Langkah Praktis Menyusun Cerpen Narasi
Cerpen Narasi terdiri dari dua kata yaitu cerpen dan narasi. Cerpen merupakan singkatan dari cerita pendek sehingga beberapa pakar bahasa sering mendefenisikannya sebagai sebuah karangan nan dapat dibaca sekali duduk. Secara lebih spesifik cerpen bisa dicirikan sebagai sebuah karangan nan memiliki imbas tunggal dan fokus pada sebuah konflik.
Pengertian Cerpen Narasi
Narasi sering diartikan sebagai cerita. Secara sederhana definisi dari narasi ialah sebuah karangan nan menceritakan sejelas-jelasnya citra dari suatu peristiwa atau konflik. Oleh sebab itu, karangan narasi sering kita temukan pada cerpen, novel, dan karangan fiksi lainnya.
Namun, bukan berarti karangan narasi tak dapat kita temukan pada karangan non-fiksi. Karangan nonfiksi seperti memoar, kisah inspiratif, dan sejenisnya juga memakai karangan narasi. Ada tiga hal nan membangun sebuah karangan narasi, yaitu sebagai berikut.
- Berupa cerita atau kisah
- Unsur pelaku sangat menonjol
- Susunan nan sistematis
Jadi, cerpen narasi ialah suatu istilah nan timbul kemudian nan menggambarkan bahwa karangan tersebut ialah menceritakan tentang kisah fiktif nan fokus pada satu konflik dan tak terlalu panjang.
Fungsi karangan narasi sangat krusial dalam sebuah cerpen. Tanpa karangan ini cerpen akan terasa garing dan sepi. Karangan narasi membuat kita mampu merasakan kisah dalam sebuah tulisan. Karangan narasi juga memberikan nilai estetika, sehingga tulisan kita terlihat lebih semarak.
Jenis Karangan Narasi
1. Narasi ekspositorik (narasi teknis)
Narasi ekspositorik ialah sebuah narasi nan tersusun atas fakta dan data-data nan sebenarnya. Disusun dengan gaya bahasa nan logis berdasarkan fakta, tak memasukkan unsur sugesti di dalamnya dan harus objektif. Tokoh nan ditonjolkan biasanya hanya satu orang. Narasi jenis ini biasanya banyak ditemukan pada tulisan nonfiksi, seperti autobiografi, kisah inspiratif, dan sebagainya.
2. Narasi sugestif
Narasi sugestif ialah narasi nan mengandung nilai sugesti atau nilai terselubung nan disisipkan dalam karangan tersebut. Di sini pengarang mencoba menyampaikan pesan-pesan melalui kisah-kisah latif nan dirangkaikan lewat kata-kata. Biasanya kita temukan pada cerita-cerita fiksi, seperti cerpen narasi, novel, novelet, dan sejenisnya.
Langkah Praktis Menyusun Cerpen Narasi
Setiap penulis memiliki cara-cara tersendiri dalam membuat sebuah cerpen narasi. Kadang ada nan memulai dari satu tokoh, ada juga nan menyusun ending terlebih dahulu baru menyusun konflik dan sebagainya. Semua itu sah-sah saja, tergantung di mana kita merasa enjoy buat memulai menulis. Namun, secara sederhana bisa diuraikan sebagai berikut.
1. Menentukan sebuah tema nan menarik dan unik.
Terlebih dahulu tentukan tema apa nan akan diangkat menjadi sebuah cerpen narasi nan memikat. Temukan tema nan unik dari pengalaman pribadi atau orang lain. Dapat juga dari bacaan, tontonan, atau hal-hal lain nan mengusik khayalan kita.
2. Tetapkan pembaca sasaran.
Hal ini bermanfaat nantinya buat memfokuskan jalan cerita dan gaya bahasa nan dipakai dalam menulis sebuah cerpen narasi. Selain itu, juga bermanfaat buat menentukan nilai sugestif apa nan mau diselipkan dalam cerita ini nantinya.
3. Tetapkan tokoh, perwatakan, latar, dan sudut pandang.
Empat hal ini nantinya akan berperan krusial dalam menciptakan konflik dalam sebuah cerpen narasi. Semakin unik tabiat tokoh dan latar nan diciptakan maka konflik nan dapat dirancang akan semakin menarik.
4. Susun konflik dan alur cerita.
Konflik merupakan nyawa dalam sebuah cerpen narasi. Cerita tak akan hayati tanpa konflik nan unik.
5. Gambarkan peristiwa-peristiwa utama.
Peristiwa ialah penjabaran dari konflik dalam sebuah cerita. Tetapkan sebuah peristiwa primer nan akan terjadi dalam cerpen narasi tersebut.
Ini ialah langkah sistematis nan dapat ditempuh dalam menyusun sebuah cerpen narasi . Namun, buat menulis nan diperlukan hanyalah tindakan memproduksi kata-kata. Bukan mengurutkan setiap langkah-langkah. Jadi, segeralah menulis dari langkah manapun nan dianggap paling mudah. Abaikan urutan langkah di atas jika hal itu membuat kita semakin sulit buat mulai menulis.
Berikut ini akan diceritakan sekilas sebuah cerpen narasi nan berjudul "Baju, Sepatu, dan Lima Rupiah" karya Marga T, di dalam Cerpen Kompas Pilihan 1970-1980 .
Kalau saya kebetulan datang pagi dan dosen kebetulan belum datang, dan Sri juga terlambat,senang sekali saya berdiri di muka kebun nan gundul itu. Menjaga sinar matahari. Kadang-kadang saya bersandar pada tiang dan begitu saja menerawang langit-langit, memikirkan segala pikiran nan terpikirkan waktu itu. Sayang sekali kebun itu tidak terpelihara. Bila rumput-rumput sudah panjang, bukan dipotong, tapi malah dibakar oleh Pak Kebun. Pohon-pohon tidak ada. Cuma bunga-bunga serdadu di pinggiran menerpa pandangan: putih dan merah jambu. Melewati kebun, mata leluasa memandangi pasien-pasien tengah berjemur atau duduk-duduk. Ada sebuah kamar nan menarik perhatianku. Sebab, isinya cuma seorang. Perempuan tua. Rupanya penghuni lain sudah pulang dan pasien lain belum ada. Sebab, kebun itu tak luas, jelas terlihat olehku paras perempuan itu. Sudah tua. Keriput. Menurut suster Rosi: dia sakit kuning. Tapi, tak jelas. Pada kulitnya nan sawo matang. Mungkin terlihat juga bila saya memeriksa matanya.
Seringkali saya berdiri di situ memandangi perempuna itu. Macam-macam pikitan hinggap. Begitulah kalau sudah tua. Menurut suster: sporadis ditengok. Begitulah kalau sudah tidak berguna. Menyusahkan orang. Tidak dikehendaki. Suster Rosi membantah pendapatku.
"Mungkin juga keluarganya miskin sehingga tak mampu mengunjunginya tiap hari," kata suster.
"Ah, mana boleh jadi. Kuliner orang tua sendiri ditelentarakan begitu."
Dalam otakku, tak masuk akal bahwa orang dapat begitu miskin sehingga mengunjungi ibu nan sakit tak mampu.
Sudah seminggu saya gelisah dan kesal. Ada sebuah undangan kawin nan harus saya hadiri. Untuk itu, saya perlu pakaian dan sepatu. Karena semua pakaian pesta di lemari sudah pernah dipakai, maka saya membutuhkan pakaian biru dengan dasar putih. Memang pakaian itu bagus. Aku menyukainya. Tapi, justru ibu menyarankan itu, maka saya jadi tak menyukainya dan memutuskan: bagaimanapun tak akan memakainya. Masih ada pakaian hijau, kata ibu. Atau nan anggur. Yang cokelat dengan leher putih.
"Tidak," kataku keras kepala. "Saya harus mendapat pakaian baru. Ini kan pesta kawin, Bu. Dan, sudah hampir setahun, aku tak membuat pakaian pesta."
"Ya betuk," sahut ibu. "Tapi, soalnya: bukan tak boleh. Cuma tak ada uang. Uang sedang susah sekarang. Barang kali bulan depan, kalau ayah mendapat rezeki..."
"Aaah selalu alasan ibu seperti itu. Kalau aku mempunyai uang, tentu takkan aku minta pada ibu. Kan aku mesti sekolah. Sekolah. Kalau aku boleh bekerja, aku tentu akan mendapat uang. Dan, ibu tak pusing. Jadi, kan?"
Ibu sedih lalu pergi. Baju baru: tidak. Sepatu baru: juga tidak. Untuk kado: saputangan. Minyak wangi. Aduuuh! Kemanakah planning muluk-muluk itu? Mau beli blus biru sepati go-go. Teh-Servis.
Sudah niscaya saya terlambat. Kuliah kedua baru akan mulai jam sembilan atau setengah sepuluh. Aku jalan pelan-pelan. Di pintu gerbang rumah sakit, saya dengar langkah orang di belakangku. Wah, teman senasib: sama-sama telat. Aku menoleh seorang perempuan muda nan tak cantik, tengah berjalan menunduk.
"Mau besuk, Zus?" tanyaku iseng.
Perempuan itu mengangkat kepalanya lalu tersenyum dan berjalan di sampingku. Wajahnya hitam. Rambutnya kering. Bajunya lusuh dan tua. Sandalnya juga tua. Di tangannya ada sebuah keranjang rotan nan agak kotor. Berisi botol dan barang-barang lain nan tak saya perhatikan.
"Ia. Besuk itu..."
"O, sakit apa?"
"Sakit kuning. Sudah sebulan."
"O, sudah lama. Tiap hari kemari?"
""Tidak tentu," katanya memelas.
"Kalau ada ongkos bus, aku pergi. Saya tinggal dekat Megaria. Dari situ aku jalan ke loka bus. Lalu naik sampai kemari: seringgit. Pulang, seringgit. Jadi, lima rupiah. Tempo-tempo juga, kalau bagaimana, aku tak pergi. Sebab tak ada ongkos."
Wah, ini sesuatu nan baru bagiku! Bahwa orang tak mempunyai lima rupiah di dalam kantungnya ialah fenomena baru bagiku. Perempuan itu menyambung lagi.
"Habis tak ditengok, ya kasihan. Sering-sering susternya les. Jadi, tak dapat memberi air. Maka, aku bawakan air."
"O, umur berapa, Sus?"
"Dua delapan."
Aku mencoba tersenyum. Tidak berhasil. Kemiskinan telah membuat dia sepuluh tahun lebih tua. Mengerikan.
"Sudah kawin, Sus?"
"Sudah. Anak aku tiga. Yang besar: enam tahun. Yang kecil, enam belas bulan."
"Senang ya, punya anak."
"Ya."
Dia diam sebentar seakan menimbang-nimbang lalu cetusnya, "Tapi, aku sudah tak jalan sahih dengan suami saya. Habis dia di Tegal. Tidak pernah kirim uang buat anak-anaknya. Jadi, aku beli surat cerai di sini."
"Jadi, Sus nan bekerja?"
"Bukan. Bapak saya. Kuli ngapur. Begitulah. Kalau dekat-dekat perayaan, banyak kerja. Sekarang ini sedang menganggur. Saya sedang bingung memikirkan ingkos ibu. Sehari lima puluh rupiah. Malah semestinya seratus. Tapi, aku tak mampu: minta kurang. Boleh jadi hari ini ibu aku boleh pulang. Belum ada uang sepeser pun. Tadi cuma bawa lima rupiah."
Demikian sekilas mengenai cerpen narasi. Semoga informasi nan diberikan bisa bermanfaat bagi Anda dan menambah wawasan Anda dalam menulis sebuah cerpen narasi. Selamat mencoba.