Tuanku Iman Bonjol dan Ide Purifikasi
Tekad Memerdekakan
Tokoh-tokoh pahlawan nasional itu mempunyai satu visi nan jelas, memerdekakan rakyatnya. Mereka berjuang dengan caranya sendiri sehingga mudah dipatahkan oelh Belanda. Sayang memang tema persatuan itu baru terdengar pada abad ke-20. Pdaa saat itu telah banyak pahlawan nan berguguran. Ada nan diasingkan jauh dari tanha kelahirannya, ada juga nan dihukum mati. Mereka telah berjuang dengan segenap jiwa dan sepenuh hatinya.
Pattimura angkat senjata dengan segala risiko nan ia hadapi. Begitu juga dengan para pahlawan dari Bali dan dari Palembang. Dengan gaya kepemimpinan dan sanggup mengerahkan banyak orang buat berjuang bersama, mereka berjihad. Rasa nasionalisme memang belum sampai ke jiwa kebersamaan. Mereka masih merasa harus memerdekakan wilayahnya dan hayati tentram kembali seperti sebelum Belanda masuk ke tanah air.
Siapa nan mau menjadi budak di negerinya sendiri. Mereka nan memiliki tanah dan semua kekayaan, namun, dengan licik dan pongahnya kaum penjajah mengambil semuanya tanpa ada residu sedikit saja. Sayangnya banyak anak negeri nan menjilat kaum penjajah ini sehingga perjuangan kadang kandas ditangan para pengkhianat nan mematahkan perjuangan di tengah jalan. Berjuang itu melelahkan. Doa telah dipanjantkan. Hayati dengan keadaan nan sangat menyedihkan pun telah dijalani. Namun, Tuhan mungkin tak menghendaki kebahagiaan di atas global terjadi.
Mereka wafat syahid menemui Sang Pencipta dengan senyum. Berbagai taktik perjuangan pun telah diterapkan agar dapat memenangkan setiap peperangan. Perlengkapan kaum penjajah memang sangat berbeda. Belanda mempunyai persenjataan mukhtahir nan dapat membunuh banyak orang dalam sekali terjangan peluru. Sedangkan orang Indonesia? Mereka tak mempunyai semua itu. Mereka pun belum dapat bernegosiasi dengan bangsa lain nan sekiranya mempunyai persenjataan.
Orang Indonesia pada saat itu bagaikan kaum nan begitu sederhana. Kalaupun ada pejuang nan dapat merebut persenjataan dari kaum penjajah, mereka tak dapat menggunakannya. Mereka benar-benar buta dengan perkembangan persenjataan. Setelah beberapa lama, barulah mereka mampu memanggul senjata. Apalagi ketika abad ke-20 telah terbit. Banyak anak bangsa nan mempunyai pendidikan, Di antara mereka bahkan bersekolah di luar negeri, baik sebab beasiswa dari penjajah ataupun pergi sendiri sebab mempunyai hak istimewa sebagai bangsawan.
Para kaum terpelajar inilah nan berusaha menggerakkan rasa nasionalisme. Walaupun telah banyak wilayah kerajaan kecil, sedang atau besar nan dikebiri hingga para rajanya diasingkan ke negeri yang jauh di seberang, anak-anak negeri nan konfiden bangsa ini akan merdeka kalau bersatu, terus mengobarkan semangat itu. Buku-buku fiksi mulai bermunculan dengan aneka cerita mendukung perjuangan. Sajak-sajak nan membuat darah muda mendidih juga mulai bertebaran hingga ke pelosok negeri. Sudah banyak juga nan menyadari bahwa sine qua non organisasi pemersatu.
Kelahiran Budi Utomo dianggap sebagai suatu tonggak persatuan bangsa nan luar biasa. Liga perdagangan dan liga dalam bentuk lain, mulai mau bergabung dan berjuang bersama. Orang-orang kaya dan para kaum terpelajar tak mau berpangku tangan. Mereka tahu kalau negeri ini harus diselamatkan sebelum bangsa sendiri semakin terpuruk. Pendidikan nan dianggap sebagai jalan perentas menuju kemerdekaan semakin digiatkan. Banyak nan menjadi guru walau tak dibayar.
Para guru inilah nan membuat perubahan nan cukup fundamental pada tataran pemikiran bagaimana membuat bangsa ini dapat berdiri sama tinggi dengan bangsa lain. Metode pedagogi dan semua hal nan berhubungan dengan mencerahkan akal budi, diberikan. Anak-anak di seluruh negeri harus belajar dan membaca semua situasi nan akan memungkinkan kemerdekaan dapat diraih. Saat-saat genting menjelang kemerdekaan memang ada sedikit perselisihan antara kaum tua dan kaum muda.
Namun akhirnya menyadari bahwa tanpa adanya persatuan dan kesatuan, negeri ini tak dapat merdeka. Sumpah Pemuda nan telah lebih dahulu lahir cukup ampuh mempersatukan hati anak bangsa nan berasal dari budaya dan daerah nan berbeda-beda. Dapat saja mereka saling menonjolkan dirinya dan ingin menjadi nan terdepan agar dikatakan sebagai pahlawan. Namun, mereka menyadari bahwa bersaing seperti itu tak akan memberikan hasil nan maksimal.
Rasa saling mengalah dan mengedepankan kepentingan bersama, telah membuat bangsa ini merdeka. Namun, perjuangan para pahlawan sebelum kemerdekaan itu lahir, tidak dapat dilupakan begitu saja. Tanpa adanya proses nan panjang sebagai anak bangsa nan ingin merdeka, belum tentu kemerdekaan itu dapat diraih. Semangat juang para pahlawan sebelum kemerdekaan itu perlu dikenang. Mereka ialah orang-orang pilihan nan mau mengorbankan keinginan pribadi demi kemaslahatan orang banyak.
Sifat tak mau menang sendiri dan tak mau mementingkan kebahagiaan diri sendiri adalh sikap pahlawan sejati. Mereka rela wafat demi pertiwi. Para pengikutnya nan setia sangat tahu hal itu. Oleh sebab itulah, para pengikut ini rela masuk hutan dan bersusah payah dalam melindungi pemimpinnya. Hebatnya lagi, para pemimpin nan mempunyai pengikut nan banyak ini ada di hampir seluruh penjuru tanah air. Dua antaranya ialah Pangeran Diponogoro dari Yogyakarta dan Tuanku Imam Bonjol dari Sumatera Barat.
Pangeran Diponegoro dan Ide Mesianistik
Umat Islam ialah musuh terbesar Belanda (dan penjajah) sepanjang sejarah penaklukkan Nusantara. Bagaimana tidak? Umat Islam selalu diajarkan tentang persamaan hak semua orang. Belanda, nan notabene berasal dari Barat dan menganut agama lain nan menindas umat islam, jelas dibenci oleh umat Islam. Dengan digerakkan ulama/kyai, umat Islam berhasil merepotkan Belanda. Semagat berjihad itu mengobarkan motivasi juang nan sangat besar. Mereka tahu kalau mereka mati, maka surga telah menanti.
Kita dapat melihat Pangeran Diponegoro. Meskipun dalam perjuangannya mencampurkan Islam dengan ide-ide nenek moyangnya dari Jawa (Pangeran Diponegoro mengaku mendapatkan restu Ratu Kidul), Pangeran Diponegoro terbukti berhasil menciptakan perang terbesar nan pernah dihadapi Belanda pada masanya, Perang Jawa nan berlangsung selama 5 tahun (1825—1830). Perang ini menewaskan jutaan rakyat Jawa nan berani memberontak Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Keyakinannya memang agak berbeda dengan apa nan diyakini secara murni dari ajaran Islam. Namun, apa nan dilakukannya demi negerinya tetap harus dianggap sebagai suatu perjuangan nan tidak dapat terlupakan. Ia nan membuat banyak kisah perjuangan ini semakin memberikan makna.
Pangeran Diponegoro disebutkan mampu mencetuskan ide mesianistik dengan berhasil. Umat Islam nan melihat kebobrokan penguasa (Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat saat itu diperintah sultan nan baru berusia 3 tahun dan jelas tunduk sepenuhnya pada Belanda) beranggapan, setelah kehancuran kerajaan mereka (dikuasai orang asing) niscaya muncul sosok penyelamat. Sosok penyelamat itu ialah Pangeran Diponegoro.
Tuanku Iman Bonjol dan Ide Purifikasi
Sementara Belanda kerepotan melawan Diponegoro di Jawa, di wilayah lain muncul gerakan Kaum Paderi pimpinan Tuanku Iman Bonjol. Gerakan ini melakukan pembersihan terhadap praktik-praktik kaum adat nan tak sinkron dengan ide wahhabiyah nan dianut mereka.
Ide wahhabiyah sendiri awalnya mengkritik buruknya moral penguasa dan berupaya buat mengembalikan Islam seperti pada masa Nabi Muhammad saw. Upaya tersebut dilakukan dengan cara menentang penguasaan mazhab dan memberantas hal-hal nan dianggap bid`ah. Belanda nan ingin memanfaatkan momentum, memihak kaum adat sehingga nan terjadi ialah pertempuran kaum Paderi melawan kaum penjajah.
Dua agresi sekaligus membuat Belanda kelimpungan. Demi mengatasi masalah, Belanda berbuat curang. Salah satu pihak penyerang, kaum Paderi, didesak membuat perjanjian “gencatan senjata” agar Belanda dapat fokus pada Perang Jawa. Seandainya saat itu ada pertukaran informasi antara Tuanku Iman Bonjol dan Pangeran Diponegoro, dapat dipastikan bahwa Belanda dapat hancur dan mengalami kerugian parah.
Dua gerakan di atas disusul gerakan-gerakan lain. Gerakan-garakan ini menunjukkan bahwa pencerahan umat Islam buat memerangi penjajah semakin kuat. Apalagi Belanda dianggap sebagai kafir (bukan umat beragama) sehingga mudah saja bagi para ulama buat menggerakkan pengikutnya melawan penjajah kafir ini. Itulah kisah tokoh-tokoh pahlawan nasional.