Psikologi Humanistik
Pernahkah Anda membaca makalah psikologi ? Dalam makalah tersebut dijelaskan berbagai hal nan berkaitan dengan global psikologi. Begitupun dengan artikel ini. Dalam artikel ini akan dibahas sekilas mengenai alat ' Lie Detector '.
Dalam beberapa makalah psikologi diungkapkan bahwa emosi manusia itu begitu beragam. Bahkan ada nan mengatakan kalau beberapa emosi, seperti cinta, harapan, empati, dan rasa bangga cukup sulit diukur secara fisiologis.
Dengan begitu, emosi tersebut dianggap sebagai bukan emosi primer nan mempengaruhi manusia. Emosi nan dianggap sebagai emosi primer nan mempengaruhi manusia ialah rasa takut, marah, rasa sedih, rasa senang, rasa jijik. Emosi primer inilah nan paling mudah dideteksi.
Dari emosi primer itulah para pakar berusaha menciptakan satu alat nan mampu mendeteksi satu kebohongan. Kebohongan itu sendiri diharapkan terungkap melalui perubahan emosi saat dihadapkan kepada satu kondisi terstruktur lewat pertanyaan-pertanyaan nan disusun sedemikian rupa sehingga tersangka akan mudah digiring memasuki alur nan telah diskenariokan.
Sementara ini masih banyak nan mempercayai alat ukur kebohongan nan disebut dengan ' Lie Detector ' ini. Sebut saja ketika kasus penjagal manusia dari Jombang nan bernama Ryan sedang hangat-hangatnya.
Penggunaan ' Lie Detector ' menunjukkan kalau Ryan tak berbohong dan tak berusaha lari dari perkara nan sedang dihadapinya. Ryan bahkan terlihat tenang dan bersikap biasa-biasa saja ketika dites dengan alat pendeteksi kebohongan tersebut.
Kata 'Lie Detector' menyeruak lagi ketika tersangka korupsi seorang mantan petinggi Partai Demokrat, Nazaruddin, meminta dirinya diperiksa melalui alat pendeteksi kebohongan tersebut. Nama alat ini ternyata telah beberapa kali disebut-sebut terutama ketika ada kasus nan menarik perhatian masyarakat.
Makalah psikologi Tentang Pendapat Para Psikologis Terhadap ' Lie Detector '
Emosi manusia itu memang begitu beragam. Emosi inilah nan membuat manusia menjadi mahluk nan begitu dinamis. Masalah dapat terjadi sebab emosi nan tidak terkendali. Masalah juga dapat dipecahkan dengan mengendalikan emosi tersebut.
Keadaan nan sangat unik inilah nan menginspirasi adanya beberapa alat dan cara mendeteksi emosi manusia termasuk ' Lie Detector ' nan juga sering disebut sebagai ' Emotion Detector ' atau pendeteksi emosi manusia.
Hingga saat ini ' Lie Detector ' atau mesin pendeteksi kebohongan masih dipakai oleh beberapa pihak termasuk pihak Kepolisian. Hal ini dimaksudkan buat mengetahui apakah seorang tersangka benar-benar memberikan informasi nan sesungguhnya atau hanya memberikan keterangan 'sampah' alias kebohongan. Ternyata di beberapa makalah Psikologi terungkap bahwa para psikologis tak terlalu mempercayai apa nan terungkap dari hasil ' Lie Detector '.
Salah satu pakar kajian Ilmu Kepolisian UI nan bernama Reza Indragiri mengungkapkan bahwa alat pendeteksi kebohongan itu tidak mampu memberikan hasil nan tepat apakah seseorang benar-benar berbohong atau tidak. Beberapa emosi nan tidak mudah diterjemahkan secara fisiologis dengan mudah dapat dimanipulasi oleh orang-orang nan telah terlatih buat berbohong.
Apalagi seorang psikopat nan biasanya tidak merasa bersalah atas kekejaman dan kesalahan nan telah dilakukannya. Fakta dan bukti realitas tetap menjadi bahan primer nan akan mampu membuat seseorang tidak berkutik.
Jangankan sebuah alat nan bernama ' Lie Detektor ', satu bukti konkret saja dapat dibantah oleh seseorang nan tidak mempunyai hati nurani. Jadi kalau buat membuktikan apakah seseorang itu berbohong atau tidak, selain dari mobilitas tubuh dan pengamatan secara seksama, pencarian bukti otentik ialah jalan terbaik dan bukan dari sebuah alat bernama 'Lie Detector'.
Makalah psikologi mengenai hal ini cukup banyak dibahas. Apalagi di Amerika sendiri hasil dari mesin pelacak kebohongan ini tak dapat dijadikan bukti nan memberatkan terdakwa.
Makalah Psikologi Mengenai Kelemahan Hasil ' Lie Detector '
Perubahan psikologis seseorang nan sedang dihadapkan pada tuduhan nan akan menyeretnya ke dalam penjara selama bertahun-tahun niscaya akan membuat detak jantung meningkat, napas terasa tersengal, produksi keringat semakin cepat sehingga membuat orang tersebut seolah sudah menjadi seorang tersangka nan sebenarnya.
Padahal orang awam nan tidak biasa berbohong dan tidak biasa menghadapi masalah besar serta tidak biasa berhadapan dengan banyak orang dari pihak nan berwajib, tentunya akan merasa sangat gugup dan pikirannya tak fokus. Perubahan emosi nan mendadak ketika digiring menjawab pertanyaan nan mudah sekali pun pastilah membuat hasil nan diberikan oleh sebuah ' Lie Detector ' akan terkontaminasi.
Bagaimana dengan seseorang nan telah terbiasa berbohong dan juga sangat biasa menghadapi masalah hukum serta hayati di tengah-tengah para penegak hukum, ' Lie Detector ' tentunya bukanlah satu hal nan aneh. Dengan sangat mudah orang seperti ini memanipulasi ' Lie Detector ' itu.
Bisa saja buat mengakali gerakan mesin pelacak kebohongan tersebut, pada saat ditanya soal eksklusif agar terlihat bahwa jawabannya berbohong, dia menegangkan ototnya atau pun memikirkan sesuatu nan menyenangkan atau menegangkan agar memberikan imbas tertentu. Adolf Hitler, misalnya. Si ditaktor kejam ini sangat pandai berbohong sebab dia juga sangat pandai meyakinkan orang lain.
Hal inilah nan membuat banyak psikologis mengutarakan pendapatnya melalui makalah psikologi bahwa ' Lie Detector ' itu merupakan satu mesin pelacak kebohongan nan tidak dapat dipercaya 100%. Untuk mengetahui kebohongan seseorang, psikologis lebih menyakini melalui mobilitas tubuh dan tanda-tanda nan disebut ' micro expression ' nan khusus.
Gerakan selintas seperdua puluhl ima detik nan terlihat di antara dua alis dianggap sebagai salah satu gerakan nan tidak dapat dielakan ketika seseorang berbohong. Gerakan inilah nan coba dimanipulasi oleh seseorang nan dilatih atau melatih dirinya buat menjadi seorang pembohong profesional.
Teknik ' Poker Face ' nan membuat seseorang terlihat begitu netral dalam berekspresi ialah salah satu hal nan dikuasai oleh seorang pembohong terlatih. Untuk menghadapi orang-orang seperti ini, ' Lie Detector ' tidak dapat dijadikan satu-satunya alat mengetahui bahwa keterangan orang tersebut benar-benar dapat dipercaya atau tidak. Jadi berbagai cara dan teknik mengetahui kebohongan harus diterapkan agar data nan didapat benar-benar mampu mendukung bukti nan dibutuhkan.
Di antara teknik itu ialah merekam saat proses wawancara menggunakan ' Lie Detector ' sedang berlangsung. Rekaman itu nantinya dapat diulang-ulang dan dianalisa persis seperti nan terjadi pada film LIE TO ME. Kecurigaan nan ada ditindaklanjuti dengan pencarian barang bukti. Dengan demikian, ' Lie Detector ' dijadikan sebagai alat pembuka dan bukan sebagai alat primer verifikasi kebohongan.
Makalah Psikologi Mengenai Riwayat ' Lie Detector '
David W Martin, seorang ilmuwan dari North Carolina State University, menyebut ' Lie Detector ' sebagai ' Emotion Detector '. ' Emotion Detector ' ialah satu alat nan digunakan buat mendeteksi perubahan dan taraf emosi seseorang.
David W Martin mempunyai pendapat bahwa akan sangat sulit mendeteksi taraf emosi seseorang. Namun demikian, ternyata tubuh manusia menunjukkan tanda-tanda kebohongan dan memproduksi kelenjar dan volume darah nan berbeda ketika berada dalam kondisi nan berbeda.
Denyut nadi, keadaan kulit, dan mobilitas organ pernapasan menjadi berbeda ketika seseorang tertekan. Keadaan inilah nan mendasari pembuatan sebuah alat buat mendeteksi kebohongan seseorang terutama seseorang nan dianggap sebagai saksi kunci atau tersangka sebuah kejahatan.
' Lie Detector ' mulai diperkenalkan pada tahun 1920-an. Keyakinan bahwa adanya perubahan fisiologis dalam tubuh manusia ketika menghadapi keadaan eksklusif telah membuat banyak orang percaya bahwa 90% data dari ' Lie Detector ' akurat.
DR. Paul Ekman nan menulis buku TELLING LIES mengatakan bahwa dengan cara merekam sesi wawancara dengan menggunakan ' Lie Detector ' akan memberikan hasil nan lebih seksama lagi. Frekuwensi dari wajah, tubuh, dan suara akan membuat jajak atau analisa suatu pernyataan dari tersangka akan memberikan petunjuk data nan lebih jelas.
Hal ini sejalan dengan satu keyakinan nan juga sering dibahas dalam makalah psikologi bahwa kebenaran kata-kata seseorang itu sebenarnya 65% terlihat dari bahasa nonverbal nan tercermin dari mobilitas tubuhnya terutama gerakan nan tidak disadarinya.
Demikianlah makalah psikologi ini nan berisi informasi tentang alat 'Lie Detector'. Semoga tulisan ini menambah pengetahuan Anda akan ilmu psikologi.
Makalah Psikologi: Psikologi Humanistik
Ada tiga buah teori revolusi psikologi nan mempengaruhi pemikiran pernologis modern. Pertama, revolusi psikoanalisis, nan mempelajari manusia sebagai bentukan dari naluri-naluri dan konflik-konflik. Freud dalam psikoanalisisnya menitikberakan bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan tidak sadar dan irasional. Kedua, revolusi behaviorisme nan mencirikan manusia sebagai korban nan fleksibel, pasif, dan penurut terhadap stimulus lingkungan. Behaviorisme menekankan kecenderungan manusia dengan hewan.
Kemudian, muncul teori nan ketiga, yaitu psikologi humanistik ialah sebuah gerakan nan muncul dengan menampilkan citra manusia nan berbeda dari psikoanalisis maupun behaviorisme, yakni citra manusia sebagai makhluk nan bebas dan bermartabat nan selalu bergerak buat mengungkap eksistensinya dengan segala potensinya.
Psikologi Humanistik
Abraham Maslow ialah salah satu pencetus teori psikologi humanistik. Teori ini muncul sekitar 1950-an. Teori ini mengkaji manusia dari diri pribadinya, aktualisasinya, kesehatannya, harapannya, kreativitasnya, potensinya, individulitasnya, ego, dan keinginannya. Psikologi humanistik sendiri berpijak pada filsafat eksistensialisme sebuah genre filsafat nan mempermasalahkan manusia sebagai invidu, sebagai problema nan unik dengan keberadaannya. Tokoh-tokoh filsafat eksistensialisme di antaranya, Soren Kierkegaard, Albert Camus, dan Nietzsche.
Teori Psikologi humanistik nan dikembangkan oleh James Bugental menyimpulkan bahwa psikologi humanistik mencermati manusia dari dimensi loka dia tinggal. Lingkungan akan mempengaruhinya secara manusiawi. Bagaimanapun psikologis humanistik ini berpijak pada filsafat eksistensialis, jadi pendekatan ilmu nan diterapkan pada teori ini ialah kebebasan individu buat mengungkapkan pendapat dan menentukan pilihannya.
Ada lima dalil nan diungkapkan James Bugental dalam mempelajari psikologi humanistik.
Keberadaan manusia tak bisa direduksi ke dalam komponen-komponen.Manusia memiliki keunikan tersendiri.Manusia memiliki pencerahan akan dirinya dan mengadakan interaksi dengan orang lain.Manusia memiliki pilihan dan bertanggung jawab atas pilihannya.Manusia memiliki pencerahan buat mencari makna, nilai, dan kreativitas.Sedangkan, menurut Abraham Moslow, dasar ajaran psikologi humanistik adalah,
individu sebagai keseluran intergralketidakrelevanan penyedikan pribadi manusia disamakan dengan hewanpembawaan baik manusiapotensi kreatif manusiapenekanan pada kesehatan psikologisDalam teori psikologis humanistik, Snygges dan Combs, pakar fenomenologi, menyimpulkan bahwa empiris bukanlah sesuatu nan inheren pada suatu kejadian, melainkan persepsi manusia terhadap suatu kejadian.
Manfaat ilmu psikologi humanistik banyak digunakan dalam bimbingan konseling dan terapi. Yaitu, berupa bimbingan agar manusia dapat memahami dirinya, lingkungan dan potensi nan ada dalam dirinya.
Makalah-makalah tentang teori psikologi nan lain sudah sangat banyak di media online. Anda tinggal mengklik nama teori maka akan banyak macam situs. Ini hanya sebagian kecil makalah psikologi nan mengkaji teori psikologi humanistik. Semoga memberi kesadaran bagi Anda nan membacanya.