Salah Siapa?
Salah satu kasus nan banyak ada dan berkaitan dengan anak kasus perdagangan anak . Kasus ini membuat anak bisa berpindah loka dari loka semula ia berada ke loka nan lainnya.
Sejatinya, anak ialah harta sekaligus karunia terbesar nan Tuhan berikan kepada setiap orang tua. Namun, sebagian orang tua dan oknum tidak bertanggung jawab salah dalam menafsirkan makna harta itu sendiri. Ya, mereka menganggap anak ialah “harta” nan dapat dipindahtangankan dan ditukar dengan seikat uang.
Kasus perdagangan anak atau lebih luasnya lagi perdagangan manusia ( trafficking ) merupakan salah satu kasus nan perlu mendapatkan perhatian lebih dari pemerintahan kita. Mengingat dari berbagai penelitian nan telah dilakukan, pelaku terbanyak dalam kegiatan perdagangan anak di kawasan Asia Tenggara ialah Indonesia.
Bentuk Pendayagunaan Terburuk
Kasus perdagangan anak merupakan bentuk pendayagunaan terburuk nan diterima anak. Bagaimana tidak? Anak-anak nan merupakan korban kasus ini sama sekali tak mendapat konservasi hukum. Mereka dieksploitasi buat berbagai pekerjaan tanpa upah atau lebih tepatnya dijadikan budak, pendayagunaan seksual dengan dijadikan pelaku kegiatan prostitusi, atau dieksploitasi buat melakukan berbagai pekerjaan ilegal seperti menjadi pengemis dan kurir narkoba.
Dilihat dari kacamata hukum, sebenarnya banyak konservasi atau agunan nan dapat membebaskan anak dari kasus perdagangan ini. Namun, undang-undang hak asasi manusia, undang-undang konservasi anak, undang-undang kesejahteraan anak, hingga undang-undang hukum pidana nan seyogianya mampu memberikan konservasi dan rasa aman, belum dapat berbuat banyak dalam menangani kasus ini.
Marjinalisasi dan Krisis Ekonomi
Anak-anak dan wanita merupakan salah satu pihak termarjinalisasi dalam budaya masyarakat kita. Berbagai restriksi seringkali menimpa kaum wanita. Tidak boleh inilah, tak boleh itulah, membuat wanita menjadi pihak nan paling tersudutkan. Pun dengan anak-anak, berbagai kekesalan nan dialami orang tua selalu dilampiaskan pada anak dengan melayangkan berbagai perlakuan nan seharusnya tak diterima oleh anak. Child abuse adalah salah satu bentuk marjinalisasi terhadap anak.
Merasa bahwa anak-anak dan kaum wanita ialah harta tidak bernilai dalam keluarga dan lingkungan, para orang tua dan oknum lebih memilih buat menukargulingkan mereka dengan sejumlah uang. Selain itu, alasan klasik berupa ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, lagi-lagi membuat para oranng tua dan oknum tadi melakukan hal nan sama.
Semakin buruknya keadaan ekonomi nan dialami oleh banyak anggota masyarakat tidak ayal menjadi penyebab primer kasus perdagangan anak ini. Hal ini menjadi dasar adanya hal ini. Hal ini pula nan menjadi tujuan dan cita-cita semua kasus nan memperdagangkan anak ini.
Harapan buat memperbaiki kondisi ekonomi nan ada menjadi sebuah hal pemicu. Anak seakan menjadi sebuah komoditas barang nan bisa buat diperjualbelikan. Semua pihak nan terkait merasa tidak sungkan lagi buat melakukannya.
Pihak penjual anak tentunya juga menginginkan adanya ganti uang nan harus a terima sebagaiimbalan telah menjual anak tersebut. Ia melakukan aktivitas menjual ini bukan sebagai hal nan tidak memiliki niatan memperoleh uang. Ia juga tidak memberikan anak secara Cuma-Cuma atau gratis. Semuanya menginginkan uang.
Pihak penjual tentunya juga memiliki alasan dan motif lain dalam melakukan perdagangan anak ini. Tentunya memang hal primer ialah hal ekonomi. Misalnya ia merasa ahwa harus melakukan hal itu, jika tak dilakukan maka ia tidak akan bisa bertahan hidup. Karena memang dengan menjual anaklah ia bisa buat memperoleh laba secara material.
Dari pihak pembeli pun juga tetap berkedok pada motif ekonomi. Kebanyakan dari mereka ingin memperoleh laba lebih dari hal membeli anak ini. Jika memang anak nan dibeli dijadikan sebagai tenaga pembantu maka tujuannya ialah ingin buat mendapatkan tenaga pembantu dengan upah nan ringan atau bahkan gratis. Karena memang ia sudah mengeluarkan uang sebagai kapital dalam membeli anak ini.
Atau jika pihak pembeli ingin menggunakan jasa dari si anak maka tetap saa nan ada di balik semuanya ialah hal ekonomi. Ingin mendapatkan laba nan besar secara materi. Ingin mendapatkan uang nan lebih banyak lagi dari pada uang nan telah dilekuarkan sebagai kapital saat membeli anak tersebut.
Salah Siapa?
Semakin meningkatnya kasus perdagangan anak di Indonesia, terlebih pasca bala nan terjadi di berbagai daerah, menuntut berbagai pihak buat lebih serius dalam menangani kasus ini.
Jika negara nan diamanati oleh Undang-undang Dasar 1945 pasal 34 ayat 1 dan pasal 33 ayat 3 mampu menjalankan tugasnya buat memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar serta memepergunakan bumi, air, dan kekayaan alam lain nan terkandung di dalamnya buat kemakmuran rakyat, mungkin kasus perdagangan anak tak akan pernah terjadi.
Negara. Negara memang bisa dijadikan sebagai alasan penyebab primer maraknya kasus nan memperdagangkan anak ini. Negara ialah suatu institusi nan memiliki tugas dabn tanggung jawab buat memenuhi urusan semua rakyatnya.
Negara memiliki tugas buat menyediakan semua kebutuahn bagi rakyatnya. Baik pemenuhan ini bisa dilakukan secara langsung atau pun secara tak langsung. Terlebih dalam hal ekonomi. Negara memiliki tanggung jawab nan besar buat bisa memenuhi kebutuhan masyarakatnya secara ekonomi.
Ketika Negara tak mampu atau gagal melakukan tugasnya ini yaitu dalam memenuhi kebutuhan urusan ekonomi ini maka rakyat akan mencari jalan keluar buat hal ini.
Anggota masyarakat nan merasa tidak bisa tercukupi hal ekonominya dengan baik oleh Negara akan melakukan segala hal baik itu bisa dilakukan atau bahkan bahwa hal tersebut ialah tindak kejahatan. Semuanya bisa saja tetap berkedok pada masalah ekonomi.
Setelah melakukan hal ini yaitu memperdagangkan anak, terkadang memang tidak semulus nan dibayangkan. Banyak pula kita temui bahwa kasus seperti ini telah terbongkar oleh aparat polisi. Telah banyak ditangkap sindikat perdagangan anak mulai dari kelas teri sampai kelas kakap.
Namun melihat kondisi peradilan nan ada di Indonesia, seakan kebenaran bisa dengan mudah dibeli. Para pelaku bisnis ini bisa dengan mudah menyuap para aparat buat melepaskan mereka dari jeratan hokum atau hanya sekedar membuat kasus mereka menguap ke udara tanpa ada tindak lanjut nan nyata.
Tentu kita tidak lama telah mendengar banyaknya hakim dan jaksa nan begitu mudah buat dibeli. Mereka ialah aparat nan bertugas buat menjaga tegaknya kebenaran di masyarakat. Merekalah nan harus mengatakan bahwa nan sahih ialah sahih dan salah ialah tetap salah.
Namun memang saat ini hokum seakan begitu mudah buat dibeli. Asalkan memiliki uang maka bisa begitu mudah buat mengubah kebenaran. Yang salah bisa dibuat menjadi sahih dan juga sebaliknya nan sahih bisa diubah menjadi salah.
Atau bahkan ketika memang sudah dinyatakan bersalah pun, seakan hokum masih bisa buat dipermainkan .kita tahu juga banyak kasus tentang para terpidana nan sudah berada di dalam penjara namun tetap bisa mendapatkan fasilitas seperti nan ada di hotel berbintang.
Para terpidana ini masih bisa hayati enak dan terjamin, makan enak, tidur nyaman dan tidak terganggu oleh adanya tali jeruji besi nan mengurung mereka. Penjara tidak ubahnya menjadi rumah nan berpindah bagi mereka.
Hal inilah nan membuat banyak pelaku bisnis perdagangan anak ini tidak takut akan hokum nan ada di negara kita. Mereka sudah merasa konfiden jikalau memang suatu saat mereka akan tertangkap maka akan menjadi hal nan mudah bagi mereka buat membeli hokum tersebut.
Terlebih memang masalah payung hokum tentang permasalahan ini tidak begitu tegas mengikat dan menakuti masyarakat terutam nan menjadi pelakunya. Mungkin para terdakwa pelaku kasus perdagangan anak ini hanya dihukum selama beberapa tahun dan tentunya iitu bisa dianggap sebagai hal nan ringan. Belum nanti aka nada remisi, abolish atau hal lainnya nan bisa mengurangi masa tahanan para pelaku ini.
Jadi memang negaralah nan memiliki tugas dan tanggung jawab buat menyelesaikan masalah ini. Karen memang semuanya berakar pada Negara ini maka nan dapat menyelesaikan dikembalikan kepada Negara juga.
Namun, sekali lagi, kasus perdagangan anak bukanlah kasus nan sepenuhnya harus diselesaikan oleh negara, melainkan tanggung jawab seluruh pihak nan masih peduli akan kesejahteraan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Termasuk, kita. Jangan ada lagi kasus perdagangan anak di Indonesia. Stop trafficking, right now !!