Kanjeng Sunan
Cerpen Jawa
Cerpen Jawa sebenarnya memang tak berbeda dengan cerpen-cerpen lainnya nan bertemakan tentang kehidupan manusia, baik dari sudut ekonomi, sosial, maupun politik. Hanya saja cerpen Jawa lebih fokus pada karakter tokoh nan memang orang Jawa atau loka kejadian nan berkultur Jawa.
Pada umumnya, cerpen Jawa selalu berhubungan dengan global supranatural. Kisah-kisah klenik, mistis, maupun tradisional begitu banyak diusung. Namun tak sporadis pula beberapa cerpenis juga menonjolkan sisi keagamaan, baik itu kejawen maupun sufisme.
Penulis Cerpen Jawa
Beberapa cerpenis nan sering menulis cerpen-cerpen Jawa ialah Danarto, Kuntowijoyo, Romo Mangun, Ahmad Tohari, Joni Ariadinata, dan lain-lain. Masing-masing cerpenis memang memiliki keunikan tersendiri sehingga tak dapat dibandingkan satu sama lain. Namun, cerpen-cerpen mereka menawarkan rasa nan sama, yaitu budaya Jawa.
Dalam buku kumpulan cerpen bilingual “Malaikat Tak Datang Malam Hari”, Joni Ariadinata juga menyuguhkan beberapa cerpen nan khas Jawa. Salah satunya ialah cerpen “Kanjeng Sunan Ikut Bersama Kami”. Dari judulnya saja, Joni telah menunjukkan perbedaan makna Jawa nan amat kental, yaitu dengan adanya istilah ‘Kanjeng Sunan’.
Kanjeng Sunan
‘Sunan’ ialah gelar nan diberikan kepada 9 (sembilan) wali nan terkenal menyebarkan Islam di tanah Jawa. Dan istilah ‘kanjeng’ dilekatkan oleh masyarakat Jawa pada orang nan dihormati dan diteladani, seperti halnya para wali.
Dari kesembilan wali itu, wali nan paling dekat dengan kehidupan masyarakat Jawa ialah Sunan Kalijaga. Tak heran, kalau budaya-budaya keislaman nan masih diaplikasikan hingga kini oleh umat Islam di Jawa ialah warisan dari ajaran-ajaran Sunan Kalijaga.
Akan tetapi, pada cerpen “Kanjeng Sunan Ikut Bersama Kami”, kanjeng sunan nan dimaksud Joni bukanlah Sunan Kalijaga, melainkan Sunan Gunung Jati. Cerpen nan termuat pada buku terbitan DAR! Mizan ini menceritakan kehidupan pengajian sebuah kampung kecil bernama Japilus. Di kampung inilah terdapat dua tokoh agama nan amat disegani, yaitu Abah Haji Johar dan Wak Haji Aziz, namun keduanya berseberangan.
Abah Haji Johar mengajak jamaahnya buat rutin mengadakan ritual attakah, manakiban, dan qodiran. Sedangkan Wak Haji Aziz menawarkan ritual agama nan apa adanya, tanpa embel-embel membaca surah Al-Ikhlash seratus kali dengan gumaman keras.
Konflik Batin
Di sinilah konflik batin terjadi pada karakter tokoh nan dimunculkan, yaitu kakak beradik Kurnaedi dan Komaruddin. Kurnaedi nan sebelumnya rajin mengikuti jamaah Abah Haji Johar, tiba-tiba saja menghilang dan kemudian mengikuti pengajian Wak Haji Aziz. Para jamaah Abah Haji Johar pun menyebut Kurnaedi murtad, dan kemurtadannya dihubung-hubungkan dengan kedatangan Komaruddin.
Cerpen Jawa ini jelas menampilkan cerita nan unik, dengan konflik nan luar biasa dari para tokoh-tokohnya. Joni sukses membuat cerpen Jawa-nya begitu hayati dan menegangkan. Termasuk ending nan menggetarkan jiwa dan membuat pembaca buat terus mencari: Mana nan lebih sahih ajarannya, Abah Haji Joharkah atau Wak Haji Aziz?
Cerpen Jawa dalam Ranah Kesusastraan Jawa
Sampai sekarang ini, banyak orang nan sepakat dengan pendapat bahwa sastra Jawa merupakan semua jenis karya sastra nan ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa. Dengan demikian, cerpen Jawa pun seyogyanya merupakan cerpen nan ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa.
Sastra Jawa merupakan salah satu sastra daerah nan banyak disanjung sebab hampir seluruh penghuni kepulauan Indonesia didominasi oleh masyarakat Jawa. Awal mula muncul dan berkembangnya sastra Jawa ini dimulai pada abad ke-8 dengan bukti temuan berupa Prasasti Sukabumi nan ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa tertanggal 25 maret 804 Masehi.
Cerpen Jawa nan menggunakan bahasa Jawa tentu memiliki nilai keindahan nan sangat tinggi sebab mencerminkan budaya primordial nan sporadis dimiliki oleh kaum sastra lainnya nan bersifat modern dan kontemporer. Bahasa Jawa juga dianggap sebagai bahasa nan tinggi sebab ‘Jawa’ berasal dari Sansekerta nan artinya ‘tinggi’ atau ‘sempurna’. Bahkan dalam kebudayaan India, bahasa Sansekerta tersebt dipergunakan spesifik oleh kalangan kaum Brahmana dalam hal sakral dan berkepentingan dengan nilai-nilai agama.
Dengan demikian, cerpen Jawa memiliki loka spesifik nan dapat dicapai dalam ranah kesusastraan Jawa buat kemudian dikembangkan sebagai artefak budaya Jawa nantinya. Bahkan hal tersebut dapat menjadi salah satu tonggak dikibarkannya kembali bendera bahasa Jawa dalam ranah nan lebih luas.
Akan tetapi, banyak juga penulis nan berasal dari Jawa memasukkan berbagai karakter tentang kebudayaan Jawa sehingga terlihat bahwa sastra Jawa memiliki kedudukan nan tinggi di mata masyarakatnya, terutama masyarakat spesifik sastra Jawa.
Cerpen Jawa Sebagai Gambaran Diri Masyarakat Jawa
Cerpen nan dibuat dengan menggunakan bahasa Jawa bukan dibuat demi hiburan masyarakatnya saja, tapi juga buat memberikan pengalaman kebudayaan kepada pembacanya mengenai jati diri masyarakat Jawa nan sesungguhnya.
Sama halnya dengan kesusastraan daerah lainnya nan ada di Indonesia, sastra Jawa juga memiliki dua jenis karya nan berupa karya sastra klasik dan modern. Cerpen Jawa nan masih dibuat dengan menggunakan bahasa Jawa merupakan karya sastra klasik nan dapat menggambarkan gambaran diri masyarakat Jawa pada zaman karya tersebut dibuat.
Kalaupun karya sastra tersebut dibuat pada masa sekarang, maka hal itu membuktikan bahwa masih banyak orang nan ingin menghidupkan bahasa dan kebudayaan Sastra Jawa di ranah nan serba modern ini.
Dalam sastra Jawa atau cerpen Jawa klasik, pesan moral dapat didapatkan dengan berbagai macam bentuk hikmah nan tentu dapat dijadikan sebagai contoh atau suri tauladan masyarakat pembaca pada zamannya. Namun, cerpen Jawa nan ada saat ini justru dibuat hanya sebagai bukti bahwa kebudayaan Jawa pernah tinggal sejak zaman dulu dan turut memperkaya khasanah kebudayaan dan kesusastraan Indonesia.
Padahal, cerpen Jawa dan juga jenis karya sastra lainnya memiliki makna dan representasi nan lebih tinggi dan bernilai adiluhung daripada sekadar menjadi sebuah artefak. Oleh sebab itulah, dari sekian banyak sastra daerah nan ada di Indonesia, sastra Jawalah nan memiliki perkembangan cukup tinggi sehingga banyak naskah berbahasa Jawa tersimpan di Museum.
Sayangnya, sporadis sekali orang nan bemrinat buat mengkaji sastra lama tersebut sehingga menghasilkan berbagai hal nan dapat dijadikan contoh dan pesan moral bagi masyarakat zaman sekarang ini.
Sementara itu, isis cerpen Jawa biasanya berupa dongeng, fabel, atau cerita zaman dahulu nan mengisahkan hayati dengan latar istana sentris seperti halnya sastra klasik dari daerah lain. Dengan demikian, selain memberikan perbedaan makna nan kaya akan khasanah budaya Jawa, cerpen Jawa juga mampu menegaskan gambaran diri sebagai masyarakat Jawa nan mumpuni dan berkontribusi terhadap perkembangan kebudayaan di negara Indonesia.
Meskipun demikian, tak ada salahnya jika cerpen Jawa zaman sekarang dikemas lebih modern sehingga dapat diterima oleh berbagai kalangan masyarakat, baik tua maupun muda baik keturunan Jawa maupun tidak. Hal itu akan mampu menegaskan kepribadian bangsa Indonesia pula sebagai bangsa nan penuh dengan kekayaan sastrawi.