Antara Feminisme dan Falosentrisme dalam Novel Pada Sebuah Kapal

Antara Feminisme dan Falosentrisme dalam Novel Pada Sebuah Kapal

Berbicara mengenai koleksi cerita , maka akan banyak hal nan dapat kita perbincangkan. Daei mulai cerita-cerita lisan nan berasal dari tradisi masyarakat setempat sampai cerita nan sudah dikemas dengan perbedaan makna kekinian, seperti novel atau cerpen.

Novel atau cerpen biasanya lebih mudah diterima sebagai media hiburan sekaligus media edukasi sebab dengan membaca, itu sama halnya kita juga belajar buat memahami kehidupan dari sudut pandang nan lain.

Pada pembahasan artikel kali ini, kita akan berbicara mengenai koleksi cerita bergenre sastra serius nan mungkin dapat memotivasi kita buat lebih memahami hakikat kehidupan nan selama ini kita jalani. Tentu saja, dengan melihat berbagai hal nan juga menjadi struktur pembangun cerita.

Berikut ini ialah beberapa cerita nan menginspirasi, dengan aliran sastra serius nan tak lekang oleh zaman.



Getaran Cinta Seorang Tunadaksa dalam Novel Biola Tak Berdawai

Dibuka dengan sebuah quotes nan menyentuh di bagian cover, Biola Tak Berdawai sebuah novel karya Seno Gumira Ajidarma hadir ke hadapan Anda buat memaparkan kehidupan seorang anak tunadaksa.

Novel Biola Tak Berdawai merupakan hasil adaptasi dari film dengan judul nan sama. Walaupun berasal dari skenario film, namun novel Biola Tak Berdawai ini memiliki karakteristik khas tersendiri jika dibandingkan dengan novel lainnya, seperti sudut pandang penceritaan dilihat dari seorang anak tunadaksa.

Film Biola Tak Berdawai sendiri merupakan karya penulis skenario dan pengarah adegan Sekar Ayu Asmara, film ini memenangkan lima piala dalam tiga festival film nan berbeda di tiga Negara. Film Biola Tak Berdawai merupakan film apik nan enak ditonton, sedangkan novel Biola tidak berdawa i merupakan novel nan cantik dan bermutu tinggi.

Anda mungkin akan menemukan adegan-adegan nan mirip antara film dan novelnya, namun kedalaman rasa nan timbul akan berbeda. Tak ada salahnya Anda membaca novel Biola tidak berdawai atau menonton filmnya dulu, sebab novel dan filmnya saling melengkapi.

Sinopsis Biola Tak Berdawai

Dewa, seorang anak tunadaksa berumur delapan tahun, tinggal di rumah panti asuhan bernama Rumah Asuh Ibu Sejati. Banyak bayi-bayi nan sebab orang tua nya malu atau tak sanggup mengurus anak-anak nan mempunyai lebih dari satu cacat, menitipkannya di rumah panti tersebut.

Renjani, ibu angkat Dewa, bahu membahu bersama Mbak Wid buat mengasuh, mengurus, dan menghadapi banyak kematian bayi-bayi stigma di rumah panti tersebut. Renjani dan Mbak Wid memiliki masa lalu kelam nan ingin ditebus lewat panti tersebut.

Renjani, ialah seorang penari nan diperkosa oleh guru tarinya sehingga hamil dan memutuskan buat menggugurkan kandungannya. Bagi Renjani, Dewa ialah pengganti anaknnya. Sedangkan, Mbak Wid ialah anak seorang pelacur nan telah menggugurkan kandungannya selama enam kali. Mbak Wid berusaha menebus dosa-dosa ibunya.

Meskipun Dewa ialah anak tunadaksa, namun dapat merasakan cinta dari Renjani, jiwa Renjani telah menyentuh jiwa Dewa. Sehingga Dewa mengalami kemajuan seperti merespon Renjani nan sedang menari, sebab itulah Renjani memutuskan mengajak Dewa ke sebuah resital musik di Prambanan.

Dalam sebuah Resital Musik Renjani dan Dewa berjumpa dengan seorang pemuda bernama Bhisma. Bhisma dan Renjani saling jatuh cinta, namun Renjani nan masih belum dapat berdamai dengan masa lalunya menafikan Bhisma.

Bagi Bhisma, Dewa ialah biola tidak berdawai. Terciptalah sebuah lagu berjudul biola tidak berdawai buat Renjani dan Dewa. Sayangnya, Renjani meninggal global sebab kanker rahim nan dideritanya.

Biola Tak Berdawai dan Global Pewayangan

Novel ini mengisahkan empiris kekinian nan diramu dengan global pewayangan, yaitu kisah Mahabarata. Tokoh-tokoh dalam novel ini memiliki peranan dalam kisah Mahabarata.

Cerita pewayangan mungkin ialah dongeng lampau, dengan membaca novel ini Anda akan diajak menikmati kembali cerita-cerita bijak global pewayangan nan nilai moralnya masih dapat kita ambil dalam kehidupan sehari-hari. Jangan lupa menyediakan tissue sebelum membaca novel ini, sebab akan menguras air mata Anda.



Antara Feminisme dan Falosentrisme dalam Novel Pada Sebuah Kapal

Feminisme bukanlah sebuah pemahaman nan berasal dari konsep tunggal sehingga tak ada definisi feminisme secara spesifik. Kalaupun ada definisinya, atau perubahan pandangan tentang hal tersebut, hal itu lebih disebabkan oleh fakta historis dan budaya, persepsi, serta perilaku.

Akan tetapi, definisi feminisme nan sudah menjadi konvensi di sebagian masyarakat ialah kepedulian akan tekanan dan pendayagunaan terhadap perempuan dalam lingkungannya, baik dari segi pekerjaan maupun penyadaran aksi atas tindakan laki-laki dalam mengubah situasi.

Dalam novel Pada Sebuah Kapal karya N.H.Dini, diceritakan seorang tokoh bernama Sri nan bekerja sebagai seorang penari nan merasa tertekan atas tindakan suaminya, Charles Vincent sehingga pada suatu hari, ketika ia sedang mengadakan perjalanan ke luar negeri, ia menjalin interaksi dengan seorang laki-laki bernama Michel.

Dengan menggunakan sudut pandang nan berbeda; sudut pandang Sri pada bagian pertama dan sudut pandang Michel pada bagian kedua, N.H.Dini memberikan suasana nan berbeda pada saat menceritakannya.

Novel nan aku lihat sebagai usaha mengusung tema emansipasi perempuan ini terlihat dari pekerjaan Sri nan kian hari kian maju, yakni dari seorang penari hingga dapat menjadi seorang pramugari.

Sri nan kemudian lebih memilih Michel, bahkan sampai melakukan interaksi badan nan seharusnya tak dilakukan oleh seorang perempuan nan sudah bersuami, daripada suaminya sendiri merupakan sebuah pandangan feminisme nan menawarkan kekuatan bagi seorang perempuan buat lebih memberontak pada tekanan nan dilayangkan suaminya, baik hal itu dilakukan si suami secara sengaja maupun tidak.

Pandangan inilah nan kemudian memperkuat posisi perempuan sebagai seorang nan tertindas oleh konduite keras suaminya, namun dapat memberontak dengan kekuatan nan terdapat di dalam dirinya, yakni dengan mendobrak tabu nan selama ini dikonvensikan oleh masyarakat; seorang isteri hanya dapat menurut pada suaminya tanpa dapat mengubah apa pun dari suaminya itu, karena di sini lelakilah nan berkuasa, seperti terdapat dalam kutipan berikut.

Selama tiga bulan kami menjelajah negeri-negeri Swis dan Prancis, di kota-kota di mana ada kawan-kawan nan sanggup menerima kami bermalam. Umumnya kota-kota higienis dan ramah. ... Aku tak sempat berlepas lelah di bangku-bangku di pinggir taman atau di tepi kali Seine sambil menghirup kehidupan nan terus berlangsung di sekitar. Di kota Paris itu saya sekali lagi menjadi ekor Charles, ... (hlm. 181)

Akan tetapi, kita bisa melihat adanya kefalosentrisan nan keluar, entah sengaja atau tidak, dari karya N.H.Dini ini, yakni pada saat Sri merasa sangat membutuhkan afeksi dan kelembutan dari suaminya sehingga ia mencari kelembutan itu dari lelaki lain, yakni Michel.

Bahkan pada bagian eksklusif ia kemudian membandingkan perlakuan antara Michel nan sangat lembut dengan Charles nan kasar dan merasa berkuasa. Hal tersebut tentu saja menimbulkan pandangan bahwa seorang perempuan, pada dasarnya, sangat membutuhkan sosok lelaki nan dapat menjaga, menghargai, dan memberinya kenyamanan.

Hal tersebut menimbulkan pertanyaan; sebenarnya konsep seperti apa nan ada dalam pikiran N.H.Dini mengenai perempuan? Apakah perempuan itu sejatinya dapat melahirkan feminisme secara utuh, yakni sama sekali dapat berdiri sendiri dan dapat melakukan apa pun sinkron kehendaknya terhadap lelaki, atau malah seorang perempuan sejatinya memang sosok nan membutuhkan lelaki sehingga novel Pada Sebuah Kapal ini sebenarnya bukan merupakan wujud usaha pengeksistensian diri perempuan, melainkan kritik terhadap kaum lelaki dalam memperlakukan wanita.

Kemudian, jika dilihat dari hasil kefeminisan tokoh Sri dalam novel ini, tentu saja kita dapat menilai kalau feminisme nan seperti digambarkan N.H.dini tidaklah baik jika dijalankan dalam kondisi berumah tangga karena pada akhirnya, rumah tangga Sri dan Charles menjadi berantakan.

Oleh sebab itu, novel ini sepertinya akan lebih sinkron jika dianggap sebagai kritik bagi para lelaki ‘keras’ dalam memperlakukan perempuan sebagai sosok nan sejatinya mesti diahargai daripada sebagai usaha pengeksistensian diri perempuan.

Selain itu, kita juga dapat melihat adanya wujud N.H.Dini nan menjelma dalam tokoh Sri dan penceritraan nan sangat gamblang tentang hubungannya dengan Michel sehingga aku melihat adanya kekuatan nan begitu besar dari novel ini buat mendobrak sisi tabu ‘perselingkuhan’ nan kemudian dijadikan pembenaran oleh kaum wanita sebagai dampak kekerasan kaum lelaki.

Namun, seperti nan sudah aku jelaskan di atas, batas antara feminisme dan falosentrisme dalam novel ini masih sangat absurd. Oleh sebab itu, konsep perempuan seutuhnya pun bagi aku masih sangat kabur batasannya.