Latar Belakang
Sebuah penelitian berawal dari adanya rasa ingin tahu pada seseorang, sehingga orang tersebut berusaha buat menjawab rasa ingin tahunya, agar menjadi tahu dan mendapatkan kebenaran akan sesuatu nan menjadi pertanyaannya.
Ada banyak hal nan melatar belakangi sebuah penelitian. Latar belakang penelitian biasanya bermula dari rasa ingin tahu nan mendalam atas suatu hal, rasa penasaran, ingin menggali sebuah nilai, dan lain sebagainya. Latar belakang itulah nan kemudian memunculkan adanya sebuah penelitian.
Kiat Menulis Latar Belakang Penelitian
Latar belakang masalah dalam penelitian ialah suatu alasan mengapa penelitian itu harus diadakan atau alasan mengapa sang peneliti melakukan penelitian itu. Setiap sesuatu niscaya mempunyai latar belakang, begitupun dalam penelitian.
Sebuah penelitian tak akan lahir tanpa adanya latar belakang masalah. Latar belakang penelitian berisi segala sesuatu nan dihadapi individu atau kelompok (calon peneliti). Sesuatu itu menimbulkan keinginan buat mengkajinya, dengan berusaha mengetahui penyebabnya dan juga mengetahui cara penyelesaiannya.
Latar belakang penelitian berisi rumusan tentang berbagai fakta. Dari fakta-fakta itu sang peneliti akan menyusun pertanyaan-pertanyaan nan belum dijawab dalam rumusan awal. Dengan kata lain, peneliti ingin mengembangkan fakta atau mencari fakta baru.
Setelah menemukan latar belakang dari masalah nan akan diteliti, barulah kita merumuskan masalah-masalah itu dalam bentuk pertanyaan. Ada beberapa tips buat merumuskan latar belakang masalah:
- Carilah masalah sinkron dengan disiplin dan minat bidang keilmuan nan kita geluti. Kita harus fokus pada bidang nan kita kuasai. Karena jika tidak, kita akan kesulitan di tengah jalan sebab terkendala pemahaman kita nan kurang atas sebuah masalah nan tak kita kuasai.
- Mempertinggi frekuensi membaca dan mengkritisi bacaan. Dengan banyak membaca, kita akan menemukan fakta-fakta baru mengenai penelitian kita. Dengan melakukan kritik terhadap bacaan itu, akan muncul banyak pertanyaan tentang kemungkinan adanya fakta baru nan akan memperkaya penelitian kita.
- Sosialisasi diri dan membuang jauh sikap etnosentrisme. Dalam melakukan penelitian, hendaknya kita selalu berusaha menjadi bagian nan tak terpisahkan dengan objek nan kita tekiti. Kita harus sebisa mungkin membaur dengan objek penelitian kita dan membuang jauh-jauh sikap egoisme dalam diri kita. Karena penelitian bukan dilakukan buat mencari pembenaran, melainkan mencari kebenaran.
- Merumuskan latar belakang masalah dalam sebuah penelitian ialah langkah awal menuju penelitian. Tanpa merumuskan masalah, penelitian kita tak akan berjalan lancar dan akan melenceng jauh dari tujuan penelitian itu.
- Latar belakang masalah akan melahirkan rumusan masalah, dan rumusan masalah itulah nan akan menjadi tolak ukur penelitian kita. Maka semakin banyak latar belakang masalah dan fakta-fakta nan ingin kita ketahui, semakin banyak pula rumusan masalah nan harus kita temukan jawabannya ketika melakukan penelitian.
Contoh Latar Belakang Penelitian
Berikut Anda dapat melihat bagaimana contoh sebuah latar belakang penelitian . Uraian latar belakang penelitian ini merupakan penelitian budaya nan menggunakan metode penelitian kualitatif. Anda dapat jadikan contoh latar belakang penelitian berikut sebagai surat keterangan dan panduan.
Latar Belakang
Kebudayaan merupakan refleksi dari sebuah kenyataan nan ada di dalam masyarakat, sebab di dalam masyarakatlah budaya itu berada. Indonesia, nan merupakan negara maritim mempunyai banyak budaya nan memiliki ciri nan beragam. Namun bukan berarti memiliki banyak budaya, Indonesia dapat dikatakan negara nan berbudaya dan menjadikan budaya nan ada sebagai bukti diri dirinya.
Terkadang minimnya informasi mengenai budaya membuat masyarakat tenggelam dengan budayanya masing-masing, serta selalu mengutamakan dan menganggap baik budayanya sendiri. Walaupun demikian bukan berarti budaya nan berada di luar budayanya juga merupakan budaya nan baik secara mutlak. Hal tersebut disebabkan, sebab budaya bisa mencakup segala aspek hayati manusia dan boleh dikatakan bahwa kebudayaan merupakan disiplin keilmuan nan "serakah", sebab segala hal nan terkait dengan manusia hampir diklaim sebagai kebudayaan. Namun, tak berarti bahwa kebudayaan ialah sebuah "keranjang sampah", walaupun semua hal bisa masuk di dalamnya.
Kebudayaan ialah kenyataan pilihan hidup, pilihan budaya positif maupun budaya negatif. Budaya positif dan budaya negatif akan selalu ada sepanjang manusia ada. Lebih lanjut, bila kita mengetahui budaya nan ada di luar budaya kita, baik itu budaya nan positif dan budaya nan negatif, akan mempersempit keinginan kita buat terjebak dalam etnosentrisme.
Sikap etnosentrisme, ialah pandangan seseorang nan ketat terbatas pada kebutuhan sendiri, dan tak efektif berurusan dengan orang lain (Ember dan Ember, 1996:16). Dari pengertian nan dikemukakan oleh Ember dan Ember, maka dalam hal-hal tertentu, etnosentrisme memang baik, sebab individu ataupun kelompok akan menghargai kebudayaannya secara sadar. Sebaliknya etnosentrisme juga sering dicap negatif, manakala seseorang atau kelompok memaksakan kehendak pada pihak lain bahwa budayanya sendiri nan hebat.
Bertolak dari anggapan di atas, dan tanpa bermaksud buat terjebak dalam sikap etnosentrisme, penelitian nan penulis angkat ini ingin mengungkapkan sebuah budaya nan dapat dikatakan sebagai budaya nan abstrak, berupa gagasan-gagasan manusia, pengetahuan tentang hidup, etos nan menyangkut nilai-nilai dan kebiasaan buadaya melalui hubungan hayati manusia dan simbol-simbol nan digunakan dalam berbudaya (Endraswara, 2003:5).
Budaya bukan hanya sekedar tumpukan rambang fenomena, atau bukan sekedar Norma nan lazim, melainkan tertata rapi dan penuh makna (Endraswara, 2003:3). Menganalisis konsep kebudayaan perlu dilakukan dengan pendekatan dimensi wujud dan isi dari wujud kebudayaan. Menurut dimensi wujudnya, kebudayaan mempunyai tiga wujud, dan diantaranya wujud sebagai benda (Sulaeman, 1998:12).
Menurut Kroeber dan Klukhon (1950), kebudayaan terdiri atas berbagai pola, bertingkah laku mantap, pikiran, perasaan dan reaksi nan diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbol-simbol nan menyusun pencapaiannya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia, termasuk di dalamnya perwujudan benda-benda materi; pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi cita-cita atau paham, dan terutama keterikatan terhadap nilai-nilai. (Sulaeman, 1998:11).
Budaya juga tak lepas dari pengaruh komunikasi, sebab keduanya mengandung hubungan sosial antar manusia. Proses hubungan sosial pada dasarnya ialah suatu proses komunikasi. Yakni proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang atau komunikator kepada orang lain atau komunikan dalam wujud simbol (Effendy, 1998:14).
Adalah Tabut sebagai salah satu dari wujud budaya nan berkembang di Provinsi Bengkulu, nan sudah ratusan tahun dilaksanakan oleh masyarakat nan tergabung dalam kelompok Kerukunan Keluarga Tabut. Menurut Ensiklopedia Islam, Tabut pada mulanya berarti peti kayu nan dilapisi dengan emas sebagai loka buat menyimpan manuskrip Kitab Taurat nan ditulis di atas batu. Namun dalam budaya Tabut Bengkulu nan merupakan hasil cipta dari berbagai pengaruh budaya luar, menjadi berubah fungsi. Tabut di sini di simbolkan sebagai peti matinya Husein bin Ali bin Abi Thalib.
Bentuk peti wafat nan disusun bertingkat-tingkat merupakan perpaduan budaya antara budaya India dengan budaya di Bengkulu. Hanya saja sudah disesuaikan dengan budaya orisinil dan penganut islam di Provinsi Bengkulu. Dengan kata lain, budaya Tabut muncul melalui proses akulturasi dan asimilasi dari bangsa India, sebagai pembawa pengaruh budaya Tabut ke Bengkulu.
Awal mulanya budaya Tabut bersumber dari negeri seribu satu malam, Irak. Budaya ini berkembang dikarenakan penyesalan nan dirasakan oleh kaum Syi'ah, yakni golongan pendukung dan pengikut Ali bin Abi Thalib serta keturunannya, nan sering kali di sebut Ahlulbait. Nama Syi'ah secara bahasa berarti "pengikut", berasal dari istilah Syi'at Ali ("pengikut Ali", "partai Ali"). Syi'ah terbagi menjadi tiga kelompok besar. Kelompok besar tersebut ialah Syi'ah Duabelas imam, Syi'ah tujuh imam (Isma'iliyyah), Syi'ah lima imam (Zaydiyyah).
Bentuk penyesalan kelompok Syi'ah tersebut mereka lakukan dengan cara menganiaya diri di muka umum. Mereka melakukan ini sebab perampasan hak keturunan Ali dan penganiayaan pasukan Yazid bin Muawiyah bin Abu Sofyan, nan mengakibatkan terbunuhnya cucu Rasulullah, yaitu Husein bin Ali bin Abi Thalib pada waktu perang di padang Karbala Irak. Mereka memperingatinya selama 10 hari pertama bulan Muharam. Selama kurun sepuluh hari itu ditetapkan sebagai masa duka cita bagi kalangan Syi'ah.
Masa duka cita tersebut juga terjadi di Punjab, India. Perwujudan penganiayaan ini di kembangkan oleh kelompok Syi'ah tujuh imam (Isma'iliyyah) nan berpusat di India. Namun masa duka cita tersebut bukan dalam bentuk penganiayaan diri di muka umum, tetapi diganti dengan membuat bangunan kotak bertingkat.
Bangunan kotak bertingkat ini nan kemudian dinamakan Tabut. Dari Punjab inilah, budaya Tabut dibawa ke Bengkulu, oleh salah satu pelaut Punjab nan menganut Syi'ah tujuh imam pada tahun 1336 M atau 756/757 H. Setelah pelaut Punjab, budaya Tabut ini tetap dilanjutkan sampai pada salah satu keturunan dari pelaut Punjab nan bernama Syech Burhanudin pada tahun 1714 M.
....
(Penelitian Budaya Tabut pada Masyarakat Kerukunan Keluarga Tabut di Bengkulu)
***