Setelah Ikhlas, Harus Bersyukur dan Bersabar
Semua ibadah nan dilakukan seorang Muslim, pada hakikatnya merupakan perwujudan dari akhlak terhadap Allah . Artinya, apapun amal nan dia perbuat menjadi cerminan dari tujuan kehadirannya di muka bumi, yaitu buat beribadah dan mengabdi kepada-Nya (QS Adz-Dzâriyât, 51: 56).
Makna ibadah atau darma ini sangat luas cakupannya, tak sekadar menyangkut aspek ritual semacam shalat, zakat, puasa, haji, membaca Al-Quran, dan sebagainya- saja, tetapi juga mencakup semua aspek sosial -mulai dari pernikahan, perdagangan, sampai mengurus sebuah negara.
Dengan demikian, tak ada satu pun aspek kehidupan seorang Muslim nan dapat dilepaskan dari Allah Swt. Hal ini seakan menegaskan kembali bahwa Islam ialah agama nan sangat “teosentris”. Allah Yang Maha kuasa menjadi pusat keimanan dan semua orientasi nilai.
Batasan Menegakkan Akhlak Terhadap Allah
Seseorang tak dianggap menegakkan akhlak terhadap Allah , apabila perbuatan nan dia lakukan bukan untuk-Nya. Seseorang pun tak dianggap menegakkan akhlak terhadap Allah, apabila nan dia lakukan bertentangan dengan peraturan nan telah digariskan-Nya.
Inti akhlak terhadap Allah, dengan demikian, ialah lurusnya niat dan selarasnya perbuatan dengan aturan-Nya. Kedua hal mendasar ini terangkum jelas dalam kalimat syahadat atau persaksian nan selalu kita baca setiap hari dalam shalat.
“ Asyhadu allâ ilâha ilallâh, wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhû wa rasûluh .” Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad ialah hamba dan utusan-Nya.
Syahadat Tauhid dan Syahadat Rasul
Kalimat syahadat ini terbagi ke dalam dua bagian, yaitu syahadat tauhid dan syahadat rasul. Kalimat “Tiada Tuhan kecuali Allah” terdiri atas penolakan (negasi) dan penetapan (afirmasi). Ungkapan pertama syahadat ialah “tiada Tuhan” atau “tiada sesuatu bentuk Tuhan apa pun”, dengan penetapan nan paripurna “kecuali Allah”.
Inilah dasar ketauhidan, bahwa tiada sesuatu pun nan layak disembah, dijadikan sumber motivasi, kecintaan, dan diyakini kebenarannya, kecuali Allah Swt, baik itu dalam zat maupun sifat-Nya. Dalam tataran aplikasi, syahadat tauhid akan melahirkan keikhlasan dalam beramal.
Semua nan dilakukan seorang Muslim diniatkan buat meraih keridhaan Allah. Shalat kita, ibadah kita, hayati dan wafat kita hanyalah buat Allah semata. Sikap inilah nan menjiwai dan melandasi tegaknya akhlak terhadap Allah.
Adapun syahadat Rasul -sebagai bagian integral dari syahadat tauhid- ialah menjadikan Rasulullah SAW dan selebaran nan dibawanya sebagai acuan dan model dalam bertindak. Artinya, setiap amal ibadah nan kita lakukan harus sinkron dengan nan dicontohkan dan diperintahkan Nabi Muhammad SAW.
Jadi, dalam sebuah amal, ikhlas saja tak cukup. Amal nan kita lakukan harus sinkron pula dengan anggaran Allah dan Rasul-Nya. Perpaduan antara lurusnya niat dan sesuainya perbuatan dengan syariat, dengan demikian, menjadi faktor primer nan menjiwai dan melandasi tegaknya akhlak terhadap Allah Swt.
Setelah Ikhlas, Harus Bersyukur dan Bersabar
Untuk membangun akhlak terhadap Allah tidak hanya ikhlas saja, kita juga harus selalu bersabar dan bersyukur atas apa nan ditetapkan Allah terhadap diri kita. Karena cara ini kita dapat menjadi hamba nan disayangi Allah. Inilah nan dilakukan oleh Nabi Ibrahim as. hingga ia ditetapkan Allah sebagai kekasih-Nya. Sebagaimana nan tercantum di dalam surat An-Nisa, “Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kekasih-Nya.” (QS. An-Nisa: 125)
Di dalam kitab Nasa-ihul Ibad dijelaskan, bahwa ada penyebab Nabi Ibrahim as. dianggkat menjadi kekasih Allah. Berikut ini petikan riwayatnya.
Suatu hari Nabi as. ditanya oleh salah seorang pengikutnya. “Wahai Ibrahim, apa nan menyebabkanmu diangkat menjadi kekasih Allah? Lalu Nabi Ibrahim as. menjawab , “Aku diangkat menjadi kekasih Allah sebab tiga perkara. Pertama, Aku lebih mendahulukan perintah Allah dari perintah yag lain. Kedua, saya tak perna gundah gulana dengan apa nan telah ditetapkan Allah terhadap diriku. Ketiga, saya selalu makan siang dan makan malam bersama dengan tamu”.
Bila diperhatikan riwayat ini, tampak sekali nan menyebabkan nabi Ibrahim menjadi kekasih Allah adalah, sebab ia selalu bersyukur dan bersabar. Lihat saja di alasan nan kedua dan ketiga.
Alasan kedua menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim as. selalu sabar dengan apa nan ditetapkan Allah terhadap dirinya. Ia tidak akan pernah protes kepada Allah. Yang dilakukan nabi Ibrahim ialah bersabar dengan ibadah nan diperintahkan Allah kepada dirinya. Sebagai contohnya, ketika ia meninggalkan anak (baca; Ismail) dan isterinya (Siti Hajar) di tanah nan tandus dan tidak ada air, yaitu tanah kudus mekah.
Ketika meninggalkan anak dan isterinya, ia tidak pernah memiliki rasa was-was. Karena nan menyuruhnya buat meletakkan anak dan isterinya di Mekah ialah Allah Swt. Sehingga ia pun dengan sabar menunggu misteri apa nan diberikan Allah terhadap dirinya dan keluarganya. Ternyata, kesabaran itu membuahkan hasil nan luar biasa. Anak dan isterinya menemukan telaga air zam-zam. Air nan sangat mulia dan memiliki khasiat nan luar biasa.
Alasan ketiga, yaitu berbicara tentang syukur. Nabi Ibrahim as. selalu menjadi orang nan bahagia berbagi dengan orang lain. Inilah tanda syukur nan luar biasa. Ketika memiliki kenikmatan harta ia tidak luput buat mengajak orang lain buat menikmati harta nan diberikan Allah kepadanya. Sebagai buktinya, ia selalu mengajak orang lain makan siang dan makan malam bersamanya. Dalam catatan sejaarah, nabi Ibrahim as. mencari orang nan siap makan bersamanya hingga berjalan 2-3 mil.
Alasan ketiga ini pula nan menyebabkan para malaikat cemburu dengannya. Hingga akhirnya, mereka meminta kepada Allah buat diizinkan menyaksikan amal apa nan dilakukan Ibrahim as. sehingga begitu mulia di sisi Allah. Ketika turun ke bumi dan ketemu dengan Nabi Ibrahim as. langsung diajak buat menikmati jamuan makan siang.
Sesampainya di rumah Nabi Ibrahim as. dipersilahkan buat menikmati jamuan nan sudah disiapkan. Ketika Nabi Ibrahim as. sedang asyik menikmati jamuan makanan, ia merasa heran kenapa kedua orang nan diajaknya makan tak memakan makanan nan telah disediakannya. Terjadilah obrolan antara Nabi Ibrahim dengan dua malaikat tersebut.
“Apa nan menyebabkan kalian tak memakan makanan nan dihidangkan? Apakah kalian tak suka dan ingin makanan nan lain?” tanya Nabi Ibrahim as.
“Bukan Ibrahim?” Jawab salah satu malaikat
“Lalu, kenapa tak dimakan? Marilah kita nikmati rezeki nan diberikan Allah.”
“Bukan kami tak mau memakan makanan nan kamu hidangkan, Ibrahim. Tapi kami ini memang tak dapat makan.” Jawab malaikat nan satu lagi.
“Maksudnya?” balas Ibrahim as. dengan cepat.
“Ibrahim! Sebelum kami mohon maaf. Kami ini sebenarnya bukanlah mahluk dari jenis manusia. Kami ialah malaikat Allah. Kami turun ke bumi ini tujuannya ialah buat melihat amal apa nan kau lakukan hingga begitu mulia di sisi Allah. Namamu selalu disebut-sebut Allah di depan kami. Jelas saja ini membuat kami cemburu. Kami ingin mengetahui apa kelebihanmu. Makanya kami memohon izin kepada Allah buat turun ke bumi melihat apa nan kamu lakukan.
Jika amal ini memang rutin kamu lakukan setiap hari, maka pantas sekali bila kamu begitu mulia di sisi Allah. Pasalnya, amal ini memang tak dapat dilakukan oleh malaikat. Kami hanya dapat melakukan amal nan memang ditugaskan kepada kami.”
“Tidak apa-apa. Aku memang selalu melakukan aktivitas ini. Aku memang selalu makan siang dan makan malam bersama dengan tamu. Ini sudah menjadi kewajibanku buat berbagi dengan orang lain atas nikmat nan diberikan Allah. Tentunya, setelah kebutuhan keluargaku terpenuhi, maka saya mengajak orang lain buat menikmati residu harta nan diberikan Allah Swt. Makanya, setiap hari saya mengajak orang makan siang dan makan malam bersamaku.”
Nah, dari sini menjadi jelas bagi kita. Untuk menjadi orang nan berakhlak kepada Allah, selain ikhlas dalam beribadah, juga harus memiliki sikap sabar dan syukur. Sabar dengan apa nan diberikan Allah terhadap diri kita. Juga, bersyukur dengan apa nan telah diberikan Allah Swt.
Maka pantas sekali, bila Umar bin Khattab mengatakan, apabila ia ditimpa musibah ia tetap memandangnya sebagai nikmat nan diberikan Allah kepadanya. Berikut petikan riwayatnya nan terdapat di dalam kitab Nasha-ihul ibad.
“Demi Allah, tidaklah Allah mengujiku kecuali di dalamnya terdapat empat nikmat nan lebih layak disyukuri. Pertama , masih untung Allah menguji diriku, bukan agamaku. Kedua , masih untung Allah memberikan ujian tak lebih besar dari ini, jika lebih besar tentu saya tidak sanggup menanggungnya. Ketiga , masih untung ujian ini tetap membuka keridha Allah terhadap diriku. Jika tidak, kepada siapa lagi saya meminta keridhaan. Keempat, masih untung Allah menyediakan pahala nan besar dibalik ujian nan diberikannya, yaitu pahala sabar.”
Inilah kajian sederhana tentang akhlak terhadap Allah . Semoga artikel ini bermanfaat.