir pada Majapahit di abad ke-16 awal, lalu dimulailah era baru kesultanan Islam pertama Jawa di Demak .

Legenda mengatakan bahwa peradaban dan kebudayaan Hindu diperkenalkan ke Jawa pada tahun 78 M oleh Resi Aji Saka. Angka ini sering dikaitkan dengan Agastya, seorang kudus berasal India selatan. Citra sang kudus ini tak berbeda dengan citra Dewa Neptunus dalam penampilan di suatu candi di Jawa Tengah, Agastya juga diakui sebagai Shiwa nan tengah menitis. Legenda ini kemudian juga dikaitkan dengan kejayaan Majapahit.



Majapahit - Rahasia Kedatangan Hindu-Budha

Cara bagaimana kebudayaan Hindu / Budha ditransmisikan ke Indonesia masih belum sepenuhnya dipahami. Apakah oleh Majapahit atau tidak. Ada beberapa teori-teori nan lebih tua namun jadi pertanyaan besar, menjelaskan perihal imigrasi dan kolonisasi oleh pedagang India nan bahkan dapat sebaliknya terjadi, pedagang Indonesia berkoloni di India dan menyebarkan ajaran Hindu / Budha.

Terdapat catatan orang Indonesia berlabuh ke banyak pelabuhan dengan kapal-kapalnya, walau bukan sebagai penakluk, misalnya pernikahan pangeran Jawa dengan puteri kerajaan di Campa. Namun tak catatan nan menyebutkan sebaliknya bahwa orang India berlayar keluar dari India sebagai perwakilan kerajaan lantas melakukan kolonisasi. Bila sahih teori itu, maka kerajaan Sriwijaya, atau Majapahit merupakan kerajaan diskriminasi dari kerajaan Hindu di India. Siapa keluar siapa nan masuk di Indonesia tak pernah jelas benar.

Fakta tentang Majapahit dan kerajaan-kerajaan lain ditambah lagi fenomena nan mengejutkan bahwa kerajaan dengan peradaban tua nan berkaitan dengan Hindu di Indonesia berasal dari Kutai di timur Kalimantan (Borneo). Jauh menusuk di peradaban dalam hutan, dibandingkan dengan kota pelabuhan nan dekat dengan India sendiri, seperti Malaka, atau Meurake.

Batu prasasti, ditulis dalam bahasa Sansekerta dan berasal dari sekitar tahun 400, mencatat tentang Mulawarman seorang Raja nan memerintah di sana. Pada waktu nan sama, di Jawa Barat, terdapat sebuah kerajaan bernama Tarumanegara, apakah ada kaitannya dengan keberadaan Majapahit? Tentu saja bila Anda berjumpa dengan seorang Dayak di Kalimantan bahwa sejatinya berdasarkan sisi leluhur mereka bersaudara dengan orang Sunda, tapi itu dari sisi folkor dan bukan arkeologis.

Kembali kepada permasalahan Hindu tadi, mengapa bila faktornya ialah kerajaan dan ajaran nan datang dari utara malah membuat pos di dalam pedalaman hutan Kalimantan. Lalu melupakan Malaka nan sejak Jin berkuasa di Cina pada awal-awal abad masehi merupakan pelabuhan nan ramai dengan aktivitas Maritim? Berbeda dengan Majapahit.

Inilah sisi rahasia sejarah Indonesia nan berkenaan dengan kebenaran Majapahit nan dapat Anda konfirmasikan kepada para sejarawan nan mudah-mudahan tak terpatok di batu-batu dan galian nan mereka lakukan saja. Sebagai satu-satunya cara buat memahami sejarah Indonesia. Apalagi sekadar melihat-lihat candi.



Majapahit - Candi nan Bisu

Melalui studi mengenai candi dan prasasti kuno, memang bisa diuraikan oleh para sejarawan sebuah kronologi nan cukup koheren buat periode-periode kerajaan, termasuk Majapahit. Pelacakan garis besar dan semacam time line, kekuatan nan berkuasa di abad ke 8 dan 9 Jawa Tengah nan rupanya masih mengabur pula.

Menurut prasasti nan dikenal paling awal, berasal dari 732 M, ada seorang raja bernama Sanjaya beragama Hindu, nan menyatukan kerajaan Jawa termasuk mungkin Majapahit dan keturunan nan dicatat dalam prasasti-prasasti selama dua abad berikut.

Masih berkenaan dengan Majapahit, tak lama setelah munculnya Sanjaya, dinasti Sailendra menyandang predikat sebagai otoritas paling tinggi di dataran selatan. Sailendra itu penganut agama Buddha Mahayana, agama nan menginspirasi mereka buat memulai salah satu program pembangunan nan paling ambisius dikenal sejarah pembangunan candi-candi .

Dalam waktu hanya satu abad mereka menugaskan pembangunan sejumlah besar monumen-monumen keagamaan, beberapa candi termasuk majestik, dan dibangun dari blok blok batu vulkanik. Di antaranya Candi Kalasan, Sari, Sewu, Sojiwan, Candi Mendut, Ngawen, Pawon, serta 'kuil gunung' raksasa Borobudur, sebagai salah satu dengan arsitektur keajaiban dunia. Sebatas itu saja, dan tak dapat bicara banyak tentang apa nan terjadi di Jawa saat itu, termasuk apa nan terjadi pada Majapahit.

Hingga pertengahan abad ke-9, sebuah aliansi pernikahan antara seorang putri dan seorang Raja Sailendra dari dinasti Sanjaya tampaknya telah mengakibatkan berakhirnya pemerintahan Sailendra di Jawa. Pada waktu nan sama, Shiwa besar candi di Prambanan dibangun, mungkin sebagai monumen buat mengembalikan kejayaan dinasti Sanjaya-Syailendra namun tak sukses berdiri lagi. Setelahnya Kediri berdiri, lalu Singashari berkuasa hingga akhirnya muncul kisah pendirian kerajaan di tepian kali Brantas pada 1293 yakni Majapahit.

Zaman keemasan terjadi saat Kerajaan Majapahit berdiri. Karena di Majapahit pula wawasan nusantara diperkenalkan. Tidak ada suatu bangsa nan hebat tanpa mengenal wawasan terhadap jejak bangsanya sendiri di suatu wilayah. Apa nan dilakukan Gajah Mada, dengan ekspedisi pamalayu nya sebanding dengan Shih Huang Ti nan menyatukan Suku Han China, kepada wilayah nan sekarang kita kenali sebagai RRC. Begitupun apa nan dilakukan Gajah Mada sendiri, terhadap apa nan sekarang dikenali dan berdiri sebagai NKRI.